Teman-teman baca sampai selesai, ya. Jangan di skip biar terbaca oleh sistem. Lalu, jangan lupa untuk selalu memberikan dukungan kepada aku dengan kasih Bunga, Kopi, Vote, dan 🌟🌟🌟🌟🌟. Semoga hari ini kalian bahagia dan sehat selalu.
***
Bab 4
Ning Annisa meratapi dirinya yang kini tidak bisa melakukan sesuatu, tas dia juga disimpan di meja di ruang utama perpustakaan. Sementara itu, Rafael merasa bersalah karena dia sudah menutup pintu yang rusak itu.
Kedua orang yang sedang terkurung di ruang khusus itu berteriak minta dibukakan pintu pada penjaga perpustakaan yang bertugas tadi. Mereka tidak tahu kalau penjaga tadi sudah pergi, bahkan penjaga sekolah sudah mengunci perpustakaan itu.
"Percuma, sepertinya penjaga perpustakaan sudah pergi, makanya tidak ada yang mendengar suara kita," kata Ning Annisa.
"Aku akan hubungi teman-temanku, biar mereka minta sama penjaga untuk membukakan pintu," ucap Rafael. Dia pun merogoh kantong celananya mencari benda pipih.
"Si_al! Kenapa harus habis batereinya saat seperti ini." Rafael menggenggam handphonenya dengan emosi.
Ning Annisa melirik ke arah Rafael yang sedang mengumpat sesuatu. Dia mengerutkan keningnya, terlalu aneh menurutnya jika seseorang mengumpat sama handphone.
"Hei, kamu punya ponsel, 'kan? Hubungi seseorang agar dia bisa membukakan pintunya!" titah Rafael.
"Hei?" Ning Annisa merasa sangat kesal sama pemuda yang ada di depannya kini.
"Tidak bisakah kamu bicara dan bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua darimu?" Ning Annisa menatap tajam dengan suara tegas.
Rafael tidak mengerti karena dia tidak merasa sudah melakukan kesalahan. Di mana letak kesalahannya.
"Oke, maafkan aku jika sudah tidak sopan pada kamu. Eh, Bu guru," ucap Rafael cepat-cepat meralat karena perempuan di depannya ini menatapnya dengan tajam. Bahkan terasa menusuk ke jantungnya.
"Ish, ternyata guru magang ini gila kehormatan. Dia 'kan di sini cuma magang." Rafael menggerutu.
Ning Annisa yang mendengar ucapan dari Rafael barusan, ingin rasanya dia mencakar mulutnya. Namun, dia memilih meninggalkan pemuda itu. Ning Annisa menelusuri rak-rak buku di sana.
Rafael pun melakukan hal yang sama, dia menelusuri ruangan itu. Tidak ada judul buku yang menarik baginya. Semua yang ada di sini itu buku-buku yang bikin pusing kepalanya.
Rafael pun duduk di kursi yang berhadapan dengan Ning Annisa. Perempuan itu asik membaca dan sesekali menuliskan sesuatu pada selembar kertas.
'Dia ini namanya siapa, ya? Aku nggak tahu. Apa aku tanya? Nggak … nggak, nanti dia Ge-er ditanya sama aku.'
Tanpa Rafael sadari dia terus menatap dan memperhatikan Ning Annisa. Dia rasanya ingin melihat wajah di balik cadarnya.
'Cantik.'
'Eh, ada apa dengan aku? Kenapa se-enaknya sendiri mengambil kesimpulan kalau dia cantik?
'Bisa saja dia punya gigi yang tongos atau bibir yang jeding bahkan memble.'
'Pasti begitu, makanya dia pakai cadar. Kalau cantik pasti tidak akan di tutupi.'
Entah sudah berapa jam Rafael menatap ke arah Ning Annisa. Sampai perempuan itu beranjak dari tempat duduknya.
Keduanya tidak tahu kalau di luar sudah akan gelap, karena waktu magrib akan tiba. Hanya ada jam di dinding dan beberapa lampu yang menyala hampir seharian karena ruangan itu berada di dalam ruangan lagi, jadi tidak ada jendela. Hanya ada ventilasi udara.
Ning Annisa mengambil tayamum untuk melaksanakan sholat Magrib. Dia ambil tempat di sudut yang tidak bisa dilihat oleh Rafael.
Sementara itu, Rafael penasaran karena Ning Annisa tidak juga kembali, maka dia pun mencarinya. Dia berdiri dan diam terpaku saat melihat Ning Annisa sedang sholat. Dia terus memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan oleh perempuan bercadar itu.
