"Kamu yang harusnya berhenti bekerja! Apa kamu berpikir aku tidak sanggup menafkahi kamu, ha? Kamu tugasnya urus anak, didik dengan baik, duduk diam di rumah. Aku nggak mau tahu, kamu harus berhenti kerja, aku nggak mau kejadian ini terulang lagi. Jadi Ibu nggak becus, kamu itu!" sentak Akmal pada istrinya.
"Hey, urusan anak itu bukan hanya tanggung jawab aku sebagai seorang Ibu. Mengurus, mendidik, menjaga itu adalah tugas kita. Kamu nggak bisa nyalahin aku aja," balas Clara tak kalah emosi.
Akmal dan Clara, pasangan suami istri yang setiap harinya hanya meributkan sesuatu, baik hal yang kecil maupun besar. Tak pernah mereka akur barang seharipun. Keegoisan mereka yang selalu di puncak adalah pemicu mereka selalu bertengkar siang dan malam.
Seperti pagi ini, buah hati mereka satu-satunya sedang demam dan tak ingin di tinggal oleh Ibunya. Sejak tadi Karang meraung-raung meminta gendong Ibunya. Anak berusia tiga tahun itu menangis histeris melihat Ibunya yang bersiap akan pergi ke kantor.
"Mama, mama," rengek Karang di tengah-tengah menangisnya.
Balita yang sedang di gendong oleh baby sitternya itu berusaha untuk turun .
"Kamu lihat dia! Kasih sayang seorang Ibu sedang dia butuhkan! Kamu jangan kayak gembel yang menggebu dan maniak kerja. Aku masih sanggup jika harus memanjakanmu dengan harta!"
Dengan langkah kesal Clara kembali masuk ke dalam rumah. Ia mengambil Karang dari gendongan baby sitternya dan membawanya ke kamar. Dan yang benar saja, anak laki-laki tiga tahun itu seketika terdiam saat tangan lembut sang Ibu mendekapnya.
Akmal melanjutkan langkah ke halaman. Ia menutup pintu mobilnya dengan keras hingga menimbulkan suara yang keras pula. Ia lelah, ia sudah lelah dengan keadaan rumah tangganyan yang selalu dia warnai dengan keributan.
Sudah empat tahun ini ia menjalani kehidupan dengan Clara. Tapi rumah yang ia singgahi serasa membuatnya tak nyaman. Ia merasa tak bahagia dengan apa yang sudah ia jalani selama ini.
"Mutiaraku, sebenarnya di mana kamu? Apa yang terjadi setelah kejadian malam itu? Ini adalah tahun ke tujuh aku kehilangan jejakmu yang sulit aku temui. Aku masih berharap kamu baik-baik saja," ucap Akmal tertahan dengan suara bergetar.
***
Sudah tiga hari ini Senja di rawat di rumah sakit. Dan hari ini adalah hari ia terakhir ia di rawat. Anak kecil berparas cantik itu bahagia bukan kepalang. Sudah tiga hari ini, ia sangat bosan dengan hanya tiduran di ranjang sempit rumah sakit.
Tidak ada kebahagiaan di rumah, ia justru mendapat ketenangan di rumah sakit. Tidak dibentak, diamuk, dipukul dan tidak mendapat kekerasan lainnya. Namun, entah mengapa tiga hari tak bertemu dengan Ibunya membuat Senja merasakan rindu yang teramat dalam.
"Nek, apa Ibu ada di rumah?" tanyanya tiba-tiba.
Bu Patmi nampak berpikir sejenak, "Mungkin ada. Jam segini, kan Ibu belum berangkat bekerja. Memang kenapa?" Bu Patmi tak berhenti melakukan aktivitasnya mengemasi semua barang.
"Aku kangen sama Ibu. Saking kangennya aku sama Ibu, aku sampai mimpi di peluk, dan sekarang aku sembuh, deh. Aku seneng banget, Nek semalam mimpi begitu. Kalau aku bisa minta, aku akan minta sama Allah biar nggak usah bangun aja. Biar aku di peluk Ibu terus." Senja menceritakan mimpinya semalam dengan sangat antusias. Hal itu terlihat dari senyuman yang mengembang di mulutnya.
"Oh, kamu jadi nggak mau ketemu sama Nenek? Mau tidur aja biar di peluk Ibu? Nenek cemburu, Nenek tiap hari peluk kamu, tapi kamu nggak pernah sebahagia ini," protes Bu Patmi.
"Kalau sama Nenek aku bisa minta setiap hari, bahkan tanpa diminta pun, Nenek akan memelukku, kan? Tapi kalau sama Ibu." Senja merubah raut wajahnya. "Ibu pernah bilang kalau aku nggak akan pernah dapat pelukan darinya. Bahkan dalam mimpi sekalipun. Nek, aku mau tahu di mana Ayah aku. Kenapa Nenek nggak pernah cerita soal Ayah? Nenek bilang aku punya Ayah, nenek selalu marah saat ada yang mengataiku aku anak haram. Tapi aku nggak pernah tahu bagaimana Ayahku? Namanya siapa? Tinggal di mana? Apa Ayah juga tidak menginginkan lahirnya aku, Nek?" Senja mencerca bu Patmi dengan pertanyaan menyakitkan.
Bu Patmi yang mendapat pertanyaan seperti itu seketika menghentikan aktivitasnya. Menatap Senja dengan iba, terdapat raut wajah yang penuh pengharapan di sana.
"Kita pulang, yuk!" Bu Patmi lebih memilih bungkam dan mengalihkan pembicaraan. Sungguh beliau tak mau membuat Senja semakin terluka dengan asal usul kelahirannya.
"Kalau Nenek nggak jawab berarti, iya. Ayah juga tidak menginginkan aku lahir ke dunia. Lalu kenapa aku dilahirkan? Aku lahir untuk siapa?"
"Bukan seperti itu, Nak. Nenek akan cerita semuanya ketika kamu sudah dewasa. Nenek akan cerita bagaimana kamu bisa lahir dan terpisah dengan Ayah. Tapi tidak sekarang, Senja harus sabar, ya." Bu Patmi membujuk cucunya agar tak bertanya lagi.
"Sabar? Aku kurang sabar, kah Nek? Bukannya sekarang atau nanti akan sama saja? Apa jika Nenek cerita ketika aku dewasa semua akan berubah? Jika, iya. Aku mau nunggu dewasa untuk mendengar cerita Ayah."
Bu Patmi tak kuasa menahan tangis. Air mata yang sudah sejak tadi susah payah beliau tahan lolos sudah membasahi pipi. Kenapa begitu sulit untuk membuat Senja tak menanyakan ayahnya? Kenapa begitu sulit mulut Bu Patmi menceritakan Ayah cucunya yang hingga kini ia tak tahu bagaimana bentuk dan rupanya? Di mana ia? Apakah masih hidup atau sudah mati? Apakah sudah berkeluarga atau belum? Sungguh bu Patmi tak tahu bagaimana cara menjelaskan sosok Ayah pada Caca.
Hening. Hanya dentingan jam yang terus berjalan yang mendominasi di ruangan serba putih itu. Dua manusia berbeda generasi itu tampak hanyut dalam pikiran masing-masing. Hingga akhirnya pintu terbuka dan menampilkan sosok Aldi di belakangnya.
"Sudah siap pulang?" tanyanya dengan semangat.
"Pakde, aku udah nunggu dari tadi. Pakde, Ibu belum berangkat kerja, kan? Ayo kita pulang sekarang, nanti Ibu keburu berangkat kerja. Aku mau cerita ke Ibu kalau aku semalam mimpi di peluk sama Ibu." Senja berlari ke arah Aldi dan menarik-narik baju pria yang sedang menatapnya iba.
"Suah cukup, Senja! Sejak tadi kamu cerita itu, bertanya soal Ayahmu tiada henti. Kamu tahu tidak pertanyaan itu membuat Nenek terluka. Apa kasih sayang Nenek kurang buat kamu? Nenek sedih melihat kamu yang seperti ini." Bu Patmi terisak pelan. Sungguh sakit hatinya melihat Senja yang menggebu ingin bertemu Ibunya. Karena beliau tahu, Senja akan tetap disakiti oleh anaknya meskipun ia harus mengorbankan nyawa untuk Manda.
"Aku juga terluka mendengar jawaban Nenek yang tak pernah jujur sama aku. Aku adalah satu-satunya anak yang tidak tahu Ayahnya. Bahkan hanya namanya saja aku tidak tahu. Apa aku salah kalau bertanya tentang orang tua aku? Nenek udah nggak sayang aku." Senja berlari keluar ruangan dengan menangis.
"Senja tunggu, Sayang!" Aldi berlari menyusul Senja dengan berteriak. Bu Patmi pun ikut berlari dengan kencang.
Bruk!
Bu Patmi terjatuh karena berlari terlalu kencang di usia yang tak lagi muda.
"Astaghfirullah, Ibu." Aldi kembali ke belakang dan menolong ibunya, membantunya berdiri dan ia kehilangan jejak Senja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
elvie
Senja yang sabar y, yang kuatbiar nanti di masa depan bahagia bisa di raih sama Senja.
Ga peduli kamu tau dan kenal Ayahmu yang pasti klo sudah suratan takdir pasti akan bertemu juga sama ayah Senja, dan senja juga bisa tnya ke mna j Ayah selama ini?
Bersyukur selama ini Senja punya Nene dan paman yang selalu ada buat Senja.
🤗🤗🤗
2022-10-03
0