Pukul sepuluh malam Farah tiba di rumah milik orangtuanya di daerah kemayoran. Sebenarnya ia enggan untuk datang kesana namun karena dirinya kangen dengan kedua adik tirinya dan sudah berjanji untuk menginap, maka ia terpaksa datang.
Berulang kali Farah mengetuk pintu rumahnya namun tidak ada jawaban dari dalam rumah, ia pun duduk di teras dan menelepon adiknya. Tidak ada jawaban.
Ia melihat sebuah sepeda motor yang ternyata dikendarai adik dan ayahnya kini masuk ke dalam halaman. Farah pun merasa lega karena hampir saja ia berencana untuk pulang.
"Kakak, sudah lama menunggu? Tadi adek sama bapak beli martabak dulu. Kok kakak tidak masuk kan di rumah ada ibu dan Aisyah." Fadil mencium takzim tangan kakaknya. Walaupun ia adik tiri namun sikapnya selalu hangat terhadap Farah. Hanya kepada Farah, Fadil mencurahkan segalanya, sedangkan pada orangtuanya Fadil tidak berani bicara dari hati ke hati karena sudah dipastikan ibunya tidak memberi solusi malah akan menambah beban dengan teriakan nya. Sedangkan ayah, ia jarang sekali berada di rumah karena sibuk bekerja.
" Baru lima belas menit, mungkin ibu dan Aisyah sudah tidur, sejak tadi kakak panggil tidak ada jawaban." Farah mendekat kearah ayahnya dan mencium takzim. Walaupun hubungannya tidak terlalu baik, Farah masih punya sopan santun untuk menghormati ayahnya.
"Bapak sehat?" tanya Farah
"Hmm..., masuklah" hanya itu yang pak Ilham katakan. Sudah seperti biasanya ia tak banyak bicara ataupun sekedar basa - basi.
"Bapak beli apa?" tanya Farah lagi, ia melihat bungkusan yang bapak bawa
"Martabak dan baso." jawabnya singkat, " Ayo kita makan."
Tak terduga ibu tirinya membuka pintu dan ternyata ia belum tidur. Ia sepertinya sengaja agar Farah menunggu lebih lama di luar teras. " Oh kamu datang?" ucapnya dengan sinis.
Farah hanya tersenyum kecut, ia sudah biasa mendapatkan sambutan dengan nada tidak menyenangkan oleh ibu tirinya.
" Bawa piring bu, kita makan sama - sama?" pinta pak Ilham
"Sama dia juga?" bu Yanah masih bicara dengan nada sinis dan melihat Farah dengan kebencian.
" Tidak usah memikirkan aku, aku tidak lapar." Farah hanya menghela nafas panjangnya, ia berjalan masuk ke dalam kamarnya.
"Farah, kemarilah duduk bersama bapak sekarang. Kita makan bersama." pinta pak Ilham lagi
Farah menuruti permintaan ayahnya dan duduk di seberang. Seolah orang asing, mereka pun canggung untuk duduk bersama.
" Kalau mau minum ambil sendiri, disini tidak ada tamu. Masih tahu kan dimana letak dapurnya. " bu Yanah membuka martabak di piring sembari melirik anak tirinya.
" Tentu aku masih tahu dimana letak dapurnya, karena aku anak ayah bukan TAMU. " Farah sengaja menekankan kata terakhir
" Ingat yah, pernikahan kamu jangan terlalu memberatkan kami selaku orangtua. Kamu pasti punya tabungan kan untuk nikah."
Bu Yanah menatap kesal kearah Farah, ketidaksukaanya pada anak tirinya itu terlihat begitu jelas. Farah pun begitu heran, apa yang menyebabkan ibu tirinya itu tidak suka padanya padahal sejak dulu Farah tidak melakukan suatu kesalahan yang fatal.
" Tante tidak perlu khawatir, pernikahanku akan dilakukan sederhana. Aku akan berusaha mendanai pernikahanku sendiri bukan dari uang ayah."
"Ibu masuklah, bawa satu martabak ini ke dalam. Makanlah disana." perintah pak Ilham pada istrinya
"Tapi Pak?"
"Jangan membantah!" tegas pak Ilham, matanya kali ini berani menatap tajam sang istri yang menurutnya sudah kelewatan.
Dengan terpaksa dan malas bu Yanah masuk ke dalam dapur sesuai perintah suaminya.
" Fadil, ikutlah bersama ibu. Bapak ingin bicara dengan kakakmu."
"Ah, bapak nggak asyik. Fadil kan kangen sama kak Farah." dengan mengerucutkan bibirnya Fadil masuk ke dalam dapur mengikuti sang ibu.
"Makanlah." pak Ilham menatap putrinya yang sedikit kurus. Tidak seperti tiga bulan yang lalu, Farah terlihat segar dan sehat.
Farah mengambil satu potong martabak keju kesukaannya. Ia melahapnya dengan cepat.
"Makan yang banyak, jangan pedulikan ucapan ibumu itu."
Pak Ilham tahu anaknya sangat menyukai keju, saat ia mendengar dari Aisyah bahwa Farah akan datang menginap ia sengaja membeli makanan untuk anaknya.
"Bapak tidak makan?" Farah masih mengunyah kembali beberapa potong martabak.
"Bapak sudah kenyang."
" Jadi menikah tahun ini dengan Hilman?" tanyanya
"Jadi pak, insyaallah akhir tahun ini."
" Sudah ada persiapan?"
" Masih mempersiapkan segalanya, do'akan saja semoga lancar. Bapak tidak perlu khawatir, Farah tidak akan membebani bapak untuk urusan uang. Farah hanya butuh bapak sebagai wali Farah."
Pak Ilham hanya tersenyum kecut, ingin rasanya dia membelai rambut anaknya namun hubungan yang sejak dulu tidak baik membuat dirinya enggan. Ia sadar diri, semuanya terjadi karena sikapnya yang dulu tidak pernah hangat pada Farah hingga anaknya tumbuh mandiri, kurang kasih sayang dari orang tua. Sosoknya sebagai seorang ayah tidak pernah ada disaat anaknya membutuhkan dan sekarang hanya penyesalan yang tersisa.
Ada satu hal penting yang ingin pak Ilham katakan pada anaknya, namun melihat wajah Farah yang saat ini masih tidak bersahabat dan melihat istrinya yang belum tidur, kini ia urungkan.
"Maaf, ayah bukan seorang ayah yang baik untuk kamu." satu kalimat yang membuat Farah menoleh kembali kearah ayahnya. Sejak dulu, tidak pernah satu kali pun ayahnya meminta maaf padanya.
" Sejak dulu, Ayah kurang memperhatikan kamu hingga kamu tumbuh menjadi gadis yang keras kepala dan mandiri. " lanjutnya lagi
" Ayah berharap Hilman akan menjadi imam yang baik untuk kamu, ayah yakin dia bisa memberimu kabahagiaan yang tidak pernah bisa ayah beri untukmu. "
" Apa aku tidak salah dengar? Ini beneran ayah? " Farah tersenyum sinis, ia tidak menyangka ayahnya akan meminta maaf tentang kesalahannya selama ini.
" Ayah, sampai detik ini Farah masih bingung. Kenapa ayah sejak dulu tidak menyukaiku, ibu tiriku juga membenciku. Apa salahku yah? Selama ini aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orangtua dan hanya tante Nana yang sayang denganku. Kenapa yah, kenapa aku tidak pernah mendapat dukungan darimu bahkan untuk aku hidup aku harus mencari makan sendiri dan pergi dari rumah ini. "Farah mencurahkan segala kerisauan hatinya selama ini. Beban yang mengganjal dihatinya kini terasa sedikit berkurang.
" Maaf... " hanya satu kata yang keluar dari mulut sang ayah." Suatu saat kamu akan tahu yang sebenarnya. "
" Apa yah? Katakan padaku!" pinta Farah. Namun mata pak Ilham melirik kearah dapur, istrinya pasti sedang mencuri dengar.
" Aku rasa pembicaraan ini tidak akan pernah selesai, toh ayah tidak akan memberikan aku penjelasan apapun." Farah bangkit dari tempat duduknya dan masuk ke kamarnya sendiri.
Pak Ilham hanya menghembuskan nafas panjangnya, hubungannya dengan Farah sangat buruk bahkan anaknya selalu menganggap dirinya ayah yang tidak baik dan ia mengerti kenapa Farah bersikap seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 235 Episodes
Comments