Farah masuk ke dalam kamarnya dan melihat adik bungsunya yang sedang tertidur dengan posisi melintang. Di dalam rumah ayahnya terdapat tiga kamar tidur. Kamar utama untuk kedua orangtuanya, satu untuk Fadil dan satu untuk Farah dan Aisyah.
Farah menghela nafasnya dan mencoba membenarkan posisi adiknya yang sedang tertidur agar lebih nyaman. Ia menyapu anak rambut adiknya yang menutupi wajah kecilnya itu. Tidak terasa mata Farah berkaca-kaca mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Saat ayahnya mengucapkan kata maaf, jauh dilubuk hatinya ia merasa hangat. Satu kata yang mampu memporak - porandakan hati Farah. Sejak dulu ayahnya selalu terlihat acuh tak acuh bahkan dalam satu rumah. Tidak saling menyapa dan tidak ada bahan untuk dibicarakan. Mereka saling diam dan sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Ayah, aku rindu sosokmu yang terdahulu saat ibu masih hidup." lirih Farah sembari membenamkan wajahnya di bantal. Menagisi hidupnya yang malang karena semenjak ibunya meninggal, semuanya berubah termasuk sikap ayahnya.
"Tok... Tok.. Tok..."
Fadil masuk ke dalam kamar kakaknya dan dengan cepat membuka karpet lantai tempat untuk tidur dirinya. Sejak Farah memutuskan untuk pergi dari rumah, Fadil terkadang menemani Aisyah untuk tidur walaupun hanya di lantai.
Ia sengaja tidur di karpet karena udara di Jekardah begitu panas dan dengan tidur di bawah dia bisa tidur nyenyak.
Fadil suka menggoda adik bungsunya. Ia pun terkadang membantu adiknya mengerjakan PR sekolah yang tidak bisa Aisyah kerjakan.
"Kakak sudah tidur?" tanya Fadil dengan melirik Farah
"Belum." Farah mengusap bekas airmatanya dan seolah tidak terjadi apa-apa. Ia melirik adiknya yang bertelanjang dada. Membuang kaosnya ke sembarang tempat.
" Aku kangen kakak."
"Kangen aku atau uangku!"
"Hehehehe, kali ini beneran kangen kakak bukan uangmu."
" Kakak tahu, dari siang Aisyah nanya terus kapan kakak sampai ke rumah. Dia ingin bertemu kakak dan minta sepatu baru." Fadil menopang kepalanya dengan tangan dan menghadap kearah Farah.
" Tadi dia sempat nangis karena kakak belum sampai juga dan tumben banget ayah bilang, Ai jangan minta macam - macam sama kakak Farah, kasihan dia!" sambung Fadil lagi
" Ayah kesambet setan apa ya kak, tumben ngomongnya kayak gitu."
" Padahal tadi siang ibu sudah dikasih uang sama ayah agar beli sepatu untuk Ai tapi nggak tau deh, si ibu mah begitu. " Fadil mengadu dengan kesal tentang kelakuan sang ibu.
" Besok jadi ke pasar? Fadil ikut ya." Fadil begitu antusias saat Farah akan pergi bersama Aisyah karena kakaknya pasti akan memberikan uang atau barang untuknya juga.Farah tidak pernah pelit dengannya walaupun ia hanya saudara tiri.
"Besok ke toko saja, nanti kita naik angkot." balas Farah pendek
"Asyik, aku ikut yes!" Fadil begitu bergembira karena ini juga salah satu moment bersama kakaknya.
"Kakak ada masalah?" Fadil menelisik wajah kakaknya yang kian kurus dan pendiam, tidak seperti biasanya yang selalu ceria saat bersama dirinya dan Ai
"Tidak ada, kakak hanya kelelahan."
"Mau Fadil pijitin?"
"Tidak usah"
"Fadil,boleh kakak tanya sesuatu?"
"Apa?"
" Apa kakak merasakan kalau sekarang ayah lebih peduli dengan kita? Apa ini hanya perasaan Fadil ya?" tanyanya
"Sejak kapan ya?" Fadil mencoba mengingat - ingat, "Sepertinya setelah kakak dilamar A Hilman deh."
"Ayah juga sekarang sering bercanda dan tertawa. Sepertinya dia senang akhirnya kakak punya calon suami yang baik."
"Masa sih!" Farah seolah tidak percaya, namun setelah mendengarkan pendapat Fadil memang ayahnya ada perubahan setelah dirinya dilamar Hilman.
"Iya, sekarang aku minta uang jajan aja selalu dikasih. Dulu mah harus nungguin ini itu, minta dua puluh ribu cuma dapat sepuluh ribu." gerutu Fadil sembari mengerucutkan bibirnya, ayahnya begitu pelit saat dimintai uang.
