Hujan turun sangat deras siang hari ketika mata kuliah akutansi selesai. Aku menarik lengan baju panjangku untuk melihat jam tangan yang tertutup olehnya. Waktu menunjukan pukul dua belas siang. Waktunya makan siang. Tadi pagi Gary membuatkan bekal makan siangku. Aku segera mengambil tempat makanku dan membukanya untuk melihat apa yang di buat Gary untukku.ternyata nasi goreng yang lengkap dengan telur mata sapi setengah matang kesukaanku. Aku tersenyum melihatnya. Tapi aku baru sadar kalau semua mahasiswa lainnya keluar kelas untuk makan siang. Hanya aku sendiri di dalam kelas. Sepertinya ada larangan untuk tidak makan di kelas.
Aku menyusuri bangunan demi bangunan di universitas untuk mencari tempat untuk makan. Aku tidak ingin makan di kantin karena di sana penuh mahasiswa dan berisik. Tetapi hampir semua tempat juga di penuhi mahasiswa yang asyik bersendagurau dengan mahasiswa lainnya. Aku teringat lorong yang menghubungkan antara bangunan beasiswa dan bangunan konglomerat, yang kemarin aku lewati saat bertemu dengan pria aneh. Lorong itu sepi dan hampir jarang di lewati orang. Aku yakin tidak pernah ada yang melewati lorong itu. Mahasiswa konglomerat tidak akan pernah mau masuk ke bangunan beasiswa, begitu pun sebaliknya. Mahasiswa beasiswa tidak pernah punya urusan hingga masuk ke bangunan konglomerat. Ya itu adalah tempat bagus untuk aku makan.
Dengan semangat aku melangkahkan kaki menuju lorong penghubung itu. Ternyata dugaanku benar. Lorong berukuran lebar kira-kira tiga meter dan panjang tigapuluh meter itu sepi dan tidak terinjak mahasiswa. Aku pun segera menyusurinya. Tapi tunggu. Aku menghentikan langkahku ketika melihat seseorang sedang duduk santai di tengah lorong. Orang itu sedang meniup mie instan yang mengeluarkan kepulan asap panas. Aku berbalik untuk kembali karena menghentikan niatku makan di lorong tersebut dengan gerakan pelan agar tidak mengeluarkan suara. Sepertinya orang yang duduk di jarak sepuluh meter dari jarak berdiriku itu belum mengetahui kehadiranku. Sebaiknya aku cepat pergi sebelum mengganggu acara makannya.
"Kira-kira hujannya kapan berhenti ya?" Aku terlambat. Orang itu sudah menyadari kehadiranku. "Saat air hujan menetes ke tanah mengeluarkan aroma khasnya. Aku tidak suka."
Suara orang itu terdengar tidak asing. Pasti dia pria aneh kemarin. Kenapa dia selalu berada di lorong ini? Sepertinya aku sudah memasuki daerahnya. "Mau makan ya? Ayo makan bersama."
Aku membalikkan tubuhku dan melihat senyum orang itu.
"Lebih baik makan bersama dari pada sendiri kan." Ucapnya lagi.
Berbeda sekali denganku. Aku lebih suka makan sendiri. Ya begitulah aku. Dalam perjalanan pun aku lebih suka sendiri dari pada berjalan dengan orang yang tidak benar-benar aku kenal. Aku merasa canggung bila bersama orang asing. Tapi aku tidak bisa menolak ajakan baiknya dan berjalan lima meter ke arahnya lalu duduk bersandar ke dinding. Jarak duduk kami kira-kira lima meter. Aku segera mengeluarkan bekalku.
"Lorong ini tidak pernah di lewati siapapun." Katanya dan langsung menyeruput mie instan. "Sudah hampir dua tahun aku selalu di lorong ini, dan tidak pernah sekalipun melihat orang melewati lorong ini."
Dua tahun? Pasti orang ini mahasiswa tingkat tiga. Pasti umurnya sama dengan Gary. Kira-kira jurusannya apa?
"Maaf aku belum menemukan cincin itu."
Apa? Ternyata dia sadar siapa aku. Tapi untuk apa dia mencari cincin yang sebenarnya tidak pernah ada itu.
"Sebenarnya cincin itu..."
"Tidak apa-apa, pasti nanti akan aku temukan."
Belum sempat aku menjelaskan tentang kebenaran cincin tersebut dia langsung menyambar kata-kataku.
"Mahasiswa tingkat pertama ya?"
Orang itu menatapku dengan senyum. Aku hanya mengangguk menjawabnya.
"Bagaimana menurutmu tentang tempat ini?"
Tempat ini? Apa yang di maksud dengan pertanyaannya? Yang di maksud tempat itu universitas, bangunan, atau lorong ini?
"Tidak di jawab juga tidak apa-apa." Ucapnya.
Baiklah aku memang tidak ingin menjawab pertanyaan rancu itu.
"Apa menu makananmu?" Pria itu bertanya menoleh padaku.
"Nasi goreng dan telor mata sapi setengah matang."
Mendengar jawabanku dia hanya tersenyum.
"Hmmh...jurusan apa?"
"Administrasi negara."
Mau jadi politikus ya?"
"Iya."
"Aku benci politik." Ujarnya. "Maaf ya dari tadi aku bertanya terus."
Itu bukan hal asing lagi bagiku. Hampir semua orang yang tidak saling kenal akan selalu mengajukan pertanyaan. Sedangkan aku seperti biasa tidak punya niat untuk bertanya. Aku ingat saat pertama kali bertemu Gary, saat itu umurku lima tahun dan Gary tujuh tahun. Sebenarnya itu bukan pertama kalinya kami bertemu karena sejak lahir Gary sudah menjadi tetanggaku. Mungkin pada saat itu aku baru bisa benar-benar bicara sehingga dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu. Dia mengajukan beratus pertanyaan padaku. Mulai dari nama hingga berapa jari kaki ku. Pertanyaan tidak penting sekali bukan?
Pria di lorong membuat aku terus berpikir tentangnya. Siapa dia? Kenapa dia selalu di lorong itu? Ngomong-ngomong dia mahasiswa dari mana? Beasiswa atau konglomerat? Kalau di lihat dari penampilannya yang memakai pakaian bermerk pasti mahasiswa konglomerat, tapi mie instan itu, kenapa dia makan mie instan jika anak konglomerat?
Tidak. Aku tidak boleh terus bertanya-tanya tentangnya seperti ini. Aku tidak mau tahu siapa dia dan bagaimana dia. Itu bukan diriku yang biasanya. Aku tidak berniat untuk bertemu dengannya lagi sekarang. Aku tidak akan ke lorong itu lagi. Aku tidak butuh teman. Aku tidak mau seseorang tahu lebih banyak lagi mengeni diriku. Tidak. Tidak lagi. Aku akan mencari tempat lain untuk makan siang besok dan tidak ke lorong penghubung itu.
Tetapi bukan hal yang mudah mencari tempat strategis untuk makan di kampus ini. Bahkan di hari sepanas ini semua mahasiswa memenuhi setiap sudut kampus. Berisik dan sangat mengganggu. Itulah yang paling aku benci bila para mahasiswa mulai berkumpul. Mereka ada di mana-mana. Kantin, luar kelas, taman depan kelas, bahkan di toilet juga. Dan sekarang aku semakin bingung menemukan tempat untuk makan.
Aku memperhatikan gedung megah yang ada di hadapan gedung beasiswa. Berbeda dengan gedung ini. Disana tampak sepi dan hanya terlihat beberapa mahasiswa di luar kelas. Aku berpikir betapa nyaman dan tidak terganggunya mereka dengan mahasiswa lainnya. Tapi pertanyaan-pertanyaan mulai menggelitik pikiranku seperti, apa mereka tidak suka membuat kelompok seperti yang dilakukan para mahasiswa beasiswa, dan saat makan siang seperti sekarang ini, kemana mereka? Kenapa kampusnya tampak sepi? Apa mereka memilih makan di luar kampus dan pergi dengan mobil mewah mereka? Tapi bagaimanapun juga aku sangat iri dan ingin ke gedung konglomerat saat ini untuk meunmpang makan disana. Sendiri dan tidak ada siapapun yang memandangku.
Aku bergegas dan melewati para mahasiswa yang sedang berkumpul bersama kelompoknya masing-masing. Aku berani taruhan kalau semua mata menatapku saat aku berusaha berjalan dan dengan tidak sengaja menyenggol beberapa mahasiswa. Aku juga dapat mendengar beberapa mahasiswa bergumam dan mengeluarkan kata-kata memaki.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Dena
Penyakit kepoo mang susah dihilangkan ya Lyy😅😅
2023-08-30
1