Bab 5. Kepulangan Salman

Saat ini Salma sedang duduk di ruang tunggu kedatangan bandara. Ia sudah tak sabar untuk bertemu dengan Salman, adik lelaki satu-satunya yang ia sayangi.

Ketika melihat sosok tinggi tegap itu berjalan kearahnya, Salma segera bangkit dari duduknya dan bersiap menyambut Salman. Senyum mengembang Salma persembahkan untuk sang adik.

"Mbak!" sapa Salman dengan mengulas senyum juga.

"Apa kabar kamu, Dek?" Salma memeluk Salman. Sudah dua tahun Salman tidak pulang karena kesibukannya sebagai seorang dokter di negeri orang.

Selepas kuliah, Salman memilih berkarir dulu di luar negeri untuk mendapatkan pengalaman kerja. Namun kini Salman rasa ia sudah harus kembali karena ayahnya membutuhkan dirinya disini.

"Bagaimana kabar Mbak dan bang Aidil?"

"Kabar kami baik. Ayo mari! Aku sudah minta Marko untuk menyiapkan menu istimewa untuk kita." Salma mengggandeng tangan adiknya.

Salma mengajak Salman ke sebuah resto milik sahabatnya, Marko. Marko adalah seorang chef profesional. Sebenarnya Salma ingin mengajak Salman makan di rumah Aidil, tapi karena kesibukannya, Salma memilih untuk makan di luar saja.

Tiba di resto Marko, Salman langsung menyapa hangat sahabat sang kakak. Mereka bercanda gurau bersama. Meski usia Salman dan Marko terpaut 10 tahun, tapi itu tak mengurangi kekompakan mereka.

"Mbak, aku tinggal dulu tidak apa? Aku lupa mengabari ayah jika aku sudah tiba. Pasti ayah sudah menungguku."

"Apa perlu Mbak antar?"

"Tidak perlu. Aku bisa naik taksi. Lagipula Mbak kan belum lama mengobrol dengan Bang Marko."

"Ish, kau ini! Ya sudah sana! Titip salam saja untuk ayah dan ibu."

"Iya, Mbak. Kalau begitu aku permisi, Mbak, Bang Marko."

Salman melambaikan tangannya kepada dua orang yang duduk berhadapan itu.

"Aku tidak menyangka Salman sudah sebesar itu ya," ucap Marko.

"Yah begitulah, Mark. Waktu memang begitu cepat berlalu."

"Oh ya, Sal. Kemarin aku dengar dari Marina jika kau mencurigai suamimu ya gara-gara barang belanjaan?"

"Haahhh! Jadi Marina cerita padamu?"

"Kau tahu kan dia itu ratu gosip, heheh."

Salma hanya diam. Ia tak ingin membahas soal kecurigaannya itu pada orang lain. Tapi nyatanya ada saja orang yang mengungkitnya.

"Untuk pertama kalinya aku mencurigai mas Aidil, Mark. Dan itu rasanya tidak adil. Aku percaya padanya. Karena itu adalah hal utama dalam sebuah pernikahan. Kamu sendiri bagaimana? Kenapa belum memilih pendamping hidup?"

Marko tersenyum getir. "Aku terlalu sibuk untuk mengurusi hal itu, Salma. Kau tahu kan aku juga mengajar kursus untuk para ibu muda agar bisa membuat makanan untuk keluarganya." Marko tertawa kecil.

"Jangan putus asa, Mark! Aku yakin Tuhan mengirimkan jodoh terbaik untukmu."

#

#

#

Seminggu setelah kepulangan Salman, Aidil mengundang adik iparnya itu untuk makan malam di rumahnya. Tentu saja Salma menyiapkan sendiri semua menu makan malam kali ini.

Salma sudah terbiasa mengurus semua orang, hingga kadang ia lupa untuk mengurus dirinya sendiri. Salma menyukai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Baginya itu adalah pekerjaan yang mulia.

Tibalah saatnya acara makan malam di mulai. Salman menikmati makan malam yang dimasak oleh kakaknya ini.

"Masakan Mbak memang yang terbaik!" Salman mengacungkan kedua jempolnya.

"Terima kasih, Salman. Kalau begitu habiskan semuanya ya!" timpal Salma.

Acara makan malam di selingi dengan tawa renyah ketika Salman menceritakan pengalaman kerjanya di negeri orang.

"Oh ya, apa kau sudah mencari pekerjaan disini?" tanya Evita.

"Sudah, Nyonya. Aku melamar pekerjaan di rumah sakit milik ayah temanku."

"Hmm, baguslah. Jadi, kami tak repot-repot mencarikanmu pekerjaan bukan?"

"Sebenarnya aku bekerja disana hanya untuk menambah pengalamanku saja sebelum aku memiliki klinikku sendiri. Sejak dulu aku ingin memilik tempat praktek sendiri."

"Lalu? Apakah kau akan meminta putraku membelikan ruko untuk tempatmu praktek?" tanya Evita yang terdengar sinis.

Salman mengulas senyumnya. "Tidak, Nyonya. Aku akan mengumpulkan uang dari hasil kerjaku di rumah sakit."

Evita memutar bola matanya malas. Meski Salma adalah menantu di rumah itu, tapi Salman memanggil Evita dengan panggilan 'nyonya'. Salman tak mau jika kakaknya menerima perlakuan buruk ibu mertuanya karena dianggap orang miskin.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Salman berpamitan pada semua orang termasuk Salma.

Wanita 40 tahun itu mengantar adiknya hingga ke depan rumah.

"Kenapa Mbak tahan dengan sikap ibu mertua Mbak yang seperti itu?"

Salma tersenyum. "Mamih Evita orangnya memang begitu. Jadi, harap kamu memakluminya ya. Sebenarnya dia orang yang baik kok."

"Hmm, Mbak ini memang yang terbaik! Tidak pernah menyimpan dendam kepada siapapun."

Salma merangkum wajah adiknya. "Kapan kamu akan menikah, Man? Usiamu sudah cukup untuk menikah."

"Ah, Mbak ini! Selalu saja bertanya tentang itu. Aku belum memikirkan kearah itu, Mbak. Aku masih ingin berkarir."

Salma mengusap lengan adiknya. "Baiklah. Tapi jangan lupa, sambil berkarir kamu juga harus mencari wanita baik untukmu."

Salman tersenyum manis. Ia sangat menyayangi kakaknya itu. Ia berharap kakaknya selalu mendapat kebahagiaan dalam rumah tangganya.

#

#

#

Jihan menemui Aidil di ruangannya. Jihan nampak kaget karena Aidil memintanya untuk datang. Menurut Marina, ada yang ingin Aidil sampaikan pada Jihan.

Kini Jihan sudah duduk di depan meja kebesaran Aidil.

"Ada apa bapak memanggil saya? Saya sampai kaget. Saya pikir saya melakukan kesalahan."

Aidil tertawa ringan. Tawa yang terlihat indah di mata Jihan. Pria di depannya memiliki sejuta pesona untuk menarik perhatian para wanita, termasuk juga Jihan.

"Begini, Nona Jihan..."

"Panggil Jihan saja, Pak. Saya kan karyawan bapak."

"Ah iya, baiklah Jihan. Jadi begini, perusahaan mendapat tawaran untuk menggarap sebuah film yang bertemakan rumah tangga. Aku ingin kau bisa membuat naskah filmya."

"Heh?!" Permintaan Aidil membuat Jihan terkejut.

"Kenapa? Apa kau tak sanggup?"

Jihan berpikir sejenak. "Saya belum pernah mencoba membuat naskah film, Pak. Saya takut mengecewakan bapak."

"Hahaha." Lagi-lagi Aidil tertawa.

"Kita tidak akan tahu apakah kita mampu bekerja atau tidak sebelum kita melakukannya. Jadi, kuminta kau jangan mengeluh. Bagaimana? Apa kau bersedia?"

Jihan kembali berpikir. "Umm, baiklah kalau begitu. Saya akan bekerja semaksimal mungkin."

"Kau kuberi waktu untuk membuat ide ceritanya satu minggu dari sekarang. Jika naskahmu disetujui, maka syuting film akan segera dilakukan."

Jihan tersenyum lebar. Ini adalah kesempatan emas untuknya agar bisa melebarkan sayap.

"Terima kasih banyak atas kesempatan yang bapak berikan! Saya janji saya akan bekerja dengan baik. Kalau begitu saya permisi, Pak."

Dengan langkah lebar yang pasti, Jihan tersenyum lega dengan pekerjaan yang diberikan padanya. Ia tak menyangka selain tampan, Aidil juga pria yang baik dan sempurna.

#

#

#

Satu minggu kemudian, Jihan kembali ke ruangan Aidil untuk memberikan ide cerita dari naskah yang akan dia tulis nanti. Itu juga jika Aidil menyukainya.

Aidil menatap berkas yang ada di depannya. Ia segera membuka dan membacanya. Sesekali dahinya berkerut membaca ide cerita milik Jihan.

Sementara Jihan, ia sudah tak kuasa menutupi kegugupannya. Ia pun menautkan kedua tangannya. Ia berdoa agar ide ceritanya kali ini disetujui oleh Aidil.

Terpopuler

Comments

Xyylva Xyylva

Xyylva Xyylva

tetap semangat thor...

2022-10-11

1

ᴴᶥᵅᵀ

ᴴᶥᵅᵀ

pertanyaan yg sama

2022-10-04

2

ᴴᶥᵅᵀ

ᴴᶥᵅᵀ

mama mulutnya pedas sekali.. hobi makan sambal ya? 😱😱

2022-10-04

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!