Selepas SMU, hubunganku dengan Doni mulai merenggang. Doni melanjutkan kuliah di kota lain. Dan mungkin karena kesibukannya sebagai mahasiswa, membuatnya jarang memberi kabar kepadaku.
Aku dan Doni pun dari sejak SMU jarang bermain medsos. Jadi aku tak pernah tau kegiatannya di sana. Aku tak mau mempermasalahkan itu. Karena menurutku, kalau kita memang berjodoh, nanti pasti akan ada jalannya kita bersatu.
Sementara teman-teman yang lain sibuk dengan kuliahnya, aku sibuk merawat nenek ku yang sering sakit-sakitan.
Sebenarnya nenek ingin aku melanjutkan sekolah. Kuliah kayak teman-temanku yang lain. Nenek tau kalau aku ingin sekali jadi dokter. Tapi aku tau diri. Untuk kuliah di kedokteran tidaklah murah.
Aku tidak mau membebani nenek yang sudah tua. Biarlah cita-citaku hanya tinggal angan saja. Bisa sekolah di SMU sampai selesai saja, aku sudah sangat bersyukur.
Pernah suatu saat, wali kelasku menanyakan tentang kelanjutan pendidikanku. Aku jawab apa adanya. Dia sangat menyayangkan. Karena aku termasuk salah satu siswa berprestasi di SMU.
Tak lama setelah aku lulus SMU, nenek ku meninggal dunia. Sakit yang di deritanya semakin hari semakin parah.
Untuk kedua kalinya, aku kehilangan orang yang sangat aku sayangi. Aku yang yatim piatu, harus juga kehilangan nenek. Jadilah aku hidup sebatang kara.
Setelah nenek meninggal dunia, aku memutuskan untuk kembali lagi ke rumah orang tuaku. Semenjak orang tuaku meninggal dunia, rumah itu aku kosongkan.
Saat libur sekolah, aku biasanya akan ke sana untuk membersihkan. Aku tidak pernah berniat mengontrakan atau bahkan menjualnya. Karena rumah itu peninggalan orang tuaku. Terlalu banyak kenanganku dengan mereka di rumah itu.
Setelah aku kembali ke rumah orang tuaku, aku mulai berfikir, bagaimana aku menghidupi diriku sendiri. Aku mulai mencoba mencari pekerjaan.
Beruntung, ada seorang teman yang memberikan informasi soal pekerjaan kepadaku. Aku di masukan kerja di sebuah counter celluler.
Tak banyak gajiku bekerja sebagai pegawai di situ. Tapi cukuplah kalau hanya untuk menghidupi diriku sendiri.
Letaknya pun tidak terlalu jauh dari rumahku. Jadi aku tidak perlu keluar ongkos. Tinggal jalan kaki, lima belas menit, sudah sampai.
Hari-hari aku sibukan dengan bekerja. Aku ingin jadi karyawan yang baik. Karyawan yang rajin. Biar gak malu-maluin temanku yang memasukanku bekerja.
Hingga saat Doni benar-benar menghilangpun aku tidak begitu memperdulikannya.
Saat nenek ku meninggal dunia, Doni masih sempat mengucapkan belasungkawa. Tapi setelah itu, nomornya gak aktif lagi. Entah apa yang terjadi padanya.
Lagi pula, aku sadar diri. Siapa aku. Siapa Doni. Orang tuanya pasti tidak akan setuju, kalau anaknya berhubungan serius denganku. Mereka tau kalau aku anak yatim piatu, dari keluarga yang tidak mampu juga.
Sekolah hanya lulusan SMU. Tampang biasa aja. Apa yang bisa di banggakan dari aku?
Walaupun orang tuanya Doni tau, kalau aku termasuk salah satu siswa berprestasi di SMU, saingannya Doni.
Tapi hal itu mana cukup untuk di jadikan alasan, aku dan Doni bersatu.
Biarlah sementara kami memilih jalan hidup masing-masing. Waktu nanti yang akan menjawab semuanya.
Misalnya pun Doni memiliki pasangan, aku akan ikut bahagia. Semoga Doni bisa berbahagia dengan pasangannya. Dan aku pun menemukan pasangan sendiri, yang bisa membahagiakan aku.
Yang paling penting, bisa menerima keadaanku. Menerima aku apa adanya. Bukan ada apanya. Karena aku tidak ada apa-apanya.
Bekerja sebagai penjaga counter, sangat aku nikmati. Aku bisa banyak belajar tentang ponsel-ponsel canggih, keluaran terbaru. Walaupun tidak bisa memiliki, minimal aku bisa faham fitur-fiturnya.
Sejak sekolah dulu, aku hanya punya ponsel murahan. Yang penting ponselku bisa buat searching pelajaran, saat ada tugas dari sekolah.
Kadang aku di pinjami ponsel milik Doni, yang jauh lebih canggih dari punyaku. Doni memang selalu membantuku dalam hal apapun.
Tapi sekarang, entah dimana dia berada. Biarlah. Dia sedang meraih cita-citanya. Selagi ada kesempatan, kenapa harus di sia-siakan.
Jangan seperti aku. Cita-citaku kandas di telan keadaan. Dan berakhir di counter celluler. Miris sekali. Seorang siswa berprestasi, harus menelan pahit keadaan.
Tak apa. Minimal, aku pernah jadi kebanggaan kedua orang tuaku. Jadi sebagai orang tua mereka tidak gagal mendidik anak satu-satunya.
Kehidupanku kini, hanya seputaran rumah dan tempatku bekerja. Karena aku memang bukan type orang yang suka kelayapan. Hang out. Nongkrong, atau apalah istilahnya.
Bosku pun sangat bangga padaku. Sebagai karyawan baru, aku mampu memberikan prestasi yang luar biasa. Aku selalu datang tepat waktu. Aku selalu bisa meng update barang-barang keluaran baru.
Alhamdulillah Allah memberikan aku otak yang cemerlang, jadi aku mudah untuk mempelajari hal-hal baru.
Walaupun saat sekolah aku hampir gak punya teman main, tapi sebenarnya aku orang yang supel. Cuma memang di sekolahku dulu, siswanya terlalu membedakan kasta. Terlalu mengkotak-kotakan.
Mereka hanya mau bergaul dengan yang satu level. Kecuali Doni pastinya.
Lain halnya di sini, di tempat kerjaku. Aku di terima dengan sangat baik. Mereka tidak pernah memandangku berasal dari mana.
Aku sangat suka bekerja sama dengan mereka. Aku juga sangat suka, ketika aku melayani pelanggan. Aku pasti akan membuat mereka senang, agar akhirnya mereka jadi untuk membeli produk yang aku tawarkan.
Alhasil, grafik penjualanku naik terus. Gajiku pun selalu lebih banyak dari yang lain. Karena pencapaian targetku yang luar biasa, kata bosku.
Walaupun aku hanya bekerja di sebuah counter celluler, tapi aku sangat bersyukur, bisa bertemu dan berteman dengan orang-orang yang baik. Mempunyai bos yang baik.
Aku betah bekerja disini. Hingga aku gak pernah tergiur untuk pindah ke tempat lain, walaupun di janjikan gaji lebih besar. Gaji besar, kalau suasana kerja tidak nyaman, untuk apa?
Hari minggu toko tutup. Karena pemilik counter ini seorang nasrani, dia punya kewajiban beribadah setiap hari minggu.
Pada saat libur, biasanya aku manfaatkan untuk berkunjung ke makam kedua orang tuaku dan makam nenek ku. Kebetulan makam mereka bersisihan.
Di makam itu aku akan curhat kepada mereka. Curhat tentang kehidupanku, setelah di tinggal mereka. Walaupun aku tau itu konyol, tapi aku selalu melakukannya, setelah aku membacakan surat yasiin untuk mereka.
Puas rasanya kalau sudah curhat kepada mereka. Aku sangat menghindari menangis di makam mereka, karena aku percaya, kalau aku masih terus saja sedih, maka mereka gak akan tenang di sana.
Aku pun ingin mereka bahagia di sana, melihat aku bahagia di sini. Aku selalu menceritakan yang baik-baim kepada mereka. Yang pahit-pahit biar aku simpan sendiri.
Aku selalu berdoa, semoga ayah, ibu dan nenek mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Yang Maha Kuasa. Aamiin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments