...“Aku tak pernah sedikit pun menyesali apa yang aku jalani saat bersamamu. Yang aku sesali hanyalah betapa singkatnya waktu yang terasa saat aku bersamamu.”...
...****************...
“Mahendra, Mahendra, Mahendra.” Niken terus menyebut pelan nama kakak pelaksana yang harus ditemuinya itu.
Di sepanjang perjalanan, dia melihat-lihat di sekitarnya baik itu di sebelah kanan, kiri, maupun depan untuk mencari kakak pelaksana yang name tag nya Mahendra. Namun, sudah hampir 10 menit ia berjalan, dirinya masih belum menemukan orang yang dicarinya.
Niken sangat asik melihat sisi kanan dan kirinya, hingga tak menyadari ada orang yang berdiri di depannya. Dia yang tak melihat ke depan pun akhirnya menabrak tubuh orang itu.
“Aduh!!” Dengan refleks Niken mengaduh ketika badannya menabrak tubuh orang itu. Syukur saja tabrakan itu tidak terlalu kencang hingga membuat Niken tidak perlu sampai terjatuh seperti cerita di novel.
“Maaf, saya nggak sengaja.” Niken meminta maaf dengan membungkukkan badannya sedikit, sebagai sopan santun. Ia tak menatap wajah orang yang ditabrak oleh dirinya.
“Saya tidak mau memaafkan kamu,” sahut orang itu. Tentu saja jawaban itu membuat Niken refleks melihat siapa orang yang ditabraknya itu.
“Eh, kok gitu...” ucapan Niken terhenti ketika dirinya menyadari siapa orang yang ditabraknya barusan.
Ia langsung merubah raut wajahnya menjadi malas. Sedangkan sang pelaku perubahan raut wajahnya kini sedang berusaha menahan tawanya.
“Ck, ternyata Kak Aril! Tadi Niken kirain siapa. Padahal Niken udah takut kalau nggak mau dimaafin,” ucap Niken sebal.
Akhirnya, tawa yang sedari tadi ditahan oleh orang yang dipanggil Kak Aril oleh Niken itu pun lepas. Aril tertawa geli melihat raut wajah Niken yang sebal.
Aril adalah mantan tetangganya dulu, mungkin sekitar 8 tahun lamanya. Namun, sekitar 3 tahun lalu karena tuntutan pekerjaan ayah Aril, mengharuskan mereka untuk pindah.
Dulu Niken lumayan sering bermain bersama Aril. Alasan terbesarnya sih karena hanya Aril anak yang hampir seusianya yang ada di sekitar perumahan yang ia tinggali hingga sekarang, perumahan keraton.
Niken dan Aril bisa dibilang cukup akrab dulu. Saat Aril harus pindah, Niken bahkan sampai menangis diam-diam di dalam kamarnya hingga seharian lamanya.
“Memangnya kalau nggak dimaafin, kamu mau ngapain?” tanya Aril penasaran setelah berhasil meredakan tawanya.
“Ya, nggak ngapa-ngapain sih. Palingan Niken bakalan terus minta maaf sampai orangnya mau maafin,” tutur Niken dengan dengan cengiran andalannya.
“Bisa aja kamu,” ucap Aril sambil mencubit pelan pipi Niken.
“Ck, apaan sih! kebiasaan banget deh, suka banget cubit pipi Niken,” ucap Niken sebal sambil berusaha melepas cubitan Aril di pipinya.
Sepertinya mencubit pipinya masih menjadi salah satu kebiasaan Aril. Dulu Aril juga sangat sering mencubit pipinya hingga memerah. Jika mengingat hal itu membuat Niken semakin sebal saja.
“Oke, oke,” ucap Aril sambil mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.
“Yaudah, nggak usah ngambek gitu kali, Ken. Nanti semut-semut pada takut loh. Muka kamu itu garang banget,” ejek Aril.
“Apaan sih, Kak! Udah ah, Niken males! Padahal tadi mau nanya kabar Kakak gimana? Terus kok bisa Kakak sekolah di sini? Bukannya Kakak pindah ke luar kota? Tapi, ya sudahlah, males Niken.”
“Ih, ih, ih, ngambek dia. Iya deh, iya, Kakak yang salah. Jadi Kakak minta maaf oke?” ucap Aril mengalah.
“Tau ah, capek,” ucap Niken.
“Yaudah lah, dimaafin aja. Anggap aja kita impas. Tadi kan kamu duluan yang nabrak Kakak,” tutur Aril, berusaha bernegosiasi.
“Iya deh iya, Niken maafin. Lagian capek kalau harus debat, apalagi sama Kakak, pasti ujung-ujungnya Niken lagi yang kalah,” sahutnya.
“Nah, itu baru Niken yang Kakak kenal.”
“Btw, kamu memangnya lagi cari apaan sih? Kok sampai nggak lihat jalan?” tanya Aril.
“Oh iya, hampir lupa!” Niken menepuk keningnya pelan. Gara-gara meladeni Aril, ia hampir saja melupakan tujuannya.
“Ini, Niken disuruh untuk cari kakak pelaksana yang namanya Mahendra. Kak Aril kenal nggak orangnya yang mana?” tanya Niken.
“Mahendra?” tanya Aril heran yang dibalas anggukan oleh Niken.
“Kenal kok. Memangnya kamu ada urusan apa sama Mahendra?” tanya Aril.
“Niken tadi telat, Kak. Jadi kakak-kakak pelaksana yang jaga di depan gerbang nyuruh Niken kasih amplop ini untuk kakak pelaksana yang bernama Mahendra,” jelas Niken sembari menunjukkan amplop yang dipegangnya.
“Oooo, jadi ini alasan kenapa kamu nggak masuk ke barisan siswa baru untuk orientasi ya,” ucap Aril mengangguk paham.
“Nah, pinter Kak Aril!” seru Niken.
“Jadi kakak tau nggak nih?”
“Tau kok. Tadi kalau nggak salah kakak, Mahendra lagi ada di aula. Coba aja kamu ke sana, mana tau dia masih di sana.”
“Oke, Kak. Tapi ini arah aula ke mana? Dari koridor ini terus ke mana?” tanya Niken karena belum mengetahui semua denah sekolahnya.
“Kamu lurus aja terus sampe ujung koridor, nanti belok ke kiri. Siap itu terus aja sampai lihat pohon besar, baru nanti kamu belok kanan. Nanti kamu jalan aja sedikit lagi sampai lihat gedung warna cream. Nah, itu aulanya,” jelas Aril memberikan arahan untuk Niken.
“Kamu paham?” tanya Aril ketika melihat Niken yang tak menyahut.
“Kamu paham, Niken?” ulang Aril.
“Oh, paham kok, Kak,” jawab Niken.
“Beneran?” tanya Aril kembali untuk memastikan.
“Beneran, Kak. Nih ya, dari koridor ini terus terus sampai ujung baru belok kiri. Kalau udah belok lanjut terus sampai jumpa pohon besar baru belok kanan. Nanti jalan sikit lagi sampai jumpa gedung warna cream. Nah, itu aulanya. Benarkan, kak?” ucap Niken mengulang arahan yang diberikan oleh Aril tadi.
“Bagus, udah bener tuh. Udah, pergi terus sana kamu, nanti takutnya hukumannya makin ditambah karena kelamaan,” ucap Aril dengan bergaya seperti mengusir.
“Hehehe, iya ini Niken juga mau jalan, Kak. Makasih ya, Kak Aril.”
“Iya, sama-sama. Tapi, sorry Kakak nggak bisa ikut nganterin karena Kakak masih ada urusan,” ucap Aril sambil melihat jam tangannya.
“Aman tuh, Kak. Yaudah Niken berangkat sekarang.”
“Yaudah sana, hush, hush, hush,” usir Aril.
“Iya Niken pergi, nggak usah pake ngusir juga, Kak,” ucap Niken yang melihat tingkah laku Aril.
“Iya, yaudah sana pergi terus.”
“Iya, bawel banget sih,” sungut Niken. Ia nya pun mulai melangkahkan kakinya untuk pergi ke aula. Namun, baru sana beberapa langkah, Niken sudah berhenti dan membalikkan badannya.
“Kak Aril! Nanti kapan-kapan Niken bakalan nagih cerita Kakak. Awas aja kalau nggak mau! Karena itu hutang Kak Aril yang harus dilunasi!” ucap Niken sedikit berteriak karena posisi Aril yang sudah lumayan jauh.
“Oke!” ucap Aril ikut berteriak.
Setelah itu, Niken pun melanjutkan perjalanannya menuju aula. Dia berdoa semoga Mahendra masih ada di dalam aula. Alasannya tentu saja supaya ia tidak perlu lagi bersusah payah berkeliling sekolah untuk mencari. Dirinya sudah lumayan lelah setelah berlari tadi dan harus berkeliling sekolah untuk mencari Mahendra.
Niken berjalan dengan santai sambil melihat-lihat lingkungan sekolahnya. Ia juga sedikit bersenandung untuk menghibur kesendiriannya. Rambutnya yang diikat kuncir kuda ikut sedikit bergoyang, mengikuti setiap langkah kakinya.
Setelah jalan beberapa saat, akhirnya Niken sudah sampai di tempat yang dituju. Di depannya kini terdapat pintu yang tertutup dengan tulisan “Aula” di atasnya.
Niken sedikit menghembuskan napasnya dengan kasar, berusaha menenangkan dirinya yang tiba-tiba saja menjadi gugup. Setelah dia merasa sudah sedikit tenang, barulah ia memberanikan diri untuk membuka pintu aula yang tertutup.
Baru saja membuka pintu dan ingin melangkahkan kakinya untuk memasuki aula, ia malah kembali menabrak seseorang yang ingin keluar dari dalam aula.
“Akh!” Niken merintih pelan ketika tubuhnya terjatuh, menyentuh tanah. Niken kehilangan keseimbangan karena tabrakan barusan.
“Eh, Sorry. Kamu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya orang yang ditabrak olehnya barusan dengan sedikit cemas.
“Nggak kok, Kak,” ucap Niken sambil bangun dari jatuhnya. Ia juga membersihkan baju bagian belakangnya yang sedikit kotor karena terjatuh barusan.
“Beneran nggak kenapa-kenapa?”
“Beneran kok, Kak.” Setelah bajunya bersih, barulah Niken melihat siapa orang yang ditabraknya. Namun, tiba-tiba keheningan tercipta kala retina mata mereka melihat satu sama lain. Kini mereka sedang bertatap-tapan tanpa suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments