Sudah tiga hari ini demam Senja masih naik turun. Pagi-pagi sekali dengan diantar oleh anak sulungnya Bu Patmi memaksa Senja untuk berobat ke puskesmas. Anak kecil itu sangat keras kepala, ia sangat susah untuk berobat jika sedang sakit.
"Pakde ayo kita pulang saja. Aku nggak apa-apa. Besok juga turun demamnya, kan sudah minum obat," rengek Senja ketika mengantri menunggu giliran namanya dipanggil.
"Kita akan pulang setelah kamu di periksa. Udah jangan banyak rengekan, semakin kamu merengek, Pakde akan bawa kamu ke rumah sakit, bukan puskesmas. Mau?" Aldi yang kuwalahan dengan keras kepala Senja akhirnya memberikan ancaman saja.
Anak kecil itu lalu diam dengan mengerucutkan bibirnya beberapa senti. Aldi justru menampilkan senyumnya ketika melihat reaksi Senja yang menggemaskan baginya.
"Senja Kumala," panggil bidan dari dalam ruangannya.
Dengan ogah-ogahan Senja masuk ke dalam ruang periksa. Dengan malas pula ia berbaring di ranjang. Sementara sang Nenek menunggu di kursi yang memang di sediakan untuk pasien dan yang mengantarkan.
"Kamu ngerasain apa aja selain demam?" Bidan itu bertanya seraya memeriksa.
"Nggak ada, Bu. Demam aja," jawab Senja.
Sang Nenek yang mendengar jawaban Senja seketika berdiri dan menghampiri mereka.
"Bohong, Bu. Kemarin Senja sampai muntah dan diare demamnya juga tidak kunjung turun seharian kemarin," seragah Bu Patmi. "Senja ini sangat keras kepala seperti Ibunya. Dia sangat susah untuk diberi tahu, kemarin seharian saya bujuk dia untuk periksa. Tapi selalu menolak dengan seribu alasan," curhat bu Patmi pada bidan desa itu.
"Senja, nggak boleh gitu ya, Sayang. Kalau sakit harus segera di periksakan biar cepat sehat lagi. Lihat, tuh! Nenek khawatir dan sedih kalau kamu sakit, nggak kasihan sama Nenek?"
Senja diam, ia bingung harus jawab apa. Jika dirinya sakit ada dua perasaan berbeda yang ia lihat di dalam rumah. Ia tak tahu harus mendahulukan perasaan siapa. Di satu sisi ia tak mau membuat Neneknya khawatir dan tak mau merepotkannya. Tapi di sisi lain Ibunya merasa bahagia dan tak marah-marah jika melihat dirinya terkapar di ranjang. Jadi, harus perasaan siapa yang ia perdulikan. Keduanya adalah orang-orang yang Senja sayangi.
"Bu, dari pemeriksaan yang barusan saya lakukan. Senja seperti menderita tipes. Ini saya beri surat rujukan untuk Ibu bawa ke rumah sakit, ya. Kalau memang benar dugaan saya, Senja bisa saja di rawat di rumah sakit beberapa hari." Bidan desa itu menuliskan sesuatu di selembar kertas.
"Tipes?" ulang Bu Patmi lemah. "Bisa sembuh, kan Bu?" tanyanya cemas.
"Bisa, Bu. Itu sebabnya harus di bawa ke rumah sakit biar cepat mendapat penanganan."
"Aku nggak mau ke rumah sakit, Nenek," rengek Senja entah untuk yang ke berapa.
"Ya sudah, tidak perlu ke rumah sakit. Biar Nenek yang rawat kamu sampai sakit dan Nenek meninggal karena kelelahan ngurusin kamu. Mau kamu begitu, kan?" jawab Bu Patmi dengan nada bicara dibuat kesal.
"Nenek, jangan bicara begitu. Baiklah aku mau ke rumah sakit. Tapi, kan di rumah sakit mahal, Nek." Senja bicara dengan pelan di akhir kalimat.
"Jangan ngurusin uang! Diam dan nurut sama Nenek!" Bu Patmi memberikan peringatan.
Selesai dengan urusan Bidan, Bu Patmi langsung saja membawa Senja ke rumah sakit. Beliau merasa lebih cepat lebih baik. Tak peduli lapar dan lelah ia terjang untuk kesembuhan sang cucu.
*
"Senja! Di mana kamu? Kamu taruh mana jam tanganku?" Manda berteriak-teriak seraya terus mencari jam tangan yang biasanya selalu di sediakan di meja riasnya.
Manda, wanita tiga puluh tahun yang sebenarnya tak bisa melakukan apapun tanpa bantuan sang anak. Semua keperluannya Senja yang menyiapkan. Mulai dari jam tangan, sepatu, tas dan keperluan lainnya.
Tanpa sadar Manda membuat dirinya bergantung pada Senja. Tak ada Senja ia kelabakan tak tahu di mana berang-barang itu di simpan. Manda selau menganggap anaknya sebagai asisten rumah tangga, sebagai ganti uangnya yang ia gunakan untuk membesarkan Senja hingga sekarang.
"Nih, kamu simpan semua barang yang selalu aku gunakan untuk kerja, jangan sampai rusak apalagi hilang. Kamu harus mempersiapkan segala sesuatunya sebelum aku berangkat kerja. Mulai dari jam tangan, tas, sepatu. Selain itu kamu harus rawat barang-barang aku, jangan sampai ada debu. Kamu juga kerjakan pekerjaan yang lain, kamu tahu? Aku harus membuang banyak uang untuk membesarkan kamu! Dan itu semua nggak gratis, ya. Kamu harus ganti uangku nanti." Itulah yang diucapkan Manda ketika Senja berusia tujuh tahun.
Sejak saat itu Senja mulai bekerja melakukan semuanya yang diperintah oleh Ibunya. Tidak ada yang berani melawan ataupun memberitahu Manda kala itu. Karena dia selalu memberikan ancaman pada Ibu dan Kakaknya bahwa jika mereka melarang Senja melakukan pekerjaan rumah, maka ia tak segan-segan untuk kembali berusaha melenyapkan Senja.
"Iya, Bu. Aku akan melakukan apapun yang Ibu minta. Boleh aku minta sesuatu, Bu? Sekali saja peluk aku, Bu. Hanya sekali," pinta Senja memohon.
"Peluk? Aku pegang kamu aja nggak mau, jangan mimpi!"
"Apa yang harus aku lakukan biar aku mimpi di peluk Ibu?"
"Nggak ada yang harus kamu lakukan. Kehadiran kamu itu nggak aku inginkan, gara-gara kamu hancur sudah hidup dan masa depanku."
Kembali pada Manda yang mengobrak-abrik seluruh rumah hanya untuk mencari jam tangannya. Ia membuang semua barang yang di depannya. Barang yang sekiranya menghalangi pencariannya pada benda kesayangannya itu.
"Astaghfirullah, Manda! Kamu ngapain, sih? Kenapa ini berantakan?" tanya Aldi yang pulang untuk mengambil keperluan Senja selama di rawat di rumah sakit.
"Apa anak itu sedang di rumahmu, Kak? Aku sedang mencari jam tanganku. Aku nggak tahu di mana dia simpan. Sepagi ini kenapa dia kelayapan?" omel Manda yang masih tak menghentikan aktivisnya.
"Kerja nggak pakai jam tangan, kan bisa. Makanya kalau kamu merasa butuh Senja, jangan siksa dia. Kamu, tuh nggak bisa melakukan apapun tanpa Senja. Bahkan untuk mencari barangmu saja kamu nggak bisa, kamu bukan apa-apa tanpa dia."
"Aku nggak butuh dia, aku butuh jam tanganku."
Aldi menaikkan bibir sisi kirinya, memberikan senyum ejekan pada adiknya sendiri. "Kalau nggak butuh, ya udah. Ngapain kamu teriak-teriak panggil dia? Untuk beberapa hari ke depan nggak usah cari dia! Senja lagi di rawat di rumah sakit karena tipes. Itu artinya, kamu harus urus diri kamu sendiri. Nggak usah dikit-dikit teriak Senja. Kamu nggak malu apa sama diri kamu sendiri? Kamu bilang kamu nggak butuh dia, kamu bilang kamu nggak menginginkan dia. Tapi kamu mempercayai dia untuk menyimpan barang milikmu," ujar Aldi seraya mengemasi apapun yang dibutuhkan selama di rumah sakit.
Manda diam, seakan ia membetulkan apa yang di katakan oleh kakaknya. Namun, di detik berikutnya ia kembali mencari jam tangannya.
"Sudahlah, Kak jangan terus ingatkan aku pada anak sial itu! Dia nggak berguna"
"Jaga bicaramu, Manda! Yang harusnya kamu salahkan adalah laki-laki yang menghamili kamu dan hilang begitu saja tanpa jejak. Kamu boleh benci dia, kamu boleh hukum dia, tapi tidak dengan Senja."
Mendengar ucapan Aldi membuat emosi Manda tak stabil. Ia kembali mengingat malam itu. Malam di mana semuanya direnggut darinya. Nafasnya mulai tak teratur, wajah pemuda itu kembali berseliweran di mata Manda.
"Wajah anak itu mengingatkanku pada laki-laki itu, dia...dia yang menghancurkan masa depanku." Trauma Manda seperti kembali ketika diingatkan soal pemuda itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Eli Andi
lagi thor
2022-10-02
0
elvie
dasar Ema ga punya hati.
Masa ank usia 7thn di jadiin babu, ank sendiri pula.
Ga sabar kena karma tu si Manda.
Nanti klo smpe Senja ga da awas ja smpe nyesel....
Klo emang g mau ngurus dan kasih uang kasih ja ke ibu mu atw kakak laki-laki mu atau sekalian taro ke panti asuhan, biar uang aman ga da yg ke buang untuk kasih makan Senja.
Dasar ibu durhakim.😤
2022-10-02
1