...“Saat melihatmu, hatiku begitu berdebar. Mengapa debaran ini begitu kencang? Ah, apakah ini yang namanya jatuh cinta? Entahlah, aku pun tak begitu yakin dengan pemikiran itu.”...
...****************...
Niken memalingkan wajahnya duluan, pipinya tiba-tiba terasa panas. Jika diperhatikan, kini pipinya sudah sedikit memerah, malu.
“Saya minta maaf juga, Kak, karena udah nabrak Kakak tadi,” ucap Niken gugup. Entah mengapa tiba-tiba ia tak berani lagi untuk menatap wajah orang yang berdiri di depannya itu.
Orang yang ditabraknya adalah seorang pria yang merupakan senior di sekolahnya. Hal itu terlihat dari seragam yang dikenakan. Tingkatan kelas mereka dibedakan dengan jumlah garis yang ada di lengan bajunya. Lengan di baju seniornya itu adalah tiga garis, berarti seniornya itu berada di kelas tingkat 3.
“Eh, iya, nggak masalah kok. Lagian tadi aku juga salah karena nggak lihat ada orang di depan pintu,” ujar seniornya itu.
“Tapi kamu beneran nggak kenapa-kenapa kan? nggak ada yang luka atau sakit?” tanyanya yang masih sedikit cemas.
“Beneran kok, Kak. Saya nggak bohong,” ucap Niken dan spontan melihat ke arah orang yang ada di depannya. Namun, dirinya langsung kembali memalingkan wajahnya. Pipinya kini terasa semakin memanas karena tak sengaja mereka kembali bertatapan walau hanya sebentar, sangat sebentar malahan.
“Syukur deh kalau nggak ada yang luka atau yang sakit. Tapi kalau nanti tiba-tiba ada keluhan bisa langsung dibilang ya. Aku bakalan tanggung jawab karena itu juga salah aku,” ucapnya masih merasa bersalah.
“Eh, nggak usah, Kak! Beneran kok, nggak masalah sama sekali,” ucap Niken sedikit memekik karena merasa tak enak ketika orang yang ditabrak olehnya merasa begitu bersalah.
Akibat sikap implusifnya barusan, kini Niken semakin salah tingkah. Entah mengapa ia tidak suka ketika mendengar orang yang di depannya itu merasa sangat bersalah sehingga tanpa sadar ia berbicara dengan sedikit memekik. Padahal di sini dirinya juga ikut andil dalam permasalahan.
“Ini bukan salah Kakak aja kok, saya juga salah. Karena saya mau masuk terus tanpa permisi, jadi saya nggak tau kalau bakalan ada orang yang mau keluar. Jadi, akhirnya kita jadi tabrakan deh,” jelas Niken yang masih sedikit salah tingkah.
Niken masih tak berani untuk menatap lawan bicaranya. Ia sedikit menggaruk pipinya yang tidak terasa gatal sama sekali. Hal itu dilakukannya untuk menetralkan rasa gugup yang melandanya.
“Baiklah, di sini kita sama-sama salah. Jadi, permasalahan ini udah selesai sampai di sini aja kan?” tanyanya memastikan.
Niken menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. “Iya, Kak. Udah selesai sampai di sini,” sahutnya.
“Lega mendengarnya. Tapi, mengapa daritadi kamu tidak memandang orang yang sedang berbicara denganmu? Bukankah itu perilaku yang tidak sopan?” tanyanya sedikit menyinggung.
Karena ditanya seperti itu, membuat Niken semakin gugup. Kini, selain gugup dirinya juga merasa tak enakan karena apa yang dikatakan oleh senior yang depannya memang benar.
“Maaf, Kak.” Niken menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Hei, mengapa kamu minta maaf? Aku hanya bertanya, tak usah terlalu kamu pikirkan. Aku menanyakan hal itu karena aku merasa seperti aku telah melakukan sesuatu yang salah,” ucapnya menjelaskan maksud dari pertanyaannya.
“Kakak nggak ada salah apapun kok, Kak. Saya cuma tiba-tiba merasa sedikit malu untuk melihat Kakak. Saya juga nggak tau kenapa saya tiba-tiba jadi kayak gini,” ucap Niken yang semakin gugup. Ia masih menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dadanya kini berdebar dan semakin lama debaran itu semakin kencang.
Mendengar jawaban itu, entah mengapa tiba-tiba orang yang berdiri di depan Niken itu juga merasa malu. Pipinya tiba-tiba juga terasa sedikit memanas. Orang itu juga seketika menutup wajahnya dengan kedua tangannya untuk menutupi raut wajahnya yang sedikit malu.
“Ah, apakah seperti itu?” tanyanya berusaha untuk menghilangkan rasa malunya. Entah mengapa dirinya tiba-tiba bisa merasa malu mendengar jawaban dari junior yang ada di depannya itu. Padahal ia yakin bahwa juniornya tidak berniat apapun dengan mengatakan hal seperti itu.
“Beneran, Kak. Saya juga ngerasa kalo pipi saya jadi sedikit panas. Apa mendadak demam, Kak?” tanya Niken yang sedikit ragu dengan pemikirannya itu.
“Ah, itu, sudah lupakan saja. Tidak perlu kamu bahas lagi,” ucap senior itu dengan sedikit salah tingkah.
“Kalau begitu, aku pergi duluan ya. Aku masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan,” pamitnya. Setelah mengatakan hal tersebut, seniornya itu pun langsung meninggalkan Niken tanpa menunggu jawaban yang akan diberikannya.
“Ah, aku sangat malu,” ucap Niken yang langsung jongkok setelah seniornya itu tak terlihat lagi dan menutup wajahnya yang sudah merah padam.
“Huh, sadar Niken! Kamu kenapa tiba-tiba jadi kayak gini sih?” tanya Niken pada dirinya sendiri dan masih berusaha menetralkan dadanya yang masih berdebar.
“Ayo sadar Niken! Kamu kenapa sih sampai jadi kayak tadi? Lupain aja semua.”
Setelah mengatakan itu, Niken bangun dari jongkoknya. Setelah merapikan pakaiannya yang sedikit kurang rapi, barulah ia mengetuk pintu aula yang sudah tertutup kembali untuk meminta izin masuk.
“Assalamualaikum,” salam Niken setelah mengetuk pintu.
“Waalaikumussalam,” sahut orang ada ada di dalam aula tersebut. Di dalam aula terdapat 4 orang seniornya dari kelas tingkat 3. Mereka adalah 2 orang wanita dan 2 orang pria.
“Maaf, Kak, mengganggu waktunya...”
“Iya, Dek. Ada yang bisa kami bantu?” sahut senior wanita yang berbaju biru dongker.
“Ini, Kak. Apa di dalam ruangan ini ada yang namanya Kak Mahendra?” tanya Niken pelan.
“Mahendra?” tanya seniornya itu memastikan.
“Iya, Kak,” sahut Niken.
“Mahendra baru aja keluar tadi. Memangnya kamu nggak ketemu seseorang yang baru keluar dari sini?” tanya seniornya itu.
“Eh, jadi yang tadi baru keluar Kak Mahendra, Kak?” tanya Niken sedikit tak menyangka. Ternyata orang yang daritadi dicari olehnya sudah ada di depan matanya. Namun, dirinya tidak menyadari hal itu sama sekali.
“Iya, Beneran. Ngapain juga kami bohong sama kamu, Dek,” sahut seniornya yang lain. Kali ini yang menyahut adalah senior pria yang memakai kemeja kotak-kotak berwarna coklat.
“Eh, bukan gitu maksud saya, Kak. Tadi padahal udah jumpa di depan, tapi saya nggak tau kalau itu Kak Mahendra,” jawab Niken menjelaskan.
“Iya, Dek, nggak masalah kok.”
“Kalau boleh tau Kak Mahendra ada urusan ke mana ya, Kak?” tanya Niken lagi.
“Mau ke mana si Mahen tadi, Putri?” tanya senior wanita yang berbaju biru dongker tadi kepada temannya yang memakai hoodie berwarna pink.
“Entah, aku juga nggak tau, Karin,” sahutnya.
“Kamu tau, Helmi?” tanya seniornya itu pada pria yang memakai kemeja kotak-kotak.
“Tanya sama si Dava tuh, tadi dia yang terakhir ngomong sama Mahen,” ucapnya seraya menunjuk pria yang sedang asik bermain game di gadgetnya.
“Woi, Dava! Kamu tau si Mahen pergi ke mana barusan?” tanya Karina sedikit berteriak karena Dava tidak mendengarnya karena sedang memakai headset.
“Apaan?” tanya Dava yang merasa terusik sambil melepas headset yang dipakainya.
“Kamu tau si Mahen pergi ke mana?” ulang Karina.
“Oh, Mahen. Tadi katanya dia mau ke ruang kesiswaan, ada berkas yang mau diurus katanya,” sahut Dava. Setelah mengatakan itu, Dava kembali memakai headset miliknya dan kembali fokus pada game yang sedang dimainkannya.
“Nah, Mahen pergi ke ruang kesiswaan, Dek. Kamu tau di mana ruang kesiswaan?” tanya Karina.
“Tau, Kak,” sahut Niken. Ia pernah ke ruang kesiswaan untuk mengurus administrasi pendaftarannya.
“Makasih banyak ya, Kak. Kalau gitu saya pamit dulu, assalamualaikum,” pamit Niken.
“Waalaikumussalam,” sahut mereka. Setelah itu, Niken pun berjalan menuju ruang kesiswaan.
Niken tiba di depan ruang kesiswaan. Dia sedikit mengintip ke dalam melalui jendela. Dilihatnya ternyata Mahendra masih ada di dalam ruangan itu. Tak ingin menggangu, ia pun memutuskan untuk menunggu sampai Mahendra keluar dari ruangan.
Niken menunggu sedikit lama. Setelah 20 menitan berlalu, barulah Mahendra keluar dari ruangan. Niken yang melihat Mahendra ingin pergi dengan segera memegang lengan baju lengannya, menahan.
“Eh, ada apa?” tanya Mahendra sedikit terkejut karena ada seseorang yang menarik lengan bajunya.
“Anu, Kak. Perkenalkan, nama saya adalah Niken Diva Putri. Mohon waktunya sebentar, Kak, karena saya ada sedikit keperluan dengan Kakak,” ucap Niken mengatakan tujuannya, tak lupa tangannya melepas tarikannya pada lengan baju Mahendra.
“Eh, kamu bukannya yang tadi di depan aula ya?” tanya Mahendra setelah menyadari siapa pelaku dibalik penarikan lengan bajunya. Niken mengangguk, membenarkan.
Ia masih tak berani memandang seniornya yang satu ini. Jadi, walaupun ia menarik lengan baju seniornya itu, tapi ia menundukkan kepalanya.
“Jadi, ada keperluan apa kamu?” tanya Mahendra, sedikit berdeham melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering.
“Anu, Kak. Sebelumnya apa benar kalau nama Kakak itu Mahendra?”
“Benar, lebih lengkapnya Mahendra Farras Pratama. Terus?”
“Jadi, Kak, saya kan tadi telat terus dikasih hukuman sama kakak pelaksana yang jaga di depan pintu gerbang. Kata mereka, saya harus ngasih surat ini ke Kakak,” jelas Niken sambil menunjukkan amplop berwarna putih yang dipegangnya. Niken berusaha menetralkan dadanya yang kembali berdebar.
“Surat apa itu?” tanya Mahendra.
“Saya juga nggak tau, Kak. Katanya mereka selain Kakak nggak boleh ada yang baca isi suratnya, bahkan termasuk saya sekalipun,” ucap Niken menjelaskan.
Niken pun memberikan amplop berwarna putih itu kepada Mahendra. Karena penasaran, Mahendra pun mengambil surat itu untuk membaca apa isinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments