...SELAMAT MEMBACA......
...Luangkan waktu untuk memberi Like, komentar, favorit, kepada MGT ya......
...Terima kasih...
...🪐🪐🪐...
...MGT by: VizcaVida...
...03...
“Defani memang nggak punya malu tuh. Nolan udah nolak dia, masih aja dikejar.”
“Eh, emang yang dingin-dingin misterius gitu menarik lho. Gua aja sebenarnya tertarik banget sama Nolan, tapi gue sadar gue nggak selevel sama dia. Makanya gue diem aja.”
Hal seperti ini sudah lumrah. Seolah makanan mereka selain nasi adalah gosip tentang Nolan. Si primadona sekolah yang dinginnya kayak kulkas level maksimal, tapi selalu berhasil bikin penasaran.
Hari ini, Nolan datang ke sekolah dengan motor barunya. Ya, tentu saja motor itu benar-benar dia beli. Meskipun harganya cukup fantastis. Dimarahi papanya, itu urusan belakang bagi Nolan.
Dia cukup menarik perhatian saat memasuki gerbang sekolah. Selain wajahnya yang begitu memukau, postur tubuhnya yang menggiurkan, dia itu born with a silver spoon in someone's mouth; terlahir di keluarga kaya raya. Sirkelnya adalah kaum Borjuis yang kemana-mana nggak pernah menyesal membuang uang karena uang nggak akan ada habisnya di kantong mereka.
Seragamnya yang jarang pada posisi seharusnya itu menjadi ciri khas Nolan. Dia selalu memakai kaos polos hitam sebagai baju dalam, lalu menjadikan seragam putihnya sebagai luaran. Tidak tertinggal necklase putih berbandul planet Saturnus 3D, jam tangan mahal berwarna hitam, aroma muskulin yang tidak pernah gagal menarik perhatian para wanita, sepatu boots kulit berwarna hitam polos yang elegan. Semua itu menyempurnakan seorang Nolan Aresta Suwandi.
Deru mesin motor itu membuat sekelompok murid laki-laki menoleh ke arah Nolan dengan senyuman mengejek. Salah seorang mendekati Nolan dan menepuk bahu kanannya. “Papa Lo tau Lo beli ini?”
Nolan tidak peduli dan melepas helmnya, kemudian melengos pergi begitu saja.
“Lo pikir Lo keren dengan gaya Lo itu?”
Nggak mau tau. Nolan memang keren dengan gayanya itu.
“Lo malah kelihatan kayak sampah masyarakat, tau nggak?”
Kalimat itu menghentikan langkah Nolan. Dia memang sampah di rumahnya, tapi tidak untuk masyarakat. Mereka harus meralatnya, karena Nolan nggak suka itu. Dia bukan kriminal yang dengan sengaja merugikan negara. Dia hanya remaja yang ingin mencari jati diri, setelah ditinggal mama nya pergi untuk selamanya.
Ibunya, Marla Riyanti, meninggal dunia ketika Nolan duduk di bangku SMP. Dia masih ingat betul apa penyebab ibunya itu pergi meninggalkannya. Alasan yang sampai saat ini, nggak bisa dia terima. Alasan yang sampai sekarang membuatnya membenci ayahnya.
Setelah berhasil berdiri di depan murid yang menjadi pembencinya ini, Nolan memutar arah pandang sembari memainkan lidahnya didalam mulut. Surai hitamnya mengkilat terkena terpaan cahaya matahari pagi yang masih oranye.
Kemudian, Nolan menatap penampilan orang didepannya itu, lantas tersenyum miring. “Lo lebih sampah dari gue. Coba ngaca deh.” ketus Nolan tak peduli lagi dengan perasaan orang nggak guna baginya itu. “Lo bilang gua sampah masyarakat, lalu Lo apa? Sampah pant-at?” lanjutnya, lalu meludah disamping si paling benar yang mengatakan Nolan adalah sampah masyarakat itu.
Setelah mengatakan itu, Nolan berbalik berniat pergi dan tidur dikelas. Namun niatnya itu urung lantaran murid bernama Leonard itu menarik tas punggungnya, kemudian menyerangnya dengan sebuah pukulan tepat di pipi.
“Lo memang nggak guna. Pantes aja papa Lo nggak ngakuin Lo sebagai anaknya?”
Argh...sialan sekali si kunyuk satu ini? Bikin moodnya merat* aja.(*Merat: pergi
Wajah Nolan yang sempat terbawa pukulan itu kini kembali lurus menatap si pembuat ulah hingga moodnya sekarang benar-benar hancur. Leonard adalah orang yang paling dia benci di dunia ini.
***
Nolan tidak langsung pulang kerumah setelah kembali mendapat surat panggilan orang tua dari kantor BP.
Tadi, Nolan menghajar habis Leonard dan nggak peduli dia ada di kawasan sekolah. Leonard babak belur dengan luka lebam di wajah dan lengan. Peduli? Tidak. Bodo amat bagi Nolan. Leonard yang memulai.
Sudah puluhan kali surat seperti ini diberikan untuknya, tapi Nolan menolak memberikannya kepada sang ayah, dan berakhir di skors selama satu sampai dua minggu. Dan hal itu seolah lahan keberuntungan baginya, karena dia tidak harus capek-capek datang ke sekolah. Dia hanya perlu menghabiskan waktu dengan tidur, makan dan bermain game di rumah. Ya, itu sangat menyenangkan.
Nolan menurunkan standart samping motornya ketika dia sampai didepan sebuah kedai minuman kesukaannya. Cappucino di Moonbuck nggak ada duanya. Apalagi pipinya yang ngilu karena pukulan Leonard tadi mulai terasa, Nolan akan lebih sering mengkonsumsi cafein agar rasa sakitnya teralihkan.
Penampilannya menyita seluruh mata yang ada didalam kedai ternama dunia itu. Bisik-bisik kagum akan dirinya mulai terdengar ketika dia berhenti untuk mengantre didepan meja kasir.
Sekali lagi tanya apa Nolan peduli?
Tidak. Dia tetap tidak peduli dengan apapun yang dia dengar di sekitarnya. Otaknya terlalu sibuk memikirkan hal lain yang lebih penting. Papanya, kartu sakti mandraguna yang sebentar lagi pensiun darinya, dan....manusia bernama Caca.
Semakin kesal, Nolan memilih mengeluarkan ponsel berkamera Boba dan menyalurkan bluetooth untuk memutar musik setelah menaikkan headphone ke atas kepalanya, yang tentu saja menambah kece penampilannya sore ini.
Tinggi badan Nolan memang sempurna, dan hal itulah yang membuat banyak media dalam dunia modeling mengincarnya.
“Selamat sore kakak, silahkan mau pesan apa?”
Nolan mendongak sebentar melihat daftar menu, memastikan tidak ada yang berubah dan dia harus menanggung malu karena salah pesan.
“Capucinno less sugar 2 cup.”
“Ada lagi?” tanya si kasir yang mencatat pesanan Nolan pada layar komputer berukuran tidak terlalu besar namun terlihat canggih.
“Nggak.”
“Take away?”
“Eumm.” jawabnya singkat sambil menarik kartu hitamnya dari dalam dompet panjang berlogo GC di bagian paling bawah.
“Totalnya, seratus lima puluh tujuh ribu lima ratus rupiah, kakak.”
Nolan memberikan kartu yang kemudian membuat mbak-mbak kasir itu membolakan mata. Siapa yang nggak tau kartu ini? Kartu istimewa yang hanya dimiliki oleh orang berpenghasilan diatas rata-rata setiap bulannya.
Dengan tangan gemetaran, si kasir menyodorkan mesin transaksi elektronik itu ke hadapan Nolan, kemudian Nolan mengetik nomor PIN dan kertas tagihan otomatis keluar.
Setelah transaksi itu selesai, Nolan menerima sebuah benda bulat yang nanti akan bergetar ketika pesanannya sudah jadi. Dia juga menerima kembali kartu ajaib miliknya, berserta struk pembelian dan memasukkannya kedalam dompet.
Tapi, sebuah tawa menarik perhatiannya. Tawa dengan suara yang pernah ia dengar dan familiar hingga membuat dia menajamkan rungu. Suara itu menarik minatnya begitu saja hingga tanpa malu, Nolan mengintip ke arah pintu di samping meja bartender. Disana, memang ada beberapa orang perempuan sedang bercengkrama, dan Nolan seperti mengenali satu diantara beberapa orang itu. Tapi dia tidak bisa melihat wajahnya karena perempuan itu memunggungi tempatnya berdiri.
Ah, hanya perasaanku saja.
Nolan mengesampingkan itu, kemudian berjalan ke sebuah kursi single yang ada didekat bentangan kaca yang luas untuk menikmati pemandangan luar sambil sesekali mengecek ponselnya.
Kini, tatapan matanya tertuju pada satu siluet yang sedang lewat di depan kedai ini.
Malam itu, meskipun gelap, Nolan masih bisa melihat sedikit jelas gestur dan bentuk tubuh perempuan itu. Motornya juga, sama.
Dia adalah Caca—batin Nolan. Namun saat dia hendak melompat turun dan hendak berlari mengejar sosok itu, benda bulat itu berkedip cepat dan bergetar hingga memutar, membuat Nolan membatalkan niatnya untuk mengejar, dan berjalan mendekat ke meja pengambilan.
Diana, dia bertanya. “Mbak, apa disini ada pegawai yang bernama Caca?”
Pegawai didepannya itu terlihat berfikir sebentar. Kemudian menggeleng. “Tidak ada kakak.” jawabnya mantap karena dia belum menghafal semua nama pegawai disini. Dia masih baru dua hari bekerja dan belum mengenal semua pegawai disini, apalagi jika beda shift.
“Ah, terima kasih.” sahut Nolan meraih dua cup minumannya yang ada didalam sebuah box khusus, lalu mengangkatnya dan keluar dari Moonbuck.
Itu hanya perasaanku saja. Lagian, tempatku balapan malam itu, sangat jauh dari sini. Tidak mungkin itu dia. Tidak mungkin itu Caca.
Tampiknya, yang tanpa sepengetahuan Nolan, itu memanglah Caca yang baru saja keluar dari area parkir Moonbuck dan hendak pulang.[]
...—Bersambung—...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Wiji Lestari
jalan cerita yg sedikit berbeda dengan novel kak vizcavida yg lain....kuy lanjut baca...lebih suka baca yg cerita nya sudah tamat jadi marathon kita....😁
2023-01-01
2
YuWie
beda usia ini nolan ma caca... tambah jauh nih gap ny
2022-10-16
2