Aku memperhatikan sekitarku, sedikit demi sedikit warga berdatangan memasuki tenda darurat yang kami buat dari terpal. Anak-anak dan orang tua terlihat pucat dan kedinginan. Sinar mentari mulai memasuki peraduannya, suasana langit semakin kelam, listrik masih padam dengan hujan yang mulai berhenti. Akan tetapi, jaringan ponsel hilang, hingga kami tidak bisa menghubungi bala bantuan.
Aku dan Fatir duduk di tenda pengungsian bersama pengungsi-pengungsi lainnya, sembari memikirkan cara apa yang bisa kami lakukan. Namun, sepertinya cacing-cacing di perut ini protes karena belum terisi sedari siang.
“Fatir, pasti semua orang yang ada di sini kelaparan, apalagi anak-anak," ucapku sembari menatap Fatir yang terlihat memikirkan sesuatu.
"Sabar, Sal, semoga sebentar lagi ada bantuan makanan datang dari manusia-manusia berhati malaikat,” ucap Fatir dengan pembawaan tenang dengan senyum tipis yang membuatku merasa lebih baik.
“Aku kasihan kepada anak-anak itu, tapi saat ini hatiku juga gelisah, aku takut terjadi hal buruk pada Ayah dan Bunda."
Dengan raut wajah mengiba, aku meluapkan semua yang kurasakan saat ini kepada Fatir. Sejujurnya, hati ini terasa sangat khawatir dan sangat takut sesuatu yang buruk terjadi kepada keluargaku. ucapku degan raut wajah khawatir.
“Aku juga memikirkan hal yang sama,” ucap Fatir sembari menundukkan pandanganya, aku juga tengah memikirkan keluargaku, tapi tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang," jawab Fatir.
Kutatap wajah Fatir, walaupun terlihat tenang, aku tahu lelaki itu memiliki kekhawatiran yang sama denganku.
“Sal, sepertinya sudah waktu salat, tapi tidak ada suara azan yang berkumandang, apakah karena lampu mati?” Fatir menatap wajahku yang mulai terlihat samar karena gelapnya malam.
“Iya, sepertinya sudah waktu magrib, kita mau salat di mana sekarang, Tir?”
“Bagaimana kalau kita coba melihat ke musala kampung?" usul Fatir.
“Yuk, mari kita lihat, mudah-mudahan saja musalanya masih bisa digunakan untuk salat,” ajak ku.
Aku dan Fatir berjalan berdampingan ditemani cahaya rembulan dan bintang-bintang yang bersinar terang.
Kami berjalan menuju musala yang letaknya sekitar 10 menit dari tenda pengungsian jika di tempuh dengan berjalan kaki.
Selangkah demi selangkah, kaki kami mendekati musala.
Masyaallah, bangunan itu terlihat berdiri kokoh, sementara banyak bangunan di sekitarnya sudah menyatu dengan tanah. Cahaya terang dari lampu cast yang hanya menyinari musala itu membuat musala itu terlihat seperti sebuah harapan.
“Masyaallah Tabarakallah, Allahuakbar.” Hanya kata-kata itu yang ke luar dari mulutku dan Fatir, betapa kami sangat terharu dan takjub melihat rumah Allah itu berdiri kokoh tanpa ada retak sedikitpun.
Air mataku dan Fatir bercucuran, hati kami berdebar, betapa Allah itu Maha Sempurna, Allah membuktikan kebesarannya, rumah Allah berdiri kokoh.
Aku segera berlari menuju rumah Allah untuk menghadap-Nya, aku ingin berdoa dan mengadu kepada Tuhanku tentang betapa khawatirnya hatiku saat ini.
“Bismillah,” kulangkahkan kaki kananku memasuki musala dengan sejuta beban yang kubawa dan ingin ku curahkan kepada Tuhanku.
“Ya Allah, ampuni dosa kami, kami salah dan lalai dalam mengingat-Mu, hingga Engkau uji kami dengan bencana yang meluluh-lantahkan semuanya dalam hitungan menit. Hamba percaya Engkau saat ini tengah menegur kami atas dosa-dosa yang telah kami perbuat, agar kami kembali ke jalan-Mu. Ampuni kami Ya Allah. Ya Allah, saat ini hati hamba tengah gundah dan sangat risau, hamba tegah memikirkan Ayah dan Bunda. Apa yang harus hamba lakukan sekarang ya Rabb? Tolong jaga dan lindungilah keluarga hamba Ya Rabb,” doaku khusuk dan penuh harap dengan berurai air mata.
