Mie instan dan mahasiswa konglomerat. Dua hal itu yang sekarang aku tahu dari pria di lorong. Dia tahu nama ku dan aku tidak tahu namanya. Dari mana dia tahu? Aku memperhatikan mie instan yang masih utuh milik pria di lorong, dan sesekali memutarnya di salah satu meja di rumah makan. Dia belum menyeduh mie instan ini. Pasti dia terburu-buru sehingga tidak sempat menyeduhnya. Semakin di pikirkan aku semakin penasaran padanya. Aku akan menanyakan semua pertanyaan ini padanya besok.
"Ada apa? Kenapa melamun?" Gary duduk di kursi di depanku. "Jangan terlalu sering makan mie instan. Tidak bagus buat kesehatan." Gary mengambil mie instan yang dari tadi aku putar-putar di atas meja.
"Gar, kenapa orang makan mie instan?"
"Kenapa? Mungkin karena harganya murah dan cukup mengenyangkan."
Pria di lorong penghubung mahasiswa konglomerat. Tidak mungkin dia selalu memakannya karena harganya murah.
"Kalau seorang konglomerat memakan mie instan kenapa?"
"Pasti karena praktis dan tidak ribet." jawab Gary. "Tapi orang kaya biasanya jarang mau makan mie instan karena mereka tahu tidak bagus buat kesehatan. Mereka tidak ingin sakit dan tidak mau menghabiskan uang yang sudah mereka cari hanya untuk pengobatan." Gary meletakan mie instannya di meja dan menatapku. "Memangnya ada apa?"
"Apa ada orang kaya yang menyukai mie instan?" Aku tidak tahu kenapa aku terus bertanya hal macam ini pada Gary. Tapi aku sangat penasaran tentang jawabannya.
"Rasanya memang enak, tapi semua itu kan tergantung pada selera masing-masing orang." Gary bangkit berdiri karena seorang pengunjung datang. "Aku akan buatkan makanan jadi jangan makan mie instan itu Lele. Panggilan Gary padaku sangat tidak aku suka." Memangnya aku ini ikan? Aku memang tidak berniat memakannya. Mie instan memang tidak bagus untuk kesehetan, tapi kenapa mahasiswa konglomerat seperti pria itu selalu memakannya?
"Gary, dimana nenek? Aku bangkit berdiri dan menghampiri Gary yang berada di dapur rumah makan. Dia hendak membuat ayam bakar pesanan seorang pengunjung yang baru datang. Aku mengambil piring dan membersihkannya sebelum aku taruh nasi.
"Nenek sedang tidak enak badan. Badannya pegal-pegal." Jawab Gary sambil meletakan sepotong dada ayam di atas alat pembakar yang baranya sudah meletupkan api.
"Pantas saja aku tidak melihatnya." Aku ingat terakhir kali aku melihatnya ketika nenek Gary membantu ayahku di rumah makan ini saat malam hari ketika aku belajar. Kira-kira tiga hari yang lalu. "Gar, aku mau lihat nenek dulu". Tanpa menunggu jawaban Gary aku langsung beranjak menuju rumahnya yang berada di samping kiri rumahku. Sebelumnya aku meletakan sepiring nasi di atas meja pengunjung. Aku melangkahkan kaki dengan cepat menuju rumah Gary.
Nenek berbaring di tempat tidur yang memakai seprei warna merah dengan motif bunga mawar putih. Dia menatapku dengan tatapan kelabu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tubuhnya sangat kurus dan ringkuk saat berbaring. Melihatnya seperti melihat boneka mariyonet dari kayu yang dibuat sangat ramping dan di amplas hingga sampai seperti pensil. Aku menghampirinya dan langsung memijat kedua kakinya.
"Apa yang kau lakukan?" suara nenek terdengar serak. Mungkin salivanya memenuhi tenggorokannya saat ini, atau karena tak ada tenaga untuk bicara akibat lemas. "Aku baik-baik saja. Sana pergi!" Seperti biasa nenek bersikap seolah-olah dirinya masih muda dan badannya masih kuat seperti dulu.
"Nenek sudah tua jadi jangan bekerja lagi!" Nada bicaraku sedikit membentak karena kesal. Aku dan Gary sampai bosan menyuruhnya untuk berhenti jadi buruh cuci. Nenek sangat keras kepala dan tidak mau menerima saran dari siapapun. Sifatnya sangat buruk. "Lihat beginikan jadinya?!"
"Pergi sana! Aku masih kuat dan tidak butuh saran dari anak bau kencur..." Dengan suaranya yang serak nenek membentakku dan menarik kakinya dari pijatanku. Selalu begini. Setiap kali kami bertemu kami selalu bertengkar. Tapi aku tahu kalau nenek tidak membenciku, hanya sifatnya saja yang memang begitu.
"Kalian berdua kenapa tidak pernah akur." Gary muncul di daun pintu kamar. Dia menatap kami dengan senyum merona di iringi tawa kecil. "Nenek ayo makan dulu."
"Tidak mau." Nenek memalingkan wajahnya dengan membalik posisi tidurnya.
"Ya sudah kalau tidak mau. Lily ayo makan..." Aku langsung beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu untuk keluar.
"Awas! Aku juga mau makan." Tiba-tiba nenek langsung beranjak berdiri dan menyalip jalanku dengan sengaja menyenggolku hingga aku hampir jatuh. Untung aku sempat menggapai engsel pintu sehingga dapat menyeimbangkan tubuhku. Walau sudah tua dan sedang sakit tenaga nenek lumayan kuat juga. Gary hanya nyengir melihat kami yang seperti anjing dan kucing saat bertemu.
Aku dan nenek makan bersama di ruang tamu. Rumahnya tidak besar hanya terdiri dari satu kamar, dapur, kamar mandi dan ruang tamu yang bisa berubah fungsi menjadi ruang makan dan kamar tidur Gary. Aku menoleh ke jam dinding yang berada di dinding depan pintu masuk. Jam dinding tersebut bergambar simbol tim sepak bola favorit Gary yang nama klubnya tidak pernah bisa aku ingat. Waktu menunjukan pukul setengah enam sore dan itu berarti Gary sedang bersiap-siap ke café.
...----------------...
Aku merapikan semua buku-bukuku dan memasukannya ke dalam tas saat jam makan siang di mulai. Aku berjalan keluar kelas ketika seorang mahasiswi menghadang langkahku di depan pintu. Wanita berambut panjang dan kulit putih itu menatapku dengan tatapan ragu. Aku hampir lupa kalau ternyata mahasiswi itu adalah orang yang sering duduk di dekatku setiap mata kuliah akutansi.
"Lily." Panggilnya. Dia tahu namaku, tapi aku tidak tahu namanya. Ini terjadi lagi. Aku hampir tidak pernah memperhatikan orang-orang yang duduk di sekitarku di kelas. Apalagi menghafal namanya. "Ada yang mencarimu di pintu gerbang."
Aku langsung berjalan menuju pintu gerbang tanpa mengucapkan apapun pada mahasiswi itu. Aku dapat merasakan kalau dia juga mengikutiku sampai ke depan pintu gerbang kampus.
Gary berdiri di dekat pintu gerbang dengan kantong plastik hitam di tangannya. Dia memakai sepeda ke kampusku. Bukannya dia bekerja? Jarak dari restorannya bekerja memang tidak terlalu jauh dari kampus ini, tapi mau apa dia kesini?
"Ini bekalmu." Tanpa bertanya Gary sudah menjawab semua isi kepalaku. Dia menyodorkan plastik hitam yang di bawanya. Aku menerimanya.
Tadi pagi aku bangun kesiangan jadi tidak sempat membuatkannya. Ada dua bekal seperti yang kau minta kemarin. Aku baru sadar kalau aku tidak membawa bekal makan siangku. Tapi aku cukup terkejut Gary mengantarkannya ke sini, apalagi dia membuat dua bekal seperti yang ku minta kemarin. Satu bekal akan ku berikan pada si mie instan.
"Oke aku harus kembali ke restoran. Aku pergi dulu. Ingat jangan ada sisa!" Dia selalu berkata seperti itu ketika memberiku makan. Baginya menyisakan makanan adalah dosa terbesar.
Aku hanya berdiri memandangi kepergian Gary hingga wujudnya tak dapat aku lihat lagi karena di telan oleh kejauhan. Cukup lama aku berdiri sampai mahasiswi tadi menyadarkanku tentang keberadaannya yang dari tadi berdiri tidak jauh dariku.
"Pacar atau kakakmu?"
Aku menoleh melihatnya tepat berdiri di belakangku. Sebenarnya aku malas menanggapi pertanyaanya tapi diam saja terlihat tidak sopan apalagi dia sudah memberitahuku kalau Gary datang.
"Bukan keduanya."
"Lalu siapa?" Matanya menatapku dengan harapan tersirat dari sana.
Saat ini pasti dia penasaran. Kalau di lihat sepertinya dia tertarik pada Gary. Entah kenapa aku jadi merasa tidak ingin dia tahu tentang Gary. Hubungan aku dengan Gary memang tidak ada hubungan istimewa, apalagi hubungan romantis. Tetapi Gary itu milikku.
"Terima kasih sudah memberitahuku." Aku berjalan meninggalkannya tetapi dia masih mengikutiku. Aku merasa terganggu sekali. Mengusirnya memang terlalu kasar tapi itulah yang aku pilih agar dia berhenti menggangguku. "Tolong jangan ganggu aku. Bisakah kau pergi?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Dena
Seriuss kau tak butuh teman, Lily? 😒
2023-08-30
1