Selama ini dia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Tidak ada yang mengajari dirinya. Perasaan Rafael merasa senang saat melihat Ning Annisa sholat.
Setelah selesai sholat Ning Annisa pun berdzikir cukup lama. Sampai Rafael kembali duduk ke tempat semula.
'Lapar.'
Rafael memegang perutnya. Selama hidupnya dia sangat jarang merasakan yang namanya lapar. Sebab, makanan selalu dengan mudah dia dapatkan.
"Kamu lapar?" tanya Ning Annisa.
"Laparlah, aku terakhir makan saat istirahat tadi," jawab Rafael dengan wajah kesal.
"Ini makanlah!" Ning Annisa menyerahkan satu bungkus kue.
Rafael pun langsung memakan kue yang berisi kacang ijo di dalamnya. Mungkin karena lapar, dia merasa kalau itu adalah makanan paling enak yang jarang dia dapatkan.
'Kue apa ini? Kenapa rasanya begitu enak?'
Rafael menghabiskan kue itu dalam sekejap. Walau masih lapar, tetapi itu bisa mengganjal perutnya dari demo cacing di dalam perutnya.
Ning Annisa hanya punya satu kue itu saja di saku blazer-nya. Punya penyakit maag, selalu membuatnya menyediakan makanan untuk pengganjal sebelum makan nasi.
'Ya Allah, jangan sampai penyakit maag aku kambuh. Dan semoga Engkau mendatangkan seseorang yang bisa mengeluarkan kami di sini.'
Saat sudah hampir tengah malam keduanya masih membuka mata. Malam itu sangat dingin bahkan tubuh pun terasa kaku. Mereka berbaring di atas meja yang bersebrangan. Baru menjelang dini hari keduanya baru tertidur.
***
Saat subuh Ning Annisa terbangun dengan badan yang terasa sakit dan kaku. Dia melihat kalau Rafael masih tertidur. Dia pun beranjak melaksanakan sholat Subuh. Dalam doanya dia berharap ada yang cepat menemukan mereka.
"Sampai kapan kita akan terkurung di sini?" tanya Rafael dan mengejutkan Ning Annisa yang sedang menelusuri buku-buku di rak dekat pintu.
"Mungkin sampai datang petugas perpustakaan," jawab Ning Annisa.
"Apa keluarga kamu tidak ada yang mencari? Seorang perempuan tidak tidur di rumah, pastinya orang tua akan khawatir. Atau jangan-jangan kamu sering tidur di luar rumah kamu, ya?" Rafael bicara sesuatu yang membuat Ning Annisa marah.
Tidak terima dikatain seperti itu, Ning Annisa pun memberikan pukulan ke perut Rafael.
"Asal kamu tahu saja. Aku sudah satu tahun lebih memang tidak tidur di rumah orang tuaku," desis Ning Annisa.
Rafael meringis kesakitan karena terkena pukulan. Dia pun membalas dengan menarik tangan Ning Annisa dan berniat memerintil tangannya. Namun, Ning Annisa melawan sehingga terjadi aksi saling tangkap tangan di antara mereka. Tubuh Rafael yang lebih tinggi dan tangannya lebih panjang, membuatnya bisa mengungguli Ning Annisa. Dia menarik tangan perempuan itu dan menguncinya di belakang punggung.
"Kamu tidak akan bisa mengalahkan aku," bisik Rafael di telinga Ning Annisa.
Tidak terima akan dikalahkan oleh laki-laki yang menyebalkan menurutnya, Ning Annisa pun kembali melawan. Hanya saja Rafael kini menggunakan sebelah tangan kanannya untuk memeluk tubuhnNing Annisa dari belakang.
"Apa yang sedang kalian lakukan!" Suara pria dewasa menggelegar mengagetkan keduanya.
"Kakak!"
"Kepala Sekolah?"
***
Kalian pasti tahu siapa 'Kakak' ini 😁. Apa yang akan terjadi pada keduanya? Tunggu kelanjutannya, ya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
revinurinsani
ngakak juga si Rafael aku ketawa sampe sakit perut hehe
2023-11-18
1
Sulaiman Efendy
INI CERITA YG AKU SUKA, PRCINTAAN BRONDONG DN GURUNYA...😘😘😘🥰🥰🥰
2023-08-23
1
Drew 1
walah... koq keputus si...
pdhl dah mengharap ning bisa ngalahin rAfa
2022-11-16
1