Kubuka mukena yang kukenakan, kulihat sekelilingku, banyak orang-orang yang juga tengah berdoa dengan khusuk dan bergelimang air mata, ada juga yang sedang duduk dan bersandar di dinding musala, sepertinya tengah memikirkan banyak hal termasuk trauma pasca gempa bumi dan longsor.
Kemudian pandangan ku tertuju pada seorang anak dengan usia sekitar 7 tahun, ia bersandar di dinding dengan luka di keningnya, air mata juga terus mengalir membasahi pipinya.
Aku melangkahkan kakiku untuk mendekati gadis kecil itu, ada perasaan iba di hatiku dan aku sangat ingin sekali membantunya.
“Adek, Adek kenapa?”tanyaku lembut sembari menatap wajah gadis kecil itu.
Gadis itu hanya diam dalam kebisuan, tetapi air matanya semakin mengalir deras, sepertinya trauma membuat gadis kecil itu tidak bisa mengungkapkan kata-kata.
“Adek, kita ke luar ya, kita obati lukanya,” ucapku sembari membimbing tangan gadis kecil itu.
Tidak ada penolakan dan pemberontakan dari gadis kecil itu, ia mengikuti langkah kakiku tanpa berkata apa-apa kepadaku.
“Salsa,” teriak Fatir yang ternyata telah menungguku di luar musala.
Fatir berjalan menghampiriku dengan senyum merekah dari wajahnya. Ya, lelaki itu berusaha untuk tetap tersenyum untuk menghiburku, padahal saat ini hati dan otaknya juga tengah memikirkan banyak hal.
“Sal, dia siapa?” tanya Fatir sembari menatap gadis kecil yang tengah ku gandeng.
“Aku tidak tahu dia siapa, tapi aku melihat keningnya terluka dan ia tegah menangis di musala, sepertinya ia merasakan kesakitan. Jadi, aku bawa dia ke luar,” jelasku.
“Ya udah, sekarang kita bawa dia ke tenda darurat agar kita bisa mengobati lukanya dengan peralatan P3K seadanya yang kita punya ,” ucap Fatir khawatir.
“Saya lapar, Kak, sedari pagi saya belum makan.” Itu adalah kata-kata pertama yang ke luar dari mulut gadis kecil itu. Suaranya terdengar lemah dan bergetar karena menanggung sakit dan lapar.
“Apa yang harus kita lakukan, Tir? Sampai saat ini belum ada bantuan yang datang, kita juga tidak punya apa-apa di tenda,” bisik ku ke telinga Fatir.
“Adek, Adek lapar ya? Ini, Abang punya permen untuk Adek, makan ini dulu ya, Dek,” ucap Fatir mengeluarkan permen dari kantung celananya yang memang tinggal satu-satunya. Ya, lelaki itu memang suka sekali membawa permen di sakunya dan ia berikan ke anak-anak ketika mengajar les private.
Gadis kecil itu hanya diam dan tidak mengambil permen pemberian Fatir. Ya, wajar saja, karena saat ini yang ia butuhkan adalah makanan, bukan permen.
“Makasih ya, Abang, permennya,” ucapku sembari megambil permen itu dari tangan Fatir.
Kubuka permen itu dan ku suapkan permen itu ke mulut sang gadis kecil yang sangat cantik itu.
“Adek, sekarang kita obati dulu lukanya ya, nanti kalau sudah ada bantuan makanan, Abang pasti akan mengambilkan makanan yang banyak untuk Adek,” ucap Fatir lembut sembari membelai lembut rambut gadis kecil itu dengan senyuman yang meneduhkan dan membuat hati tentram dan damai ketika menatapnya.
“Baiklah, Bang,” ucap gadis kecil itu lembut.
Aku dan Fatir menggandeng tangan gadis kecil itu, kami terlihat seperti saudara yang telah akrab dan kenal lama.
“Adek kecil, namanya siapa?” tanyaku sembari berjalan.
“Aida,” jawab gadis kecil itu lembut.
“Aida, nama yang indah dan cantik seperti orangnya,” ucap Fatir yang sepertinya sangat paham cara membuat orang lain merasa senang dan bahagia.
“Abang, Kakak, Aida takut!” teriak Aida sembari menghentikan langkah kakinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments