"Astaghfirullah, senja. Bangun, Nak. Aldi jangan diam aja di situ, angkat Senja. Dia demam!" pekik bu Patmi masih histeris.
Aldi yang tersadar karena teguran dari Ibunya langsung saja melesat ke kamar mandi dan membawa tubuh Senja ke kamar.
"Manda keterlaluan, bagaimana bisa dia setega ini sama anak sendiri. Ibu nggak tahu di mana hati nuraninya, anak sekecil ini tidak tahu apa-apa, kenapa dia tidak henti-hentinya menyiksa tubuh kecilnya. Kamu jangan diam aja Aldi. Panggil bidan ke sini, kamu nggak lihat dia pucat begitu!" Bu Patmi terus mengomel seraya mencari pakaian ganti untuk Senja.
Sedangkan Aldi yang mendadak linglung hanya bisa bergerak menuruti sang Ibu yang setiap hari ngomel karena tingkah anak bungsunya.
Dengan mata berkaca-kaca dan hati teriris perih, bu Patmi mengganti pakaian Senja yang basah kuyup. Entah berapa lama anak itu di sekap Ibunya di kamar mandi, hingga wajah cantiknya memucat dan suhu badan yang panas tinggi. Sambil menunggu bidan datang, wanita yang tak lagi muda itu mengompres dahi Senja dengan kain yang dibasahi air hangat.
"Maafkan Nenek yang gagal mendidik Ibumu, ya Nak. Entah sampai kapan kamu harus menanggung derita ini. Bagaimana kalau Nenek nanti sudah tidak ada, bagaimana nasibmu nanti, Senja." Bu Patmi terisak seraya terus mengompres dahi Senja.
Tak berselang lama, datanglah Aldi dan Bidan desa. Bidan itu segera memberikan pemeriksaan seperti pada umumnya.
"Demamnya tinggi sekali, Bu. Ini saya beri obat penurun panas, kalau nanti belum turun juga suhu badannya dalam waktu dua hari segera bawa ke puskesmas saja, ya Bu." Bidan itu memberikan beberapa strip obat.
Manda datang saat bidan itu bersiap akan pergi. Mereka saling tatap sejenak lalu melanjutkan langkah masing-masing.
"Manda, dari mana kamu?" tanya bu Patmi setelah bidan itu benar-benar pergi.
"Keluar sebentar, ada apa, sih Bu? Kenapa Ibu kelihatan marah begitu? Cucu kesayangan Ibu buat ulah? Lagian kenapa masih Ibu tolongin dia? Harusnya Ibu biarkan saja biar mati sekalian!" Entah sudah ke berapa Manda mengucapkan kalimat sumpah serapah untuk anaknya sendiri.
"MANDA!" Dengan wajah murka Aldi berjalan mendekati adik yang dulu menjadi kesayangannya. "Kamu seorang Ibu. Jaga bicaramu, harus dengan cara apa aku katakan kalau Senja sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Dia juga nggak minta dilahirkan hasil dari pemerkosaan, tapi takdir yang membawanya ke sini. Hewan saja tidak pernah memperlakukan ini pada anaknya, tapi lihat dirimu. Berubahlah sebelum kamu benar-benar kehilangan Senja. Rubah dirimu sebelum penyesalan itu datang, Manda!" Aldi mengamuk pada adiknya karena merasa sudah cukup bersabar menghadapi adiknya yang berubah menjadi orang yang tak punya hati.
"Kamu nggak tahu rasanya jadi aku, Kak. Masa depanku hancur gara-gara dia. Aku nggak punya masa depan hanya karena aku gagal melenyapkan dia dari muka bumi ini. Aku tidak akan pernah menyesal jika dia benar-benar mati, justru itu yang aku inginkan." Manda tak kalah berteriak. Ia bicara dengan lantang di depan wajah kakaknya.
Teriakan Manda membuat Senja terbangun. Tak ada satupun yang sadar bahwa anak kecil itu terganggu dengan suara teriakan dari penghuni rumah. Ia tak bersuara, anak itu berusaha duduk dengan menahan kepala yang sejak tadi terasa terus berputar.
"Kalau Senja mati apa bisa merubah semuanya? Bisa kamu kembali ke masa sepuluh tahun yang lalu dan memperbaiki semuanya? BISA? kalau Senja bisa memilih dia juga pasti akan memilih mati dari pada punya Ibu seperti kamu. Kalau kamu lenyapkan dia sekarang apa bisa menjamin masa depanmu akan indah? Siapa yang menjamin? Kalau kamu nggak bisa sayang sama dia, setidaknya jangan sakiti dia, Manda. Apa ini yang Ibu ajarkan sama kita?" Suara Aldi masih meninggi. Ia benar-benar sudah habis kesabaran dengan adiknya.
Manda terisak, air matanya jatuh berlinang. Selama ini tak pernah Aldi membentaknya sekasar ini. Bahkan saat Aldi tahu dirinya hamil hingga ingin berusaha menggugurkan pun Aldi masih berada di samping Manda dengan sejuta kasih sayangnya.
Namun, entah apa yang ada dalam pikiran Aldi hingga semarah ini? Manda benar-benar tak habis pikir, ia tak tahu apa yang salah dengan kakaknya.
"Kamu bentak aku begini karena anak pembawa sial itu, Kak? Kamu udah nggak nggak sayang sama aku? Semua kasih sayangmu kamu limpahkan pada anak haram itu?" tanya Manda dengan lemah, tanpa mendengar jawaban dari sang kakak, ia beringsut ke kamarnya. Menumpahkan tangisnya di atas kasur lapuk yang termakan usia.
Di kamar lain, ada sosok anak belia yang juga sedang mengurangi cairan bening melalui mata. Tiada hari tanpa menangis bagi Senja. Hari-harinya selalu diwarnai tangis, bahkan ia tak tau hal apa yang membuatnya tersenyum. Ia sama sekali tak punya kenangan itu.
"Manda!" Aldi masih belum puas memarahi adiknya itu, ia beranjak akan menyusul Manda, namun di cegah oleh sang Ibu.
"Al, sudah jangan. Biarkan dia sendiri, mau kamu amuk sampai bagaimana juga dia nggak akan berubah sebelum hatinya terketuk untuk berubah. Ibu nggak kenal dia sejak dia hamil. Kasihan Senja jika kalian teriak-teriak, dia..." ucapan Bu Patmi terhenti ketika sampai di ambang pintu kamarnya.
"Senja kamu sudah bangun, Sayang? Kita makan habis itu minum obat, ya." Bu Patmi duduk di tepi ranjang dan mengelus pelan puncak kepala cucunya. "Kamu pasti dengar Ibu dan Pakde bertengkar, ya?" tebak Bu Patmi.
"Nek, kenapa aku nggak mati aja biar Ibu bahagia? Kehadiranku di sini hanya membuat Ibu menderita saja. Untuk apa aku hidup jika membuat Ibu tidak bahagia, Nek? Aku mau liat Ibu bahagia, aku mau lihat senyum Ibu yang tidak pernah aku tahu." Senja menenggelamkan kepalanya lagi di lipatan tangannya.
"Senja nggak boleh ngomong gitu, Nak. Hidup dan mati seseorang sudah ada yang mengatur, kenapa kamu menginginkan kematian kamu sendiri? Kamu nggak sayang sama Nenek?"
"Tapi Ibu nggak ingin aku di sini," ucap Senja lagi dengan terisak.
Aldi yang sejak tadi berdiri di ambang pintu merasa bersalah karena sudah bicara dengan keras dan hingga terdengar oleh keponakannya. Pasti anak itu merasa sakit hati yang sudah tak ada obat untuk sembuh. Luka yang terus menganga dan dibiarkan, semakin lama semakin melebar dan luka itu di siram degan air garam setiap harinya.
"Sayang, nggak boleh bicara begitu. Coba Pakde tanya sama kamu. Sayang nggak kamu sama Nenek dan Pakde?" Aldi menghampiri dan memangku bocah sepuluh tahun itu.
"Sayang."
"Kalau sayang seharusnya nggak boleh bicara seperti itu. Karena apa? Ucapan Senja itu barusan nyakitin Nenek dan Pakde. Kami nggak mau kehilangan kamu, Nak. Bude sama Dek Gandi juga sayang sama Senja. Kamu mau buat kami semua sedih? Mau buat Nenek sama Pakde nangis? Mau kamu lihat kami nangis?"
Senja menggeleng lemah. "Tapi Ibu akan terus marah kalau lihat aku," imbuhnya.
"Hanya Ibu, kan? Kamu dengar Pakde, ya. Suatu hari nanti Ibu pasti akan sayang sama kamu. Pasti! Percaya deh sama Pakde. Waktu itu akan datang entah cepat atau lambat. Ibu pasti akan sayang sama kamu. Ditambah lagi sabarnya, ya Sayang."
"Hanya kematianku yang buat Ibu bahagia saat melihatku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Taryumi 2003
Thor kasian amat si senja.. ikut nangis nih..
2022-11-03
0
Runia Youzhi
thor bab pertama bikin ak nangis..😭😭 betapa hancurnya hati senja.. ank seusia itu .. hrs merasakan penderitaan.. di siksa lahir dan batin.. 😭😭😭 oleh ibu kandung nya😭😭😭
2022-10-14
0
Rea Ana
semangat...
2022-10-07
0