Farah menerawang jauh, mengingat saat keluarga Hilman datang dan melamarnya. Raut wajah ayahnya tersenyum simpul dan menerima Hilman sebagai calon menantunya. Sedangkan ibu tirinya, sudah biasa ia selalu bermuka dua dan menggunakan senyum palsunya untuk menutupinya.
"Kak, kakak Kok ngelamun sih!"
"Kakak ngantuk, huuaaa..." Farah tersadar dari lamunannya dan sengaja berbohong dengan cara menguap agar terlihat sedang mengantuk.
"Ya sudah kakak tidur gih, tapi besok aku ikut pergi ke toko sepatu ya."
"Iya, kamu pengen sepatu juga?" tanya Farah
"Tidak!, aku hanya ingin menemani saja. Sudah lama kita tidak jalan bersama bahkan Fadil lupa kapan kita tamasya bersama satu keluarga. Fadil kangen hal itu."
"Yakin tidak mau sepatu?"
" Tidak kak, beneran Fadil hanya ingin jalan - jalan dengan kakak saja."
Farah hanya tersenyum kecut, ia juga merasakan hal yang sama. Merindukan hangatnya keluarga yang bisa saling memberi kasih sayang, tersenyum dan tertawa bersama.Namun sayangnya, itu sudah lama berlalu.
" Kak. "panggil Fadil
" Apalagi? "
" Maafkan semua kesalahan ibu ya. " Fadil yang tahu sifat ibunya hanya bisa menyampaikan permintaan maaf. Ia tahu ibunya tidak menyukai Farah dan selalu saja berbuat ulah hingga Farah terusir dari rumah. Dulu, Farah memang tinggal bersama mereka namun ada satu kejadian dimana Farah dan ibunya bertengkar hebat mau tak mau Farah mengalah dan keluar dari rumah itu. Dan ayahnya pun hanya diam, tak bisa berbuat banyak. Ayahnya lebih memilih istrinya dan menyuruh Farah untuk pergi dari rumah. Tidak ada pembelaan saat itu hingga akhirnya Farah sakit hati dengan sang ayah. Namun, satu kalimat yang Farah ingat dari ayahnya.
" Pergilah dari sini, hiduplah mandiri."
"Hanya ini yang bisa ayah berikan."
Saat itu ayahnya memberikan beberapa lembar uang untuk dirinya, sebagai modal untuk hidup mandiri dan tentu saja uang itu tidak diketahui oleh ibu tirinya. Andai saja si ibu tahu kalau suaminya memberikan uang untuk Farah yang ada gadis itu akan dilabrak dan di marahi habis - habisan.
"Kakak?!" Farah terlihat melamun lagi
"Jangan melamun ih, takut kesurupan setan. Pikiran kita tidak boleh kosong nanti kesambet."
"Iya, kamu setan nya." Farah terkekeh saat melihat Fadil mengerucutkan bibirnya.
"Fadil, apapun yang terjadi antara kakak dan ibu, itu urusan kami. Dan kamu tetap adik kakak." Farah akhirnya beranjak dan tiduran di bawah karpet di samping adik laki-laki nya.
"Kakak memang yang terbaik." Fadil memeluk kakaknya dari samping, entah berapa lama ia tidak bercengkrama seperti ini dengan Farah. Dulu saat Farah masih di rumah, Fadil selalu senang karena kakak bisa diandalkan membantu tugas sekolah tidak seperti saat ini, Fadil harus mengerjakan apapun sendiri dan tidak ada tempat untuk berkeluh kesah. Ia benar-benar kehilangan sosok seorang kakak saat Farah pergi meninggalkan rumah.
"Aku selalu berdo'a kakak akan selalu bahagia dengan A Hilman." ucap Fadil disela-sela pembicaraan mereka.
Farah melirik adiknya yang terlihat begitu serius saat mengatakan nya.
"Fadil yakin, A Hilman bisa menjaga dan memberikan kasih sayang untuk kakak. Kasih sayang yang tidak bisa ayah berikan untukmu, Kak."
"Apaan sih Dil! tumben banget adik kakak ngomong begini. Kakak kan jadi melow." Farah langsung berkaca-kaca dan memeluk adiknya.
"Ih, malu kak. Udah gede masih cengeng kaya Ai." godanya. " Jangan lupa isi pulsa Fadil ya, sebagai bonus karena Fadil berhasil bikin kakak mewek hihihi.."
"Dasar adik rese, kakak kira beneran ucapannya ternyata ada udang dibalik bakwan." Farah mencubiti tubuh adiknya yang selalu jahil. Dirinya sempat terharu tapi nyatanya Fadil hanya bercanda.
"Ampun kak, ucapan yang tadi beneran. Fadil selalu do'ain kakak kok." Ia menahan tangan Farah agar tidak menggelitiki tubuhnya. Geli.
Mereka mengobrol hingga larut malam, tidak mau menyia-nyiakan waktu saat bersama. Walaupun mereka bukan saudara kandung, tapi mereka saling menyayangi satu sama lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 235 Episodes
Comments