Mata Giza menatap lurus benda yang melingkar di dinding. Detak yang bersuara di sana, mengiris hati dan melukai perasaan seorang ibu.
Giza memikirkan Rega, sementara hatinya mengevaluasi; sudah benarkah tindakannya kali ini? Menguraikan sesuatu yang sebenarnya baru dibicarakan dalam tahap candaan belaka.
Kelancangan tindakannya memperburuk hubungan mereka. Dia mengakui; dirinya terburu-buru.
Wanita itu mengangkat tubuh kurusnya yang begitu rapuh. Diabetes menggerogotinya. Tetapi dirinya jauh lebih kuat dari siapapun di dunia ini. Ya: menopang kehidupan dirinya sendiri, anaknya, dan juga separuh nyeri karena ketidakadilan dunia. Wanita mana yang mampu menahan semua itu? Selain tubuh rapuhnya yang luar biasa ini.
Sesaat Giza berpikir, lalu masih dalam diam, kakinya melangkah ke kamar tamu; dimana Billa meringkuk dan mengais mimpi.
Wanita itu tersenyum, lalu perlahan mundur dan kembali ke ruang depan. Menguatkan keberanian. Dirinya sekali lagi harus menantang dunia dengan segala ketidakadilannya.
Giza tersenyum miris saat membuka penutup mobil yang mungkin hanya digunakan sesekali. Di sana selalu tercetak bayangan suaminya. Sakit hatinya sekali lagi menganga.
"Rega marah pada Mama, Pa," ucapnya pada kursi kemudi yang kosong. "Mama akan mencarinya, dia pergi karena kesalahan Mama."
Setetes air mata jatuh saat dia membuka pintu mobil, lalu melajukannya dengan kecepatan sedang. Matanya sedikit rabun di malam hari, meski kaca mata selalu bersamanya.
Ini karena kerja kerasnya selama ini, catatan keuangan baik di kertas maupun di layar komputer, digerayangi setiap hari. Bahkan dia tahu secuil kesalahan bawahannya dalam sekilas pandang.
Sepuluh menit berjalan, Giza tidak tahu harus menuju kemana. Dia lupa, dia tidak berhubungan dengan dunia anaknya selama berpuluh-puluh tahun. Dan selama bekerja dengan Excel, Giza percaya pria itu tidak akan membawa pengaruh buruk pada putranya.
Lalu apakah dia akan menjadi wanita yang tidak tahu sopan santun dengan menghubungi Excel yang mungkin sedang meringkuk bersama bayinya? Tetapi kepada siapa lagi dia akan bertanya. Terutama dimana Kristal berada.
Ah, kemana lagi Rega akan pergi jika tidak kesana?
Boleh mulutnya ingkar akan kedekatan Rega dengan Kristal, tetapi mata dan fakta berkata lain. Giza hanya meminta dirinya percaya, akan ilusi ciptaannya sendiri.
Pakaian, tas, sepatu, coklat, bunga, bahkan sepasang kelinci selalu tertera nama Kristal. Giza hanya menyangkal. Tidak mungkin tulisan di kertas merah muda itu berubah menjadi Salsabilla. Giza hanya menutup mata, dan meyakinkan hatinya bahwa apa yang dilihatnya adalah ilusi.
Dia selalu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa Billa adalah gadis yang disukai Rega, lalu dia mengungkapkan itu pada orang tua Billa.
Katakan dirinya wanita jahat, tetapi dia hanya ingin anaknya tidak mengkhianatinya. Mereka berdua harus kompak membenci darah yang lahir dari seorang pembunuh.
Tangan Giza gemetaran menepikan mobil, lalu menelpon Excel.
"Malam, Nak," sapa Giza seraya menekan rasa marahnya bila ingat Rega sedang bersama siapa. "Maaf, Tante ganggu."
"Ada apa, Tan?"
Giza menimba napas banyak-banyak sebelum berkata. Berusaha memilih kata-kata yang paling baik dan tidak terlalu kentara. "Apa Rega bersamamu?"
"Tidak, Tan."
"Oh," sahut Giza kecewa. Tetapi dia segera menyusuli kalimatnya, agar pencarian ini tidak sia-sia. "Apa kau tahu kira-kira Rega berada dimana?"
Tak ada jawaban dari seberang, sehingga Giza kembali menyambung tergesa-gesa.
"Tante mohon, Nak ... tolong bantu Tante mencari Rega," pinta Giza sungguh-sungguh.
"Tadi saya bersama Rega, Tan ... tapi sekarang saya tidak tahu dia berada dimana. Akan saya usahakan mencari Rega, tetapi saya tidak bisa berjanji apa-apa."
Giza mengerti. Excel hanya tidak enak hati menolak permintaannya. Seharusnya dia yang tahu diri dengan tidak meminta berlebihan pada Excel.
"Terima kasih, Nak ...," jawab Giza akhirnya. Dia tidak bisa mengharapkan apa-apa dari Excel.
Giza mematikan panggilannya, lalu mencoba menghubungi nomor Rega. Barangkali, Rega mau menjawab panggilannya.
Dan sayang sekali, Rega sudah mematikan ponselnya. Giza menggigit bibir, lantas melajukan mobilnya kembali. Wanita itu berjalan tanpa arah, mengingat dia sama sekali buta dengan pergaulan anaknya. Satu nomor ponsel pun milik teman anaknya itu, dia tidak punya.
Lantas kemana dia akan mencari? Giza hanya berjalan memutari beberapa parkiran club malam antar rumah hingga kantor Star Media. Mungkin anaknya berada di salah satu tempat hiburan tersebut.
Hingga waktu menjelang subuh, Giza menyerah dan kembali pulang. Tubuhnya sungguh lelah. Matanya tidak kuat lagi dipaksa memandangi jalanan.
Kemana lagi dirinya akan melacak keberadaan Rega?
Giza menjatuhkan keningnya di atas kemudi, lalu mulai menangis. "Kemana kamu, Nak?"
Suara itu begitu frustrasi. Dirinya sungguh merasa bodoh dan juga lemah. Harusnya tidak usah mengatakan sesuatu yang mengejutkan hingga membuat Rega marah. Harusnya, dia memakai ini disaat paling tidak berdaya, lalu Rega hanya tahu untuk menurutnya.
Giza perlahan turun, meraih ponsel dan menyeret kakinya masuk ke dalam rumah.
Ponsel Giza berdering nyaring.
"Oh, ayolah ... aku bahkan belum tidur." Giza mengeluh, seraya mematikan dering alarm yang disetelnya setiap hari melalui sebuah aplikasi. Dan mendadak, dirinya memiliki gagasan.
Giza membuka matanya lebar-lebar, tidak ada yang tidak bisa diketahui oleh aplikasi pencarian tersebut. Kenapa dirinya bodoh sekali?
Giza segera mengetikkan beberapa keyword di ponselnya, lalu dia menemukan dimana Rega terakhir berada. Secara random, lokasi Rega ditunjukkan dalam kurun waktu beberapa jam terakhir.
"Dia ada di sekitar sini, beberapa jam lalu?" Giza membeliak, lalu kembali ke mobil. "Astaga, Mama sudah berpikir buruk, Nak."
Giza senang melihat Rega berada di sebuah masjid tak sedikit jauh dari rumahnya, tetapi Giza tahu bagaimana caranya sampai dengan cepat. Bergegas dia melajukan mobil ke lokasi dimana Rega berada.
Sebentar lagi subuh, masjid masih sepi, hanya ada marbot yang membersihkan teras masjid.
Kedatangan Giza menarik perhatian marbot pria tersebut. Bagaimana tidak, Giza celingukan seperti berniat maling.
"Wudhu sebelah sana, Bu." Pria itu membungkuk seraya menunjuk lokasi wudhu yang berada di sebelah kanan.
"Maaf, tapi saya kemari ingin bertanya sesuatu, Pak." Giza bergegas menunjukkan ponselnya, dimana foto Rega menjadi wallpaper-nya.
Mata pria itu menyipit, kemudian berkata dengan keras. "Oh, Mas ini menikah di mesjid ini semalam, Bu ... putranya atau saudaranya, kah?"
Perkataan pria itu membuat Giza harus mengulurkan dagunya. Rasanya telinganya setengah tuli jadi tidak dengar apa kata si marbot tersebut.
"Anak saya kenapa, Pak?"
Marbot berpeci hitam itu membawa alat pel menempel di lengannya, lalu berjalan mendekat ke depan Giza. "Menikah, Bu ... tidak kenapa-napa, kok."
"Dengan siapa, Pak?" Giza memburu marbot tersebut, lalu menggeser ponselnya untuk mencari nama perusahaan penerbangan milik keluarga Kristal. Kristal menduduki jabatan di perusahaan Kakeknya, tetapi dia tidak pernah benar-benar ada di sana.
"Ini, Pak?" Giza kembali mengulurkan ponsel ke depan si marbot, lalu dengan cemas menantikan jawabannya.
"Kumohon jangan iya," batin Giza.
"Sepertinya iya, Bu ... wanitanya cantik banget, rambutnya ikal, mirip boneka pokoknya, Bu." Pria itu tidak yakin. "matanya mirip, sih ... tapi di sini, tidak terlalu cantik, ya."
Giza menghela napas, tubuhnya jatuh lemas. Rambut ikal ... itu jelas Kristal. Selain dia, siapa yang memelihara rambut berantakan seperti itu.
"Makasih, informasinya, Pak." Giza tidak sempat memikirkan betapa lelahnya dirinya. Lalu kembali melacak Rega, yang berada di sebuah tempat yang jauh sekali dari sini.
Giza berlari kemobilnya, lalu menuju tempat tersebut dengan kecepatan penuh.
Sebelumnya, dia menghubungi Jen. Untuk memastikan alamat Kristal sesuai atau tidak dengan lokasi yang ditemukan Giza.
"Jen ... ini Tante Giza! Mobil Tante mogok di kawasan X, seingat Tante, Kristal tinggal di kawasan ini. Apa bisa Tante mampir untuk menumpang istirahat?" Giza bersandiwara. Jen pasti tidak akan merespon baik jika ditodong dengan pertanyaan yang menjurus. Jen lebih mudah dibelokkan pada sesuatu yang mengandung musibah.
"Benar Tan, Kristal di apartemen itu. Biar aku hubungi Kristal saja, nanti dia akan jemput Tante."
"Jangan!" Giza sedikit berteriak sebab terkejut. "Maksud Tante ... nanti Tante malah merepotkan Kristal. Makasih infonya, ya, Jen."
"Sama-sama, Tan."
Giza segera memacu mobilnya dengan wajah semakin marah dan penuh campuran rasa yang susah dijelaskan. Dia sangat marah pada Rega. Apa kurang jelas peringatannya selama ini?
Satu jam lamanya, Giza sampai di depan unit yang ditempati Kristal. Termasuk berdebat dengan sekuriti soal siapa dirinya bagi Kristal.
Giza memencet bel, wajahnya yang pucat menghadapi kamera, agar wanita sialan di dalam sana melihat siapa yang datang.
Begitu pintu dibuka, Kristal menyambutnya dengan senyuman.
"Selamat pagi, Tan—"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Maryani Sundawa
beratnya jd Rega dan Kristal
2023-01-25
1
💮Aroe🌸
kayanya bawangnya banyak di sini😅 belum apa udah degdegser...
2022-11-05
0
yanti auliamom
Giza..
Duuh... berlebihan. Ga ngerti deh,
Karena memelihara dendam dan tidak bisa mengelola emosi, makanya kena diabet... tiati kanker Giz.
Baik²... nanti justru Kristal yang akan merawat mu di saat kamu tak berdaya. Bantuan, juga perhatian Kristal yang akan semakin membuatmu dalam penyesalan...
2022-10-25
0