Sesuci Cinta Fatimah
"Salsa, kenapa kamu hanya mengurus anak orang lain? Ayah dan Bunda ingin kamu menikah dan memiliki anak sendiri," ucap Herman, lelaki paruh baya, berusia 50 tahun yang tidak lain adalah ayahku.
"Ayah, impian Salsa adalah memiliki sebuah yayasan untuk menampung anak-anak berbakat namun kekurangan biaya dan tidak mampu untuk bersekolah."
Dengan penuh semangat, aku menjelaskan kepada orang tuaku tentang apa yang menjadi keinginan hatiku.
Aku ingin anak-anak di kampungku mendapatkan pendidikan yang layak dan mengenyam pendidikan yang tinggi meski kami tinggal di desa terpencil.
"Tapi, Nak, usiamu sudah tidak lagi muda. Kamu sudah 27 tahun dan di kampung ini hanya kamu satu-satunya gadis yang belum menikah!" ucap Rina, ibuku yang terlihat sangat cantik walaupun keriput telah menghias wajah beliau.
Ya, aku sering menjadi bahan gunjingan orang-orang di kampungku karena di usia yang menjelang kepala tiga masih belum menikah. Aku terlalu sibuk mengurus anak-anak dan aku terlalu haus akan pendidikan, dan aku ingin mencerdaskan anak-anak di kampungku. Ya, aku ingin orang kampung seperti kami bisa mengenyam pendidikan yang layak, walaupun di sini pendidikan tidaklah terlalu penting apalagi untuk seorang wanita sepertiku.
"Sekolah apaan, buat makan sehari-hari saja susah." Kata-kata itu sering ke luar dari mulut orang tua di sini yang memang tidak paham tentang pentingnya pendidikan.
Beruntungnya aku, karena kedua orang tuaku mengizinkan aku untuk bersekolah sampai sarjana keguruan, walaupun dengan mengandalkan beasiswa.
"Itu si Salsa, anak Pak Herman dan Bu Rina, kuliah jauh-jauh ke kota dan menyandang gelar sarjana, tahu-tahunya balik ke kampung juga, kehidupannya tidak berubah, bahkan jadi perawan tua."
Sudah hapal di telingaku kata-kata gunjingan yang membuat panas telingaku. Namun, aku berbagai gunjingan itu tidak pernah ku pedulikan, karena aku percaya mereka yang menggunjing adalah mereka yang sebenarnya tidak punya kerjaan selain mengurus hidup orang lain. Dengan tekat bulat, aku juga berusaha untuk membuktikan kepada masyarakat di kampungku kalau pendidikan itu penting. Ya, walaupun jalanku tidak mudah, aku percaya setiap usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, pasti tidak akan sia-sia hasilnya.
Berbeda dengan kedua orang tuaku, hati beliau merasa sangat sakit dan terluka ketika putri semata wayang beliau dibicarakan.
"Sayang, Ayah dan Bunda akan mengizinkanmu membuka yayasan dan menjadi seorang guru ketika kamu telah menikah," ucap ayah dengan sejuta kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah beliau.
"Benar, Bunda setuju dengan Ayah, Nak. Ingat, Sayang, kamu adalah wanita, jadi kamu tidak perlu terlalu sibuk mengurus hidup orang lain. Kodrat kaum wanita adalah menjadi ibu rumah tangga dan tetap akan mengurus dapur juga!"
Nada suara bunda sedikit ditekan, berharap aku akan mengabulkan keinginan beliau.
Aku tahu, kedua orang tuaku merasa gelisah karena menikahkan anak perempuan adalah kewajiban beliau. Allah SWT berfirman dalam surat An Nur ayat 32 yang berbunyi:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya mu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
"Iya, Ayah, Bunda, nanti sore Salsa akan memperkenalkan calon suami Salsa," jelasku dengan rona wajah bahagia.
"Kamu serius, Nak?"
Bunda terlihat heran dan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
"Iya, Bunda," jawabku untuk meyakinkan kedua orang tuaku.
"Baiklah, Ayah dan Bunda menunggu kedatangan calon suamimu itu," ujar ayah dengan wajah penuh harap.
"Kalau begitu, Ayah dan Bunda mau ke kebun untuk mengambil hasil kebun kita setelah itu ke pasar, mau belanja untuk menyambut calon menantu kita."
Rina terlihat bersemangat menunggu kedatangan calon menantunya.
"Ayah, Bunda, jangan berlebihan, toh ini belum lamaran," ucapku.
Kedua orang tuaku sepertinya terlalu bahagia, hingga beliau bergegas ke luar dari rumah kami.
Sementara aku, hal pertama yang kulakukan adalah membongkar lemari sederhana berbahan dasar kayu milikku, mencari pakaian terbaik yang kupunya yang akan aku kenakan sore ini.
Ya, sebagai seorang wanita, aku ingin terlihat cantik dan mempesona ketika bertemu dengan calon suamiku.
Dalam bahagiaku, aku bernyanyi dan bersenandung lagu-lagu rindu. Sungguh, hari ini aku merasa sangat senang, dengan hati yang berbunga-bunga.
“G E M P A ...!” teriakku dengan pekikan dan nada suara tinggi.
Dunia bergoyang sangat kencang hingga membuat kepalaku pusing. Dengan bergegas, aku segera berlari ke luar dari kamarku.
Tumpukan setrikaan yang menggunung sudah tidak lagi aku pedulikan.
Oleng!
Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu lagi bertahan. Sungguh, bumi berguncang sangat kuat. Aku seperti diayun dan dibuai dalam beberapa saat.
Dalam ketakutan dan kekhawatiran, aku kembali bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki. Aku berlari menjauhi bangunan-bangunan rumahku yang tinggi menjulang untuk menyelamatkan diriku.
Rasa panik dan ketakutan mendalam membuatku teringat akan kedua orang tuaku.
“Ayah, Bunda!” pekik ku.
Aku berjalan ke sana ke mari, mencari keberadaan kedua orang tuaku, namun tidak kudengar sahutan apapun dari kedua orang tuaku.
"Apakah Ayah dan Bunda belum pulang?" ucapku di dalam hati.
Dak ..., Dik ..., Duk ....
Jantung ini berdegup kencang, bukan karena jatuh cinta, namun ada ketakutan yang menyelimuti hati ini. Kekhawatiran tentang keberadaan dan keselamatan orang tua yang sampai saat ini belum kutemukan.
"Apakah Ayah dan Bunda baik-baik saja?" batinku.
Mataku tidak henti-hentinya menatap ke sana ke mari, mencari keberadaan kedua orang tuaku.
Setelah digoyang dan diayun selama lebih kurang 3 menit, gempa akhirnya berhenti.
"Alhamdulillah, akhirnya gempa berhenti juga," ucapku di dalam hati.
Dengan tubuh gemetar, kulangkahkan kembali kaki ini untuk mencari keberadaan kedua orang tuaku di sekeliling rumahku.
Nihil!
Aku tidak menemukan apa-apa.
"Apa Ayah dan Bunda masih di kebun ya?"
Tanpa fikir panjang lagi, aku berlari menuju kebunku yang berada di kaki gunung Talamau, sekitar 10 menit dari rumahku jika di tempuh dengan berjalan kaki.
Terpontang-panting, dengan nafas ngos-ngosan, aku terus berlari tanpa alas kaki.
Saat ini aku tidak lagi mempedulikan keselamatan ku, karena di dalam otakku hanya bertemu secepatnya dengan kedua orang tuaku.
Panik!
Rasa ketakutan semakin menghantuiku ketika melihat wajah orang-orang yang kutemui pucat dan risau. Mereka tengah berlari kian kemari seperti hilang arah dan tanpa tujuan.
“Ayah …, Bunda …! Ucapku terisak.
Air mata yang sedari tadi ku tahan akhirnya mengalir membasahi pipi bulat ku, aku teringat dengan keluargaku, ayah dan bundaku.
Perasaan berkecamuk menghantui fikiranku. Sejujurnya saat ini aku sangat takut teramat sangat takut hal buruk menimpa kedua orang tuaku.
”Salsa, sepertinya kedua orang tuamu saat ini masih berada di kebun," ucap salah seorang warga yang kutemui.
Terdengar olehku suara khawatir dan panik dalam setiap ucapan yang ke luar dari lisannya.
“Ter-terima kasih, Pak,” jawabku dengan suara bergetar.
Kembali kulangkahkan kakiku menuju kebun yang jaraknya tinggal separuh jalan lagi.
Namun, Bumi kembali bergoyang dan kali ini goyangannya lebih kencang dari pada yang sebelumnya.
"Astagfirullahalazim, Allahuakbar, Allahuakbar."
Berbagai macam lafaz zikir memuji Tuhan-ku.
"A-yah, Bun-da, Salsa takut ....!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
larasatiayu
smangatttt lanjut terus
2024-09-22
0