Bu Rahma kembali sambil membawa kotak kecil berbentuk persegi di tangannya. Dia menghampiriku, membuka kotak kecil itu di hadapanmu.
Aku melihat Bu Rahma mengeluarkan isi yang ada di dalam kotak tersebut. Kalung putih dengan liontin berinisial huruf A dan sebuah surat yang kertasnya sudah terlihat usang.
“Ibu menemukanmu di depan Panti Asuhan ini, 20 tahun yang lalu. Umurmu waktu itu baru berusia sekitar tiga bulan. Ibu mengetahui tanggal lahir dan namamu dari surat lahir yang terselip di dalam selimut yang menyelimuti tubuhmu saat itu.” Bu Rahma menjeda ucapannya.
“Dan ini, Ibu temukan kedua benda ini dalam keranjang bayimu!” Bu Rahma menyerahkan kalung, surat kelahiran dan sebuah surat yang dilipat kepadaku.
Perlahan kubuka lipatan surat yang menguning karena termakan usia. Aku tidak berani membuka surat itu. Takut menerima kenyataan yang ada bahwa aku hanyalah anak yang kehadirannya tidak diinginkan oleh orang tuaku. Sejenak aku terdiam. Pikiran dan perasaan jadi tak menentu. Siapkah aku mengetahui siapa jati diriku.
“Bukalah, Nak! Mungkin itu bisa jadi petunjuk untukmu.” Bu Rahma menguatkanku. Beliau mengelus punggungku pelan dan penuh kelembutan.
Perlahan keberanian diri membuka lipatan surat itu.
Allura ... sayang, putri mama, maafkan mama. Bukan mama tak sayang padamu. Tapi mama harus menyembunyikanmu dari suatu hal yang belum kamu mengerti, Nak.
Mama harap kamu jadi anak yang tegar dan kuat dalam menjalani hidupmu.
Kehadiranmu sungguh sangat berarti buat Mama. Papa mu juga pasti senang jika dirimu masih bernapas sampai saat ini. Sayangnya dia tidak tahu, mama sengaja menutupinya karena suatu hal yang suatu saat nanti akan mama ceritakan jika kita bertemu.
Maafkan mama tidak bisa menemani tumbuh kembang, Nak. Tapi di sini, mama akan selalu mendoakanmu, berharap yang terbaik selalu ada padamu, Nak. Semoga Tuhan dan Ibu panti bisa merawatmu dengan baik.
Mama harap kamu bisa memaafkan mama. Mama sayang kamu.
Allura Charya putri mama. Semoga kita bisa bertemu kembali suatu saat nanti.
Dadaku sesak saat membaca bait demi bait yang tertulis dalam selembar kertas itu.
Sakit rasanya menerima kenyataan yang ada, jika aku boleh memilih lebih baik aku tahu diriku yatim piatu daripada mengetahui kenyataan yang sesungguhnya.
Mempunyai kedua orang tua lengkap tapi tidak tahu siapa mereka.
Air mata ini tak sanggup ku tahan.
Aku hanya bisa menunduk, menggenggam erat kalung yang ada di tangan ini. Kenapa kehidupan ini begitu kejam. Jika kehadiranku tidak diinginkan ke dunia ini, kenapa tidak menyingkirkan diriku saja sejak masih dalam kandungan. Sehingga aku tidak menerima kenyataan pahit seperti ini. Mendambakan kasih sayang orang tua dari kecil.
Tubuhku bergetar seiring isak tangisku. Kutumpahkan rasa sakit, sedih, kecewa saat itu.
Bu Rahma menarikku ke dalam pelukannya.
“Menangislah jika itu akan membuat perasaanmu lega!” ucap Bu Rahma kepadaku.
Lekas kupeluk balik tubuh wanita yang selama ini merawat dan membesarkanku seperti anaknya sendiri.
“Maafkan, Ibu! Ibu baru memberikan ini padamu sekarang. Mungkin dengan ini kamu bisa menemukan keluargamu. Kamu bisa bahagia saat bertemu mereka.” Bu Rahma terus menenangkanku sambil mengucap pelan pundakku yang naik turun seiring tangisku yang masih belum mereda.
“Dia tidak mengharapkanku, Bu! Mamaku sendiri membuangku. Untuk apa aku mencari mereka kalau diriku tak di harapkan, atau aku anak haram yang mereka buang,” ucapku yang perlahan melepaskan diri dari pelukan Bu Rahma.
“huss ... Jangan bicara seperti itu! Kita tak tahu alasan mamamu menitipkan kamu di Panti ini.” Bu Rahma mencoba menenangkanku. Tapi rasanya percuma kekecewaan sudah menyelimuti sukma ini.
Aku mendongak, menatap Bu Rahma. ”Seandainya saja, Ibulah yang menjadi mamaku?” Bu Rahma tersenyum mendengar ucapanku.
“Loh ... Ibu kan memang mamamu, kamu adalah anak Ibu! Ibu yang sudah merawat dan membesarkan kamu!” ucap Bu Rahma sambil tersenyum hangat kepadaku.
Aku kembali memeluk erat Bu Rahma. Seakan enggan untuk melepaskannya. Tak bisa kupungkiri, selama ini, Bu Rahma ‘lah yang merawat dan memberikan kasih sayang kepadaku dan anak-anak panti yang lain, sampai saat ini. Tapi dalam hati ini aku juga ingin merasakan kasih sayang dari orang tua kandungku sendiri.
“Terima kasih, Bu. Sudah mau merawatku!”
“Sudahlah, jangan menangis! Katanya mau mandiri, kok jadi cengeng begini, malu dengan adik-adik yang lain.” Bu Rahma melepaskan pelukanku kemudian mengusap air mata yang masih menempel di pipi ini.
Di Panti Asuhan semua anak sudah layaknya anak sendiri bagi beliau. Dia mendidik kami jadi anak mandiri dan tidak manja, pandai bersyukur dan diajarkan untuk berkata jujur.
“Ibu hanya bisa mendoakan kamu, semoga di mana pun kamu berada, selalu dalam lindungan Allah SWT. Jaga solatmu, jaga sikapmu juga, terutama kepada lelaki! Allah akan menguji masa mudamu dengan mendatangkan seseorang yang membuatmu jatuh hati. Seolah-olah ia membawa cinta tapi nyatanya hanya kemaksiatan semata.” Bu Rahma menasihatiku.
”Sudah dikemasi belum barang yang mau di bawa besok? Persiapkan dari sekarang agar tidak ada yang tertinggal. Ayo Ibu bantu,” ajak Bu Rahma seraya menepuk pelan bahu ini kemudian berjalan lebih dulu menuju kamarku.
Aku menggelengkan kepala pelan. Ada rasa bersalah di hati ini mendengar nasehat Bu Rahma. Aku bahkan tidak bisa menolak ungkapan cinta dari Farrel, yang sampai saat ini tidak berkabar padaku. Apa aku salah sejak awal sudah menerima cintanya. Aku berharap Farrel bisa memberiku pada jalan kebahagiaan.
Aku bergegas berjalan menyusul Bu Rahma ke dalam kamar berukuran sedang. Kamar itu hanya di isi oleh empat orang. Aku adalah penghuni yang usianya lebih dewasa dari yang lainnya. Tiga di antaranya ada Laila yang masih duduk di kelas lima Sekolah dasar, Naima di kelas 6 Sekolah Dasar, dan Ismi kelas 2 Sekolah Menegah Atas. Ismi satu sekolah denganku.
Kami berdua masuk ke sekolah yang sama melalui program Beasiswa yang didapat dari sekolah sebelumnya. Di tambah lagi, aku dan ismi adalah anak asuh dari Panti Asuhan Cinta Kasih jadi ada jatah untuk setiap Panti Asuhan untuk mendaftarkan anak asuhnya ke sekolah favorit tersebut. Beruntung kami berdua masuk ke dalam siswa berprestasi, jadi bisa mengantarkan tanpa jatah dari sekolah kami masuk melalui jalur Beasiswa, bukan dari jalur Panti sosial. Meski kadang sangat terlihat perbedaan perlakuan dari siswa yang memiliki kekuasaan dan uang.
Bu Rahma masih mendampingi dan membantuku mengemasi barang yang akan di bawa ke Jakarta. Beliau duduk di sisi ranjang berukuran Mini size, hanya bisa di tiduri untuk satu orang saja.
“Apa kamu sudah dapat tempat tinggal saat di Jakarta, Ra?” tanya Bu Rahma saat memasukkan beberapa barang milik kita ke dalam tas besar.
