Semenjak masuk kuliah aku jarang bertemu Gary yang sibuk bekerja. Sejak sebulan yang lalu ia di terima bekerja di sebuah restoran mewah sebagai waiters. Ia mulai bekerja sejak pukul tujuh pagi dan selesai pukul tiga sore, untunglah restoran tersebut tidak terlalu jauh dari daerah rumah kami dan hanya menghabiskan waktu setengah jam perjalanan. Biasanya dia langsung membantu ayahku di rumah makan sebelum pukul enam sore kembali berangkat ke café milik temannya yang hanya berjarak tiga gang dari gang rumah Gary yang bersebelahan dengan rumahku. Dia menjaga café tersebut sejak pukul enam malam hingga pukul duabelas tengah malam. Café tersebut buka 24 jam dalam sehari. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya bila menjadi Gary yang harus membiayai hidupnya sendiri dan nenek yang menbesarkannya.
Sejak adik laki-lakiku Leo lahir, ibu ku meninggal. Aku dan Leo hanya dibesarkan oleh ayahku yang mencari nafkah dengan membuka rumah makan di rumah kami. Aku berpikir, nasib ku lebih baik bila di bandingkan Gary yang besar tanpa satupun sosok orang tua di hidupnya. Walaupun Gary tidak pernah menceritakan tentang orang tuanya dan mengatakan bagaimana perasaannya mengenai mereka. aku tahu kalau Gary sangat menyayangi dan merindukan mereka, sama sepertiku yang merindukan ibuku.
"Bisa aku bantu ayah?" Tanyaku pada ayahku yang sedang sibuk menyendok nasi ke piring karena saat ini ada sekitar tujuh pengunjung yang menantikan pesanannya. Aku melirik melihat jam dinding berbentuk bundar yang tertempel di dinding belakang salah satu meja pengunjung yang terdiri dari sepasang suami istri. Mereka tampak mesra dari tadi walau saat menyantap pesanannya sekalipun. Waktu menunjukan pukul tiga sore.
"Sudah pulang?" Ayah melirikku sekali dan kembali melanjutkan kesibukkannya. Aku membantu dengan menyiapkan piring-piring dan memastikan piring-piring tersebut bersih mengkilap.
"Iya. Dimana Leo? Pasti belum pulang kan? Main kemana lagi dia?" dari nadaku ayah bisa mengetahuinya kalau aku kesal. Ya aku memang kesal. Adik laki-laki ku memang nakal dan sulit di atur. Dia suka sekali pergi bermain dan tidak membantu ayahku berjualan. Dia harus di kasih pelajaran.
"Sudah jangan berisik. Ini antar ke meja nomer tiga." Seru ayah sambil merapikan susunan piring di atas baki yang terbuat dari kayu buatannya sendiri.
"Aku saja yang antar."
Aku menoleh untuk mencari sumber suara yang sudah sangat aku kenal dan menemukan Gary di belakangku. "Biar aku yang antar." Gary tersenyum padaku dan langsung mengambil baki kayu yang siap diantar ke meja pengunjung. Aku terus memperhatikannya ketika berjalan menuju meja nomer tiga yang terdiri dari lima pengunjung wanita yang usianya sekitar duapuluh tahunan. Dari belakang bahu Gary terlihat kuat dan kokoh. Dengan tubuh tinggi dan kuat itu, aku ingat bagaimana dia mengangkat sekarung beras dengan berat 50 kg di tambah dia menenteng sejeligen minyak sayur 5 kilogram ketika kami berbelanja kebutuhan rumah makan. Setiap hari minggu kami selalu berbelanja berdua ke pasar. Hampir semua pedagang di pasar mengenal Gary karena sifatnya yang ramah dan selalu sedia bila seseorang meminta batuannya. Betapa sangat membantunya dia bagiku dan juga ayahku.
"Jangan melamun." Suara Gary memecahkan lamunanku tentang dirinya. Tanpa sadar dia sudah berdiri di hadapanku yang sedang duduk di salah satu kursi plastik di dapur memperhatikannya. "Sudah makan?"
"Belum." Jawabku singkat.
"Aku buatkan telur mata sapi setengah matang yah?" Aku mengangguk menjawabnya. Dia tahu benar kalau telor mata sapi setengah matang adalah makanan favoritku, apalagi bila dia yang buat. Gary sangat pandai memasak. Dia bisa memasak banyak makanan, dan hasilnya pun selalu sangat lezat. Dulu ketika masih duduk di sekolah dasar dia pernah mengatakan padaku kalau cita-citanya adalah menjadi seorang juru masak. Kalau tidak salah saat itu aku duduk di kursi kelas tiga sedangkan dia di kelas lima sekolah dasar. Aku berpikir pasti beruntung sekali wanita yang akan menjadi istrinya kelak.
"Kalian berdua jaga dulu yah. Aku harus ke rumah pak Zaky mengembalikan obeng yang dipinjam kemarin." Ucap ayah pada kami setelah itu berjalan keluar. Sebenarnya kata-kata tersebut lebih di tujukan pada Gary yang sangat di percayai olehnya menjaga rumah makan ini ketimbang aku. Dan lagi bila ayah sudah pergi ke rumah pak Zaky, bukan hitungan menit lagi untuk menunggunya pulang. Dia selalu lupa waktu kalau ke rumah sahabatnya itu. Bisa-bisa sampai langit gelap.
Kami harus menunggu semua pengunjung pulang untuk makan bersama. Tidak mungkin bisa kami makan bersama dengan tenang ketika ada pengunjung. Aku meletakan dua piring nasi di meja nomer satu yang letaknya dekat dengan dapur memasak, agar kami dapat langsung menyingkirkan makanan-makanan tersebut jika ada pengunjung datang. Aku berharap tidak ada pengunjung yang datang saat kami makan berdua. Sudah jarang sekali kami makan bersama.
"Gar, kenapa jam segini sudah pulang?" tanya ku yang duduk di salah satu kursi di nomer satu untuk bersiap-siap makan. Aku tidak tahu apa Gary mendengar pertanyaanku atau tidak karena dia tidak langsung menjawabnya. Dia masih sibuk menyiapkan makanan di dapur. Tapi aku juga tidak berniat untuk mengulang pertanyaan yang sama.
"Mereka menyuruhku pulang lebih cepat."
Dengan dua piring berisi lauk di tangannya, akhirnya dia menjawab pertanyaanku. Dia meletakan piring-piring tersebut di hadapanku, dan duduk di kursi yang berada di depanku. Aku melihat satu piring tersebut berisi telur mata sapi setengah matang milikku, dan sup ayam di piring satunya yang lebih cocok di sebut mangkuk karena bentuknya agak cekung.
"Ayo kita makan." senyum Gary seperti biasanya. Dia langsung mengambil telur mata sapi setengah matang tersebut dan menaruhnya ke piringku dan menyiduk sup untukku.
"Kau tidak mau telur?" Aku membagi telur di piringku menjadi dua dan setengahnya ku taruh di piring Gary.
"Tidak. Aku tidak mau. Buatmu saja semuanya." Gary mengembalikan setengah telur yang ku berikan ke piringku. Memang begitulah sifat Gary, terlalu baik. Bahkan jika saja aku memaksanya untuk memakan setengah telur itu dia tetap ngotot tidak mau. Tapi jika sebaliknya aku yang menolak, dia akan tetap memaksa bahkan berusaha mencekoki aku agar mau makan. Sebenarnya sifatnya itu bisa juga dibilang kejam.
"Kenapa mereka menyuruh pulang?"
"Aku tidak tahu. Mungkin karena hampir dua minggu ini aku telat pulang jadi mereka menyuruhku pulang cepat hari ini." Sesekali Gary menambahkan sup ke piringku. "Bagaimana kuliahnya? Sudah dapat teman baru?"
Aku menggeleng menjawabnya. "Tidak niat punya teman." kata ku.
Gary membuang napas panjang mendengar ucapanku. "Masih tidak mau berubah yah?" nada suara Gary terdengar datar. Aku tahu dia kehabisan kata bila menyuruhku mencari teman. "Bertemanlah..."
"Gar, kau tahu kan bagaimana aku? Aku tidak suka memulai percakapan, apalagi berkenalan."
"Tapi..."
"Cukup! Aku bangkit berdiri. Habiskan semuanya." Nada bicaraku mulai kesal. Aku langsung masuk kedalam rumahku dan meninggalkan Gary sendiri. Kenapa dia membuatku kesal? Menyuruhku mencari teman segala, memangnya mau kemana dia? Aku sudah cukup punya satu teman yaitu dia sendiri. Aku tidak berniat mencari teman lain. Aku tidak butuh.
"Ayah mana kak?" Terdengar suara adik laki-lakiku Leo. Pasti dia baru pulang dari bermainnya. Anak itu kerjaannya bermain terus. Padahal sudah kelas tiga dan sebentar lagi lulus SMP. Bagaimana kalau dia tidak lulus? Dasar anak nakal.
"Ke rumah pak Zaky." Sahut Gary. "Kau sudah makan?"
"Buat apa makan kalau kerjanya hanya bermain." Sambarku yang langsung kembali ke rumah makan. "Kemana saja? Bukannya belajar. Dasar nakal."
Bukannya menanggapi ucapanku anak nakal itu malah masuk ke dalam rumah dan membanting pintu kamarnya dengan keras.
"Di tanya malah kabur." Aku benar-benar kesal dengan sikapnya. Beginilah kelakuan anak-anak jaman sekarang yang langsung kabur saat di nasihati.
"Jangan marah-marah terus, nanti rambutmu bisa cepat beruban."
"Aneh sekali. Kenapa kau selalu membelanya?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Dena
Perasan Lily sudah terlihat jelas menyukai Garry. Lalu Garry, apakah juga suka Lily?
2023-08-30
1
Dena
Ka ini novel pertamakah? 🤔 pake POV satu
2023-08-03
2
Dena
Bah sisi Lily ada sisi lainnya, yaitu keras kepala🙄🙄.
Bener kata Gary Ly, bertemanlah hnya sekedar teman gpp kok yg bukan dijadikan sahabat dekat seperti Garry. Untuk menunjang tuntutan hidup, biar sedikit mulus jalan hidupmu 😁. Karna manusia butuh manusia yg lain🚶♀🚶♀🚶♀
2023-08-03
1