Bumi kembali bergoyang, goncangan yang lebih dahsyat dari sebelumnya, getaran dengan gemuruh yang mengikutinya terjadi di malam jumat.
“Hari ini adalah hari jumat, apakah akan terjadi kiamat?” ucapku di dalam hati dengan ketakutan mendalam sembari melafazkan zikir nama-nama Tuhan.
Aku, Aida dan Fatir tersungkur ke tanah sambil berpegangan tangan, rasa takut menyelimuti hati kami, tidak ada yang bisa kami lakukan selain berdoa, semoga kami dilindungi dan dijauhkan dari marabahaya.
“Aida takut!” rengek Aida.
Aku menarik tangan Aida dan membawa gadis itu ke pelukanku. Entah kekuatan apakah yang kumiliki saat ini hingga aku menguatkan dan menenangkan orang lain, sementara Fatir terus menggenggam sebelah tanganku untuk menguatkan ku.
Sudah tidak bisa di hitung lagi berapa kali gempa susulan menggoyang bumi Talamau, yang tentunya menyisakan ketakutan dan trauma mendalam di hati ini.
“Aida, gempanya sudah berhenti, Dek, mari kita ke tenda darurat biar Aida bisa ditangani dan diobati,” ucapku sembari membimbing gadis kecil itu.
“Yuk, Aida!” Fatir juga menggandeng tangan Aida.
Kami berjalan menuju tenda darurat, dan ketika kami memasuki tenda terlihat semakin banyak yang kesakitan, ada yang terbaring lemah tak berdaya, ada yang menangis menahan sakit dan luka-luka memar akibat tertimpa reruntuhan bangunan, ada anak-anak yang terlihat kedinginan, bayi-bayi menangis dan lansia berusaha terlihat kuat di dalam tenda yang kapasitasnya terbatas ini.
Para dokter, tenaga kesehatan dan para relawan, tidak ada seorang pun di sini. Kami hanyalah warga yang mayoritas petani dengan pendidikan rendah dan pemikiran yang masih kampungan.
“Nak Salsa, Nak Fatir, bisa tolong tangani anak ini, dia terluka,” ucap salah seorang wanita paruh baya dengan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.
Fatir kemudian mengambil kotak P3K dan bertidak layaknya dokter yang langsung menangani orang-orang yang terluka. Ya, tidak ada yang bisa dilakukan sekarang selain melakukan kegiatan yang bisa dikerjakan sebisanya. Sementara aku, bertindak layaknya suster, yang dengan sigapnya membantu Fatir.
"Apakah pendidikan memang sepenting itu?" ujar salah seorang warga yang sedari tadi memperhatikan kegiatan sosialku dan Fatir. Beliau yang dulu selalu menghina dan merendahkan kami, saat ini terbuka mata dan pola pikirnya, kalau semua yang kami lakukan atas dasar ilmu yang kami dapatkan di jenjang pendidikan.
“Ya Allah, tolong kami, kami sangat lapar dan sampai saat ini belum ada bantuan makanan yang datang,” ucap warga yang lainnya sembari menggendong bayi kecil yang tengah menangis.
"Sal, aku mencari makanan dulu!"
Fatir berlari sekuat tenaganya untuk mencari sesuatu yang bisa di makan. Entah ke mana ia akan mencarinya, yang jelas lelaki itu terlihat berusaha.
“Kak, apa Allah marah sama kita?” ucap Aida pelan.
“Tidak, Sayang, Allah tidak marah, Allah hanya sedang menguji keimanan dan kecintaan kita kepada-Nya,” jelasku.
“Kak, apa Kakak dan Abang adalah seorang Dokter?” tanya Aida lagi.
"Bukan, Sayang, kami hanya seorang guru," jelasku sembari membelai rambut Aida yang terurai panjang.
“Kak, Aida ingin sekali bersekolah dan menjadi orang pintar seperti Kakak dan Abang, tapi Aida tidak punya orang tua," jelas gadis cantik itu dengan raut wajah sedih. Ucapan dan kata-kata Aida malah mengingatkan ku kembali kepada ayah dan bundaku.
“Ya Allah, bagaimanakah keadaan kedua orang tua hamba, tolong lindungilah beliau,” batinku.
“Kak, lagi memikirkan apa?” tanya Aida.
“Kakak tengah memikirkan keluarga Kakak,” ucapku dengan nada suara pelan.
Ingin rasanya saat ini aku menangis dan berteriak sekuat tenagaku, agar keluargaku mendengarkan, tapi itu adalah hal yang tidak mungkin dan mustahil.
Aku berharap saat ini aku punya sayap, agar aku bisa terbang dan melihat keberadaan keluargaku saat ini, tapi semuanya hanya khayalanku, saat ini aku masih berada di sini berselimut gundah di dalam hati.
“Kak, perut Aida sakit sekali,” rengek Aida sembari memegang perutnya dengan kedua tangan yang dilingkarkan ke perutnya.
“Sabar, Dek, sabar! mudah-mudahan sebentar lagi Abang Fatir datang dan membawakan makanan untuk kita,” ucapku sembari membelai rambut gadis kecil itu untuk menenangkannya.
“Perut Aida benar-benar sakit, Kak, rasanya sudah tidak tahan lagi!"
Aida tergeletak di tanah yang beralaskan tikar basah itu, sepertinya selain lapar, udara dingin juga membuat Aida masuk angin.
“Aida, Aida, dengarkan Kakak!” ucapku menenangkan gadis kecil itu, tetapi gadis kecil itu terus saja merengek kesakitan.
“Aida, coba Aida bayangkan saat ini Aida tengah berada di rumah, di atas meja terhidang berbagai jenis makanan kesukaan Aida dan Aida menyantap semua makanan itu dengan lahap,” ucapku mencoba menghibur Aida.
Aku juga tidak tahu bagaimana caranya untuk menenangkan Aida, yang aku tahu obat lapar itu makan, tapi sampai detik ini belum ada makanan yang datang ke sini.
“Kakak, tolong Aida!” isak tangis Aida semakin melemah, sepertinya gadis kecil ini sudah tidak punya energi lagi untuk menangis.
“Aida ...,” kupeluk gadis kecil itu sembari menitikkan air mata.
Saat ini aku juga merasakan kelaparan yang teramat sangat, apalagi Aida yang masih kecil.
“Sal, Aida!" Terdengar suara Fatir, wajah yang terlihat samar itu datang membawa tentengan.
“Ini, aku membawa makanan, hanya ini yang ada,” ucap Fatir dengan senyuman yang terlihat pilu.
“Kamu menemukan makanan ini di mana, Tir?”
“Aku mengambil makanan ini di reruntuhan warung-warung yang jaraknya sekitar sepuluh menit jika di tempuh dengan berjalan kaki dari lokasi ini. Hanya ini yang bisa aku ambil, karena bangunan itu juga telah rata dengan tanah,” jelas Fatir.
“Apakah tidak apa-apa kalau kita memakan ini? Bukankah ini bukan makanan milik kita?” ucapku ragu.
“Tenang saja, Sal, warung itu adalah milik saudaraku, jadi tidak apa-apa jika kita memakannya,” jelas Fatir.
“Ya sudah, kalau begitu Aida makanlah, Dek,” ucapku.
Aku membukakan bungkusan roti, susu dan air mineral, lalu memberikannya kepada Aida. Kemudian aku melihat sekelilingku, orang-orang tengah menatap kami, sepertinya mereka juga merasakan lapar seperti yang kami rasakan.
“Tir, bagikan saja makanan ini untuk orang-orang di tenda, kasihan!” ucapku sembari menatap Fatir.
“Baiklah, tapi sisihkan dulu buat kamu dan buatku."
Fatir, lelaki baik itu menyisihkan 2 buah roti tawar dan 2 buah air mineral untukku dan dirinya.
“Kalau begitu kamu duduk saja di sini, jagain Aida! biar aku yang membagikan makanan ini untuk para warga,” ucap Fatir.
Fatir kemudian membagikan semua makanan yang dibawanya untuk para pengungsi yang ada di tenda, terlihat sekali senyum kebahagiaan dan rasa lega dari wajah-wajah yang terlihat lelah dan lapar itu.
“Terima kasih banyak, Nak.” Itulah kata-kata yang diucapkan oleh para pengungsi sembari melemparkan senyum manis kepada Fatir.
“Bagaimana kabar Ayah, Bunda dan Adrian? Apakah ada yang memberikan makanan?” ucapku di dalam hatiku, hingga aku tidak sanggup menyantap roti yang baru saja kubuka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments