Atas suruhan Ibunya, Aldi mengejar Senja yang ia sendiri tak tahu lari ke mana. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan berada di jalanan sekitar rumah sakit, tapi tak ada ia temui sosok yang ia cari.
"Anak itu, cepat sekali larinya. Ya Allah ku mohon lindungi dia," harap Aldi dalam kepanikan. Matanya masih ****** mencari sosok Senja. Anak kecil yang ia sayangi sepenuh hati. Meskipun tak diinginkan oleh Ibunya dan mungkin saja Ayahnya, tapi Senja adalah harta berharga bagi Aldi dan Ibunya.
"Aaaaaa." Senja berteriak, mendudukkan dirinya dengan menutup telinga.
Tak terjadi apa-apa? Anak itu mendongak dan menatap sekelilingnya, "Aku belum mati, kan?" gumamnya pelan.
Tak berselang lama, datang seorang pria dengan wajah panik ia cetak dengan jelas. Berpakaian sangat rapi, terlihat tampan dan menawan.
"Adek nggak apa-apa? Apa ada yang terluka? Kita ke pinggir dulu, yuk!" ajak pria yang hampir saja menabrak Senja itu.
Senja yang sejak tadi berlari masih mengatur nafasnya. Wajahnya masih nampak pucat dan tubuhnya melemah. Dengan tangan bergetar ia menerima sebotol air mineral dan menenggaknya sedikit.
"Orang tua kamu mana? Kenapa lari-larian di jalan?" tanya pria itu
"Aku..."
"Senja, astaghfirullah kamu nggak apa-apa, kan?" Aldi datang dengan wajah khawatirnya, ia meraba seluruh tubuh Senja dengan tangan dan tatapan cemas.
"Nggak apa-apa, Pakde."
Aldi tak memperhatikan ada orang yang duduk bersama Senja. Ia terlalu fokus dengan keponakannya. Hingga sebuah suara membuatnya sadar bahwa Senja tak sendirian.
"Apa perlu saya bawa ke rumah sakit? Maaf saya tadi hampir menabrak...."
"Senja. Namanya Senja. Saya rasa tidak perlu. Tidak ada terluka. Nggak ada yang luka, kan Sayang?" Aldi menjawab dan bertanya pada dua orang yang ada ia depannya bergantian."
"Nggak ada," jawab Senja enteng seraya menggeleng.
'Senja? Namanya mengingatkan aku pada sesuatu. Ah tidak mungkin, bukankah banyak orang di dunia ini yang bernama Senja. Lagipula belum tentu juga kejadian malam itu membuat dia hamil," batin Akmal berusaha meredam pikirannya.
Akmal memperhatikan setiap garis kulit di wajah anak sepuluh tahun itu. Begitu cantik untuk usia anak kecil. Tanpa sadar bibirnya melengkung membentuk senyuman.
"Kalau gitu saya permisi dulu ya, Mas. Terima kasih sudah menolong Senja." Aldi bangkit berdiri untuk berpamitan.
"Oh, iya. Saya tidak melakukan apapun, justru saya hampir menabraknya. Lain kali lebih hati-hati ketika menjaga anak."
Aldi hanya mengangguk, ia kemudian memutar badan dan berjalan dengan menggenggam tangan kecil Senja. Meninggalkan jalanan yang penuh sesak dengan kendaraan, penuh dengan polisi udara dan penuh dengan kematian.
Aldi harus membawa Senja kembali ke rumah sakit, karena memang mobilnya masih terparkir di sana. Nampak bu Patmi yang menunggu di sisi mobil dengan cemas. Beliau tak henti-hentinya mondar-mandir sejak Aldi memutuskan mencari Senja ke jalan.
Bu Patmi kembali berlari seperti saat di rumah sakit saat melihat Senja dari ujung netranya. Seperti menemukan berlian di tumpukan sampah, wanita itu benar-benar merasa lega dan bahagia Senja kembali dengan keadaan sehat.
"Ya Allah alhamdulillah, Senja. Kamu buat Nenek khawatir. Jangan seperti ini atau Nenek akan mati berdiri kalau ada apa-apa sama kamu." Bu Patmi memeluk cucunya dengan erat.
"Iya, maaf udah buat Nenek khawatir. Tidak seharusnya aku berkata begitu tadi ke Nenek. Aku janji mulai besok tidak akan bertanya lagi siapa Ayahku dan di mana dia. Sudah Nenek yang sayang sama aku."
Air mata kembali menerobos memaksa untuk keluar. Bu Patmi adalah wanita yang sangat sensitif, beliau tak bisa mendengar ungkapan-ungkapan kesedihan dari mulut orang lain. Jangankan bicara mengenai Senja, bicara mengenai kesedihan dan penderitaan orang lain saja bisa membuatnya merasa sedih sepanjang hari.
"Sudah, ya. Kita pulang sekarang, jangan sedih-sedih." Aldi menggandeng keduanya untuk masuk mobil.
***
Manda yang sejak tadi sibuk mencari sesuatu tak kunjung menemukannya membuatnya tergerak untuk mencarinya di kamar ibunya. Kakinya ia ringankan untuk melangkah ke tempat istirahat sang Ibu dan anaknya.
Manda mulai mencari di lemari, entah apa yang ia cari hingga ia bersikeras mencari hingga menemukannya. Baju yang sudah terlipat rapi membuatnya mencari benda itu dengan hati-hati agar tak merusak lipatan-lipatan pakaian di dalamnya.
Saat membuka laci yang terkunci manda tersentak dengan isinya. Air mukanya langsung berubah penuh amarah, matanya memerah dan nafasnya pun menjadi tersengal-sengal.
Dengan emosi yang di puncak Manda mengambil benda itu dan membawanya keluar. Sungguh ia benci sekali dengan benda itu. Satu-satunya benda yang ditinggalkan oleh pria bejat yang merusak hidupnya.
Brak
Benda itu dibuangnya di teras dan seakan kebetulan yang sangat luar biasa benda itu jatuh tepat mengenai kaki Senja yang baru sampai rumah. Mereka semua hening dan saling tatap, hingga pergerakan dari Senja membuat bu Patmi bersuara.
"Nenek ambil lagi bukunya, ya Sayang. Kamu belum saatnya tahu buku ini." Bu Patmi mengambil buku yang berada di tangan Senja degan lembut.
"Memang ada apa dengan buku ini, Nek?" Senja bertanya dengan tangan yang memegang erat buku ditangannya. Seakan ia tak mau mengembalikan pada sang Nenek.
"Buku ini berisi apa saja yang dilakukan oleh orang dewasa. Kamu belum cukup umur untuk membacanya."
Senja berpikir sejenak dengan memperhatikan sampul dan judul di buku tersebut.
"Aku sudah buang buku itu. Kenapa Ibu ambil dan malah menyimpannya? Buku itu menyakitiku, Bu," seru Manda dengan keras dan mata yang berair.
Senja hanya menatap bingung Ibu dan Neneknya. Banyak pertanyaan yang bergantungan manja di kepala anak kecil itu. Ia kembali menatap heran buku yang masih ia genggam. Ada apa gerangan sampai membuat Ibunya marah dan hampir menangis?
"Bu, apa buku ini menceritakan cerita sedih? Kenapa Ibu menangis?"
"DIAM KAMU! kamu tahu apa soal kesedihan?" bentak Manda dengan menunjuk-nunjuk Senja penuh amarah.
Seperti mendapatkan sarapan, bentakan sudah menjadi hal yang biasa bagi Senja. Ia tak lagi menangis hanya karena bentakan dari Ibunya. Amarah, pukulan hanyalah sebagian kecil penderitaan yang ia jalani sepanjang hidupnya.
Pertengkaran yang mereka lakukan diteras membuat para tetangga yang berlalu lalang mengalihkan perhatian kearah mareka. Aldi, Satu-satunya manusia yang sadar akan keadaan membawa mereka masuk ke dalam rumah yang kemudian di susul oleh istri dan anaknya.
"Kenapa lagi, sih Mas?" tanya Laura seraya menggendong anaknya yang masih berusia delapan bulan. "Teriakan Manda membuat anak kita nangis, loh," imbuhnya dengan suara sedikit kesal.
"Kembalikan buku itu!" Manda menghampiri Senja dan merebutnya. Namun entah mengapa anak kecil itu sangat melindungi buku itu. Ia menyembunyikan buku tersebut ke punggungnya.
"KEMBALIKAN AKU BILANG!" bentak Manda sekali lagi dengan keras.
"Nggak, kalau Ibu tidak suka dengan buku ini, biar aku yang simpan." Entah apa yang terjadi dengan Senja, seakan ada ikatan batin antara buku itu dengan dirinya. Ia begitu melindungi buku itu dengan caranya. Bahkan untuk pertama kalinya ia berani menjawab perintah dari Ibunya.
"Berani kamu membantahku?"
Raut wajah Senja seketika berubah, ia seakan sadar dengan apa yang barusan ia katakan adalah sebuah kedurhakaan terhadap Ibunya.
"Maaf, Bu. Bukan maksud aku untuk berani sama Ibu. Tapi..."
Manda menghampiri Senja dan mencengkram kuat lengan anak itu agar mengembalikan buku yang ia sembunyikan.
"Cepat kembalikan atau tanganmu, ku buat patah!" ancam Manda yang semakin menekan cengkramannya membuat Senja semakin kesakitan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
💖 NAMA Q CINTA 💖
apa salah nya kalo kamu gasuka dia ada knpa plihara sampai besar ha..ibu macam apa kamu' hewan jg bringas ajah bisaha tu lindungi anak2 nya..hedew
2022-10-03
0
elvie
Cuma ingetin ke Manda ja, di masa depan klo Senja dh g da jgn nyesel.
2022-10-03
0
Tatya Faza
astaghfirullah... segitunya yah sama anak sendiri...
kalau aku yang jadi tetangga nya udah aku maki2 udah aku peyot bibir nya... gregeten aku
2022-10-03
0