BAB 3

Aku menimbang-nimbang ideku yang ingin menumpang makan di gedung konglomerat. Apa tidak apa-apa kalau aku ke gedung tersebut. Aku takut kalau peraturan melarang mahasiswa ke gedung yang bukan kampusnya. Aku merasa menyesal tidak membaca buku peraturan dengan sungguh-sungguh waktu pertama masuk.

"Kau datang lagi."

Aku berada di ujung lorong penghubung ketika pria aneh yang kemarin memanggilku. Aku tidak menyangka kalau dia ada disini lagi. Tidak. Seharusnya aku dapat memperkirakannya karena kemarin dia sudah mengatakan kalau dirinya selalu di tempat itu dengan berkata, tak ada siapapun yang melewati lorong itu selama hampir dua tahun.

"Ayo makan bersama lagi..."

Walau dari kejauhan aku dapat melihat senyum lebarnya. Niatku menumpang makan di gedung konglomerat terurungkan karena pria itu. Mau tidak mau aku menyusuri lorong penghubung dan duduk di jarak tiga meter dari pria itu. Mataku tertuju pada bekal makan siang yang mengepulkan asap seperti kemarin.

Mie instan lagi.

"Aku kira kau tak akan datang lagi."

Yah memang begitu niatku. Tapi gedung konglomerat telat mengalihkan perhatianku yang menghindari lorong penghubung ini.

"Sudah tiga kali yah kita bertemu di sini..."

"Kenapa kau selalu makan mie instan?" Tanpa pikir panjang pertanyaanku keluar begitu saja dari mulutku. Ini adalah pertanyaan pertamaku padanya. Dia sempat terdiam dan dari wajahnya terlihat raut wajah aneh yang tidak aku mengerti maksudnya. "Kau mau bekal punyaku?" Aku menyodorkan ke arahnya tempat makan yang aku keluarkan dari tas, bekal makan siangku.

"Ti...tidak usah..." jawabnya dengan senyum simpul.

"Bagaimana kalau kita bertukar?" Ajakanku membuatnya tambah bingung, tapi tidak berapa lama dia setuju.

"Boleh."

Kami segera melakukan pertukaran. Ku berikan bekal makan siang buatan Gary padanya. Bahkan aku belum tahu menu apa yang di buatkan Gary hari ini. Lalu aku mulai meniup mie instan yang masih mengepulkan asap.

"Makananmu enak". ucapnya.

Aku menatap bekal makan siangku dan melihat isinya. Rolade, asam manis ikan dan tidak ketinggalan telur mata sapi setengah matang kesukaanku.

"Kau suka telur mata sapi setengah matang ya?"

Aku mengangguk menjawabnya. Aku bertanya dari mana dia tahu dalam pikiranku. Mungkin karena hari ini aku juga membawa telur mata sapi setengah matang sehingga dia berasumsi begitu. Kalau begitu mie instan adalah makanan kesukaannya karena kemarin juga dia memakannya.

"Sangat lezat. Siapa yang memasak bekal ini. Kau sendiri?"

Aku menggeleng.

"Sahabatku yang memasaknya."

...----------------...

Aku bertemu Gary di rumah makan sekitar jam empat sore ketika dia pulang dari kerja. Seperti biasa kami bercakap-cakap tentang hari yang kami lalu. Tapi sebagian besar hanya Gary yang bercerita tentang kegiatannya di restoran. Mulai dari kena omelan dari salah satu pengunjung karena dirinya tidak sengaja menjatuhkan sendok, hingga bagaimana dia belajar membuat berbagai makanan ketika tidak ada pengunjung.

Aku sempat berpikir untuk menceritakan pria yang ku temui di lorong pada Gary. Tapi tidak jadi karena mungkin itu bukan suatu cerita menarik. Dan bukan cerita tentang teman yang seperti di harapkan Gary padaku. Aku dan pria itu hanya sekedar teman makan siang saja. Bahkan kami tidak tahu nama satu sama lain. Aku juga tidak tahu apa akan ke lorong penghubung itu besok. Tapi setelah bertukar bekal tadi rasanya antara aku dan pria itu semakin dekat.

...----------------...

Aku kembali menyusuri kerumunan mahasiswa ketika jam makan siang. Entah kenapa setelah kejadian kemarin aku tidak bisa membiarkan pria itu makan sendirian. Mungkin kata-katanya benar. Berdua lebih baik dari pada sendiri. Aku memang suka sendirian, tapi aku tahu kesepian itu hal yang berbeda, dan rasanya sangat tidak menyenangkan.

Aku mulai berpikir apa pria itu akan makan mie instan seperti dua hari kemarin. Kalau benar begitu aku berniat bertukar bekal lagi. Tapi terlalu banyak makan mie instan itu tidak bagus untuk kesehatan. Baiklah. Kalau hari ini dia masih makan mie instan besok aku akan meminta Gary untuk membuatkan dua makan siang untukku, dan bilang akhir-akhir ini aku doyan makan kalau dia bertanya.

Sebelum berjalan di lorong aku sempat menarik napas karena merasa bingung topik apa yang akan aku bicarakan. Saat bersama Gary aku tidak pernah memikirkan akan membicarakan apa karena semua mengalir begitu saja. Seharusnya aku juga tidak perlu bingung karena pria itu yang biasanya memulai topik pembicaraan. Aku segera berjalan di lorong dan langkahku terhenti. Mataku mencari-cari sosok pria mie instan yang tidak ada di tempat biasanya dia duduk. Kemana dia? Mengapa tidak ada? Aku hanya duduk untuk menunggunya di tengah lorong. Aku terus berpikir dan mengira-ngira kemana pria itu. Apa dia tidak kuliah atau dia sengaja tidak datang karena kapok berbicara denganku yang hanya bisa mengucapkan dua kata. Ya dan tidak. Dan selebihnya terdiam seperti patung di taman.

Jam makan siang hampir habis dan aku harus segera mengikuti mata kuliah selanjutnya. Aku belum menyentuh bekal makan siang dan hanya duduk terdiam di tengah lorong sambil menebak-nebak apa dia akan datang atau tidak. Dan dari mana dia datang, Gedung beasiswa atau gedung konglomerat? Dari tadi aku terus bertanya dalam hati, siapa pria itu sebenarnya? Ramah tapi sangat misterius. Bukan. Dia tidak akan semisterius seperti sekarang ini jika aku bertanya padanya kemarin. Selain makanan mie instan kesukaanya, aku tidak tahu apapun lagi tentang pria itu.

Aku bangkit dari dudukku karena waktu makan siang sudah habis, dan aku tidak mau ketinggalan sedetikpun mata kuliah selanjutnya. Aku berjalan untuk keluar dari lorong penghubung. Dia tidak datang.

"Lily..."

Terdengar suara memanggilku dari ujung lorong di gedung konglomerat. Suaranya aku kenal. Tapi tidak ada yang ku kenal di kampus konglomerat, dan itu bukan suara Gary. Apa dia...?

"Menungguku ya? Maaf ya..."

Senyum lebar terpancar dari wajah orang itu ketika aku membalikkan tubuhku. Ternyata si pria mie instan. Dari mana dia tahu namaku? Padahal dia tidak pernah bertanya dan aku tidak pernah menyebutkan namaku.

"Kau ada jam kuliah ya?" Sekarang dia berdiri dihadapanku.

"Ya. Aku tidak bisa melewatkannya." Aku melihat tangan pria itu membawa mie instan lagi. "Makan bekalku." Aku langsung menukar bekalku dengan mie instannya tanpa menunggu persetujuan darinya. "Aku harus pergi...."

Dia tersenyum sebelum aku berjalan meninggalkannya.

Dalam perjalanan menuju kelas aku memikirkan mengenai pria itu. Pria yang sangat misterius di lorong penghubung. Semuanya terasa sangat aneh sekarang. Bagaimana dia tahu namaku? Padahal aku tidak pernah menyebutkan namaku sekalipun.

"Ini sangat aneh."

Terpopuler

Comments

Dena

Dena

Kau mulai peduli dg pria mie instan😁

2023-08-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!