“Sudah, Bu! Aku ikut dulu dengan teman. Dia ngontrak di sana.”
“Entah mengapa, rasanya Ibu masih belum rela membiarkan kamu pergi, Ra? Tapi Ibu juga tak mau menahanmu di sini! kamu harus mencari kehidupan yang lebih baik di luar sana,” ucapnya dengan nada sedih yang tertahan.
“Ibu ingat betul, beberapa kali kamu mencoba menolak orang tua asuh yang akan mengadopsimu. Kamu selalu bersikap nakal dan susah di atur, membuat mereka yang tadinya memilihmu mengurungkan niatnya untuk mengadopsimu!” Bu Rahma menjeda ucapanya. Aku melihat ia meneteskan air mata yang segera ia usap agar aku tidak melihatnya. Tapi terlambat aku lebih dulu menyaksikan itu. Aku terus diam mendengarkan Bu Rahma berbicara.
“Itu semua hanya tingkah asalmu supaya mereka tidak jadi mengangkatmu sebagai anak!” Bu Rahma lekas menghentikan gerakannya sesaat ia termenung, mengenang kejadian waktu silam lalu tersenyum getir.
Aku lekas memeluk tubuh wanita itu. Kami kembali berpelukan meluapkan rasa sayang yang selama ini selalu kami rasakan.
“Jasa ibu tidak akan pernah aku lupakan. Kalau tidak ada dirimu bagaimana jadinya aku, Bu! Terima kasih!” ucapku sendu di sela pelukanku padanya.
Hari keberangkatan pun tiba. Mobil travel carteran pun sudah siap menunggunya di depan Panti Asuhan.
Tak lama lagi aku akan meninggalkan tempat ini, tempat yang selama ini menjadi tempatku tumbuh.
Bu Rahma dan beberapa adik asuh mengantar kepergianku. Begitu berat rasanya meninggalkan tempat ini. Tempat yang menjadi saksi dari perjalanan hidupku.
Semua pasti terjadi, tidak mungkin aku selalu berada di sini. Aku ingin hidupku lebih baik, hingga suatu saat nanti aku akan membawa Bu Rahma bersama kebahagiaanku.
“Bu, Lura pergi dulu!” Aku meraih tangan kanan Bu Rahma, lalu menciumnya dengan takzim.
“Hati-hati ya, Ra. Jaga dirimu!” Bu Rahma memelukku erat sambil mengelus lembut punggungku.
Berat rasanya, pasti akan sangat kurindukan sentuhan ini. Sengajaku undur waktu agar bisa merasakan kehangatan pelukan Bu Rahma.
Hingga panggilan pak supir yang menyadarkanku.
Melepas pelukan Bu Rahma, doa dan harapan terucap dari wanita yang selalu memberikan kasih sayang tulusnya kepada kami. Anak-anak panti yang ia besarkan.
Tak banyak yang mengantar kepergianku, pagi ini. Adik asuh yang lain masih dalam lingkungan sekolah. Hanya Bu Rahma dan Febi yang setia mengantarkanku.
“Jangan lupa kabari kami, ya , Kak!” Teriak Febi, anak panti yang paling kecil, di antara semua anak panti. Lambaian tangan darinya melepas kepergianku menuju Kota Jakarta.
Tanpa suara hanya setetes air mata yang kembali jatuh mengiringi perpisahan ini. Aku membalas lambaian tangan Febi.
Kini aku bersiap menempuh perjalanan menuju kota besar di mana aku akan berjuang untuk masa depanku
Bersambung.
Bagaimana ceritanya. Jangan lupa like dan ramaikan kolom komentar ya.
satu lagi kasih rating bintang untuk karya ini tekan love juga untuk favorit kan karya ini. biar kalian gak ketinggalan berita kalai aku up bab baru.
Banyak ya kemauan Author ini.
Love u sekarung beras deh buat kalian.😘😘😘
Jangan lupa.... ok... ok...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
ſᑎ🎐ᵇᵃˢᵉ
Mampir Kak 🖐🏻🖐🏻🖐🏻
perjuangan Allura baru dimulai..akankah menemukan kebahagiaan seperti yang dia impikan...😎😎🎉
2023-05-07
1
Cerita Aveeii
semangat allura semoga ortumu keluarga kaya
2023-01-23
1
Mak Aul
ibu Rahma benar banget
2023-01-23
1