TOK...TOK...TOK
Pembicaraan antara Diki dan Haris terhenti sejenak karena mendengar suara ketukan pintu ruangan Diki.
"Permisi, Pak" ucap Rio
"Ya, masuklah" titah Diki
Rio-assitant Diki- masuk membawa paper bag di tangannya dan menunjukkannya pada Diki.
"Yak, bawa kemari!"
Rio menghampiri meja kerja Diki lalu menyerahkan paper bag itu padanya. Segera Diki membuka paper bagnya untuk segera mengambil contoh produknya tapi tak disangka yang ditemukan pertama kali adalah sebuah bekal makanan. Diki melongo melihat bekal yang dipegangnya sontak membuat Haris makin tertawa terbahak-bahak. Itu satu bukti lagi bahwa memang benar Diki seperti menyembunyikan hubungannya.
"Apa ini? Sejak kapan gadis itu menaruhnya di sini?"
"Sudahlah kau mengaku saja, itu satu bukti lagi perbuatan gadismu, gitu kan maksudmu. Hahaha...hahaha... seperti tingkah seorang istri"
"Berhenti jangan menertawaiku terus," Diki mendengus. Ternyata ketika Diki mengambil kotak bekal, selembar kertas kecil terjatuh. Sepertinya Raisa menulis sebuah pesan lalu Haris yang melihat itu mencoba memungutnya.
"Lihatlah, ini!"
Haris menunjukkan selembar kertas kecil itu pada Diki, ia pun membacanya. Di dalamnya tertulis : 'KALAU SUDAH HABIS JANGAN LUPA KOTAKNYA DIBALIKIN, INGAT JANGAN SAMPAI HILANG!'
"Sama seperti istriku, setiap aku memakainya dan membawanya yang pertama kali dia tanya, 'mana kotak tupperw*r* nya, awas jangan sampe hilang', gitu dia bilang.'' Haris mengikuti mimik wajah istrinya lalu tertawa geli.
"Ibuku juga begitu"
"Yang bener? Wah sulit dipercaya. Para wanita lebih memerhatikan itu dibandingkan kita, iya nggak sih?!"
"Entahlah... aku nggak peduli, nih untukmu saja"
"Sorry, bukannya nolak. Aku lebih kasian ke istriku, dia susah payah membuatkan bekal untukku dengan segenap cintanya. Jadi aku milih masakan istriku aja"
Mendengar ocehan Haris yang sok romantis membuat Diki ingin muntah. Sejak menikah enam bulan yang lalu, sohibnya selalu memanas-manasi Diki. Sebenernya yang mau pamer Diki atau Haris, Diki mengumpat dalam hati.
"Sudahlah buatmu saja, pasti dia juga mengerahkan tenaga dengan segenap jiwa dan raganya" saran Haris
"Kenapa kata-katamu sama dengannya?"
"Memang wanita seperti itu, kamu nggak tau?"
Diki hanya terdiam daripada menjawab pertanyaan Haris, Diki mengalihkan dirinya kembali pada laptopnya. Diki memang tidak tahu apa-apa tentang wanita lebih tepatnya tidak ingin tahu. Menurutnya menyibukkan diri dengan berkarir jauh lebih penting.
Sikap Diki terlalu kaku pada wanita, dirinya seakan lebih memilih single. Karena hidupnya yang ambisi dan terobsesi pada karier perusahaannya yang sudah dia rintis dari nol. Diki tak peduli dengan urusan cinta, apalagi jika banyak kerabat atau teman yang selalu bertanya 'kapan menikah?' Diki selalu menghindar. Tidak jarang Diki selalu meluangkan waktu untuk pekerjaan daripada berkumpul untuk acara keluarga atau reuni sekolah.
Meski perusahaan Diki tergolong masih baru di dunia bisnis yah setidaknya untuk waktu tiga tahun merupakan waktu singkat yang luar biasa. Kerja keras Diki memang tidak main-main, segala cara dia fokuskan hanya untuk perusahaan kecilnya yang mulai berkembang. Dengan modal tabungannya hasil bekerja di perusahaan ayahnya sendiri juga sedikit tambahan modal dari ibu nya Diki berdikari.
Dengan penghasilannya yang lumayan fantastis untuk seorang pemuda single, dia bisa saja membeli barang mewah atau pun berinvestasi ke properti - yang kata orang prospek nya lebih menjanjikan- tetapi Diki mempunyai pilihan lain. Ia memutuskan membeli rumah model tua yang sudah termakan usia untuk tempatnya tinggal. Dengan alasan harganya yang murah dan letaknya yang strategis pinggir jalan. Diki pikir sedikit merenovnya, rumah itu nyaman kok ditempati.
"Tiga tahun aku tinggal di sana, rasanya damai dan tenteram. Tapi sejak kemarin seorang gadis itu muncul hari-hariku dibuat kacau oleh kelakuannya" Diki membuka obrolan saat merapikan berkasnya di atas meja, Haris masih duduk mengecek contoh produk baru yang sudah dia keluarkan dari paper bag.
Telinga Haris mendengar Diki mulai bicara, ia pun menoleh ke arahnya, "Akhirnya kau mau curhat tentang kisah cinta, tenang sebagai patner aku juga pendengar setia" tapi Haris sedikit melirik ke arah Rio, apa harus dia mendengarkan juga? begitu kode yang tergambar di matanya. Diki yang mengerti segera menyuruh Rio keluar dengan alasan sebuah pekerjaan yang harus dia kerjakan.
"Rio, buatkan korespondensi. Aku tunggu"
"Siap, Pak"
Rio menyingkir dari hadapan Diki dan Haris, ia mengerti untuk segera melaksanakan perintah atasannya lalu keluar ruangan.
"Bagaimana? Cepat ceritakan si gadis itu yang kamu bilang, aku jadi penasaran. Akhirnya sahabatku ini pria normal juga"
"Hei! Apa maksudmu? Kamu kira aku nggak normal?"
"Sssttt jangan keras-keras, nanti suaramu terdengar oleh anak buahmu kamu nggak ingin kan ini jadi gosip murahan yang tersebar di perusahaanmu, bukankah tadi dirimu sudah buat sensasi dengan memamerkan jejak cinta di kemejamu" Haris cekikikan
"Aku nggak mau bahas dia, ini waktunya kerja." Diki kesal, dari segala yang dia punya hanya satu kekurangannya yaitu wanita. Ini yang selalu jadi olokan Haris.
"Aishh... dirimu itu yang workaholic, tidak bisakah sedikit bersantai sebentar?"
Diki menatapnya tajam
****
Sementara Raisa rebahan di kamarnya, hanya menikmati liburan di tempat kos-kosan. Tak ada kegiatan selain bersantai, di sela waktunya itu Raisa membuka laptopnya. Iseng mencari tahu tentang Diki dan perusahaannya lewat website.
Sebelum masuk ke kehidupan Diki, setidaknya Raisa perlu informasi mengenai Diki. Daripada bertanya langsung padanya, Raisa lebih memilih mencari biodatanya di profil perusahaannya itu.
Saat Raisa mengklik profil perusahaan dan CEOnya terpampang photo Diki yang membuat Raisa tertawa. "Dasar manusia itu, tidak photogenic sekali sih. Keliatan kaku gitu nggak ada ekspresi sama sekali untung tertolong dengan wajahnya yang lumayan. Apa dia bangga majang photonya yang keliatan lucu itu. Hahahaha"
Setelah Raisa mengetahui seluk beluk Diki lewat website perusahaannya tak banyak informasi yang dia ketahui. "Apa aku perlu pindah kerja juga ke perusahaannya?" Raisa sedikit bimbang. "Lalu, bagaimana dengan Irfan? Dua hari ini aku terlalu fokus pada pria itu cuma gara-gara ingin mendapatkan kembali rumahku." Tiba-tiba Raisa teringat dengan kekasihnya yang sudah tujuh bulan ini dia menjalin hubungan dengan Irfan. Raisa belum sempat memberi kabar pada Irfan bahwa ia mengambil cuti dan sedang menikmati liburan di kota kelahirannya.
"Bagaimanapun juga, aku nggak mau kehilangan rumah itu. Biarpun jelek tapi itu satu-satunya tempat kenanganku dan orang tuaku yang masih tersisa. Nggak akan bisa tergantikan oleh apapun" Raisa menitikkan airmatanya betapa rumah itu menyimpan sejuta memori perjuangannya bersama ibunya berdua sejak kecil karena ayahnya meninggal saat Raisa berusia tujuh tahun.
Sepintas prasangka buruk muncul dan menduga apakah Tantenya yang sudah menjual rumahnya pada Diki?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Ayano
Tantenya raisa patut dicurigai sih wak
2023-07-04
0