Setelah menemukan angkot, Zena langsung naik.
Lima belas menit kemudian, angkot yang ditumpanginya berhenti di samping sebuah Mall yang besar. Ia dan penumpang lainnya ikut turun. Setelah membayar ongkos, ia langsung berjalan ke dalam Mall melalui pintu depan.
Pagi itu pengunjung Mall masih terlihat sedikit. Setelah masuk ke dalam, Zena langsung ke lantai dua menggunakan lift. Setelah sampai, ia langsung keluar dari lift menuju ke salah satu cafe yang baru dibuka. Terlihat dari jauh sosok Nina, sudah menunggunya sambil merokok.
"Hai Nina, sudah lama menunggu?" tanya Zena, langsung mengambil kursi dan duduk.
"Baru saja. Aku sudah pesan makanan. Kamu mau makan apa?" tanya Nina sambil mengepulkan asap rokok.
Zena sudah mengetahui kalau Nina sudah terbiasa merokok, jadi baginya pemandangan seperti ini tidak terasa asing lagi. Nina banyak mengalami perubahan setelah tiga tahun merantau ke Jakarta. Ia tak banyak mengetahui tentang kehidupan Nina, ia tidak mau ikut campur kehidupan Nina. Tapi jika Nina ingin bercerita tentang apa saja, ia pasti siap mendengarkan.
"Tidak usah. Aku sudah sarapan tadi pagi, masih kenyang," tolak Zena secara halus.
"Bagaimana semalam? Berapa ronde?" Nina senyum-senyum dengan pertanyaannya sendiri. Mungkin ada perasaan sedikit sungkan untuk bertanya hal yang demikian. Tapi tidak dengan Nina, ia suka ceplas ceplos tanpa melihat situasi apapun.
"Yah, seperti pengantin baru pada umumnya lah. Malu kalau diceritakan," Zena menjawabnya dengan bijak. Ia tidak mau ada seorangpun tau urusan rumah tangganya. Apalagi malam pertamanya dilalui dengan kesedihan yang mendalam. Sebisa mungkin Zena menyimpan rapat-rapat, agar semua orang hanya melihat rumah tangganya baik-baik saja.
"Yah.., beneran nih nggak mau cerita?" tanya Nina sambil mengisap sisa rokoknya. Ada nada kecewa dari pertanyaannya.
"Ih, apaan sih kamu kok kepo. Entar kamu juga merasakan kok apa yang aku rasakan. Udah ah, kita bahas yang lain saja," Zena berusaha sebisa mungkin mengalihkan pembicaraan.
"Bukan aku kepo Zen, tapi sebenarnya aku pengen tau. Kenapa pagi-pagi kamu pergi ke Mall dan belanja untuk keperluan dapur? Kan bisa pesan makanan online jika kamu dan Rey lapar? Ngapain juga kamu repot-repot masak? Tidak ada ART di rumah Rey?" pertanyaan demi pertanyaan dari Nina malah semakin banyak. Zena tidak menyangka, Nina bisa menangkap keanehan yang terjadi pada dirinya.
Zena tidak bisa berkelit, karena kenyataannya memang jelas, jika ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Oh itu, kita berdua sudah sarapan kok. Hari ini hari pertama aku menjadi seorang istri, jadi aku ingin membuat masakan kesukaan suami. Untuk ART kita sepakat tidak menggunakan jasa itu. Semua pekerjaan rumah sekarang aku yang urus, apalagi kita belum punya anak," Zena berusaha mencari rangkaian kata yang masuk akal. Ia terpaksa berbohong dengan apa yang sudah dialaminya pagi ini.
Pelayan cafe datang membawa pesanan Nina. Setelah meletakkan makanan dan minum, pelayan pergi.
"Kita ngobrol sambil aku makan ya Zen. Sudah tidak tahan lagi menahan lapar, perutku keroncongan," Nina menyuapi makanan ke dalam mulutnya. Sisa rokoknya tadi sudah dimasukkan ke dalam asbak yang ada di atas meja.
"Kamu kenapa hari ini tidak kerja Nin? Apa boleh izin sesuka hati?" Zena sebenarnya ingin tau apa pekerjaan sahabatnya ini, tapi ia takut bertanya.
"Semua karyawan di Perusahaan tempat aku bekerja mendapatkan jatah libur dua kali dalam satu bulan, itu di luar tanggal merah. Kebetulan aku ada hubungan special dengan Manager, jadi yah aku manfaatkan saja. Sekarang aku di sini karena izin tapi bukan termasuk jatah liburku,"
"Baguslah ada jatah libur dua kali dalam satu bulan. Walau kamu lagi dekat sama Managernya, bukan bearti bebas minta izin dong? Nanti kamu bisa di pecat. Apalagi kalau ada karyawan lain yang iri, bisa-bisa mereka melaporkannya ke atasan," Zena menasehati Nina karena ia tidak ingin sahabatnya mendapatkan masalah di kemudian hari. Apalagi sekarang susah sekali mendapatkan pekerjaan.
"Tenang Zen, aku bisa mengatasi masalah aku sendiri. Hidup di kota metropolitan ini harus pinter-pinter mencari celah dan mengambil kesempatan. Kalau hidup lurus-lurus saja, kita bisa ketipu, kelaparan, bahkan diinjak-injak orang lain yang lebih berkuasa dan kaya raya. Jika tidak mampu bertahan, lebih baik kita balik ke kampung daripada menderita di kota ini," Nina masih mengunyah makanannya.
Yang dikatakan Nina ada benarnya. Zena menyadari betul, ucapan Nina barusan sedang dia alami sekarang. Rey berkuasa atas dirinya karena merasa hebat dan memiliki segalanya. Sedangkan ia hanyalah seorang gadis kampung yang sederhana. Mungkin jika istrinya Rey seorang gadis kota, berpendidikan dan kaya raya, ceritanya akan jadi berbeda.
Tapi Nina, tidak baik memanfaatkan orang lain untuk memenuhi semua keinginan kita.
Zena ingin menyampaikan kalimat ini, tapi ia urungkan karena tidak mau memperpanjang urusan Nina.
"Sudahlah, tidak usah kamu pikirkan. Sekarang nikmati dulu masa-masa indahmu sebagai pengantin baru. Tapi kamu jangan lupakan ucapanku tadi dan jangan jadi bego hidup di kota ini. Kamu harus mandiri dan memanfaatkan sesuatu yang menurutmu itu baik. Toh nanti kamu bisa belajar sendiri, betapa kerasnya hidup di kota," Nina menyuapi makanan terakhirnya ke dalam mulut.
"Iya sih, masih banyak lagi yang harus aku pelajari. Di awal saja aku tidak tau makanan apa yang biasa dihidangkan orang kota, sampai-sampai aku harus belajar melalui youtube. Suamiku menyukai makanan yang modern. Seleranya berbeda jauh denganku," tanpa disadari, Zena mengeluh. Sedikit saja ia salah bicara, Nina bisa menangkap apa yang terjadi dengannya pagi ini. Untungnya Zena hanya membahas tentang keluhan masakan dan tidak memperpanjang keluhannya.
"Kamu enak Zen, punya suami berduit, cakep pula. Kurang apa coba? Nih, aku beritau salah satu yang bisa kamu manfaatkan dari kekayaan Rey. Kamu belajar nyetir mobil atau motor, agar tidak bergantungan dengannya tentang urusan jalan-jalan. Masa' kamu punya semuanya tapi masih naik angkot? Apa kata tetangga?" Nina menyeruput minuman yang masih tersisa. Ia sudah selesai makan dan lanjut lagi merokok.
Apa yang dikatakan Nina memang benar. Semua tetangga, keluargaku sudah tau kalau aku memiliki segalanya. Belum tentu Mas Rey bersedia mengantarkan aku setiap mau keluar atau sekedar belanja keperluan rumah. Tapi, apakah aku diperbolehkan menyentuh kendaraan yang di miliki Mas Rey?
Zena gamang. Kenyataan tidak semudah dengan ucapan.
"Iya Nin, tapi kan aku baru sehari menjadi istrinya Mas Rey. Belum pantas aku merasa memiliki apa yang ia sudah miliki. Nanti Mas Rey berpikir, aku istri yang matrealistis, belum apa-apa sudah menguasai hartanya. Biarlah mengalir begitu saja, yang penting aku belajar dan berusaha menjadi istri yang baik sesuai keinginannya,"
"Kamu kan sudah sah jadi istrinya. Jadi apapun yang dia miliki, otomatis milik kamu juga. Tapi terserah kamu deh, yang penting ingat perkataanku tadi. Manfaatkan sesuatu itu dengan baik, karena kita tidak tau nasib kedepannya," Nina menghisap rokoknya.
"Iya Nin," hanya ucapan singkat yang keluar dari mulut Zena.
"Udah ah, kita pergi dari sini yok. Kamu jadi kan belanjanya?" tanya Nina sambil mematikan rokok dan membereskan isi tasnya.
"Ya jadi dong. Tapi kita nggak lama ya, takutnya suamiku pulang lebih dulu ke rumah," Zena baru ingat isi pesan WA Rey tadi. Jika sampai dia terlambat pulang, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Ciee.., pengantin baru mau asoy.. Oke. Aku bayar dulu ya," Nina bergegas berjalan ke kasir untuk membayar makanan yang di pesannya.
Setelah selesai, Zena dan Nina pergi turun ke bawah menaiki lift. Dilantai bawah adalah tempat khusus makanan dan peralatan dapur.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments