Aku melepaskan genggaman tangan Fatir dan berhenti berjalan di sela-sela hujan.
Kutatap mata Fatir, namun lelaki itu menghindari tatapanku, dan di saat itulah aku tahu kalau lelaki yang ada di depanku itu tengah menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku sangat mengenal Fatir, lelaki itu tidak pernah berbohong kepadaku. Namun, ketika lelaki itu diam, maka ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan.
"Fatir, tatap aku!"
Wajahku memerah dengan mata membelalak. Aku harus segera tahu apa yang sebenarnya di sembunyikan oleh Fatir.
"Salsa, Ayah dan Bunda sedang menunggumu sekarang."
Hanya itu kata-kata yang ke luar dari mulut Fatir, dengan wajah yang terlihat penuh dengan kerisauan dan sejuta tanda tanya.
Huft ....
Aku menarik nafas panjang, dengan detak jantung yang berdetak sangat hebat. Tanpa berkata-kata lagi, aku memasang kuda-kudaku dan berlari menuju rumahku.
Ya, hujan tidak menghalangiku untuk bisa segera sampai ke rumahku. Ada rasa was-was di hati ini, takut hal buruk terjadi kepada kedua orang tuaku, akan tetapi tidak ada yang bisa aku lakukan.
Menangis!
Kali ini air mataku menyatu bersama hujan.
"Aw, sakit!"
Dalam lari, aku terjatuh hingga lutut ku berdarah.
Perih!
Tentu saja luka bersatu bersama hujan ini semakin membuat kakiku sakit.
"Salsa, kamu kenapa?"
Dengan sigap Fatir menggendongku.
Dalam tangis dan hujan, aku pasrah!
Aku melingkarkan kedua tanganku di leher Fatir.
Kutatap wajah itu, wajah yang selalu meneduhkan dan menenangkan ketika aku menatapnya.
"Fatir, sebenarnya apa yang terjadi kepada Ayah dan Bunda?" ucapku dalam isak tangisan.
Fatir hanya diam membisu tanpa menatapku. Fokus Fatir saat ini adalah berjalan dan membawaku sampai ke kampung kami.
Kulihat bangunan-bangunan sudah rata dengan tanah, termasuk rumahku.
"Turunkan aku, Fatir!"
Dalam diam, Fatir menurunkan ku tepat di depan rumahku.
"Fatir, di mana Ayah dan Bunda?"
Tidak ada jawaban apa-apa dari Fatir kecuali diam membisu.
Sikap Fatir semakin membuatku curiga dan merasa tidak enak.
Dengan menarik nafas panjang, aku melangkahkan mengelilingi rumahku yang telah rata dengan tanah sembari memanggil-manggil kedua orang tuaku. Akan tetapi aku tidak menemukan siapa-siapa.
Kemudian kulangkahkan kakiku menuju lokasi yayasan yang jaraknya sekitar 5 menit dari rumahku, jika di tempuh dengan berjalan kaki.
"Salsa, tunggu!"
Teriakan Fatir tidak ku hiraukan.
"Astagfirullahalazim, Allahuakbar, Allahuakbar!"
Semua bangunan yayasan yang masih belum rampung itu rata dengan tanah.
Hidupku, masa depanku dan cita-citaku hancur berantakan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Fatir?"
Aku menjatuhkan tubuhku ke bumi. Sungguh, rasanya aku tidak lagi mempunyai tenaga untuk berdiri ketika harapan yang kubangun dengan keringat dan air mata, sesuatu yang paling berharga yang aku punya habis dalam sekejab mata.
Aku hanya merindukan surga untuk anak-anak di kampungku, surga ilmu dan ladang amal bagiku. Namun, surga yang ku rindukan hancur dalam sekejab mata.
"Fa-tir ...! Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Aku menepuk-nepuk dadaku dengan kepalan tanganku, rasanya benar-benar sangat menyesakkan.
"Salsa, sudahlah! Kita masih bisa membangun yayasan setelah ini!" ujarku Fatir.
Lelaki tampan itu membantuku berdiri dan membawaku ke dalam pelukannya.
Pelukan hangat yang terasa sangat nyaman dan menenangkan. Setidaknya untuk sesaat kehadiran Fatir membuatku merasa lebih baik.
"Salsa, langit sudah gelap, kita harus segera mencari bantuan," ujar Fatir.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Ku menengadahkan wajahku sembari menatap Fatir yang saat ini masih memelukku.
Dalam hujan, air mata dan kesedihan ini sudah membaur menjadi satu.
"Sal, kita harus mendirikan sebuah tenda di kampung ini sampai bantuan datang," ucap Fatir.
Ya, Fatir adalah sosok pria yang memiliki jiwa sosial tinggi, relawan sejati yang bekerja tanpa lelah dan tanpa mengharapkan imbalan apa-apa.
"Aku, setuju."
Dengan suara lemah dan wajah tertunduk aku mendukung ide Fatir. Namun, hatiku masih merasa tidak tenang karena belum bertemu dengan kedua orang tuaku.
"Kamu memikirkan Ayah dan Bunda ya, Sal?"
Seolah pahan dengan kesedihan dan sesuatu yang mengganjal fikiranku saat ini.
Aku menatap dalam mata Fatir dan mengangguk.
"Sal, kamu tenang ya dan kamu banyak berdoa."
Fatir menepuk-nepuk dengan lembut pundakku. Sepertinya ia berusaha menenangkan hati dan perasaanku, namun bagaimana mungkin aku akan tenang jika aku belum melihat wajah kedua orang tuaku dalam keadaan baik-baik saja.
"Salsa, Ayah dan Bunda pasti baik-baik saja. Allah akan melindungi beliau."
Kata-kata yang ke luar dari lisan Fatir selalu menenangkanku, namun ada lagi keraguan di hati ini.
"Kenapa lagi, Salsa?" tanya Fatir.
Fatir menggenggam bahuku dengan kedua tangannya, kemudian menatap mataku dalam.
Untuk beberapa saat aku membalas tatapan itu, tatapan yang terlihat berbeda dari sebelum-sebelumnya
Dak ..., Dik ..., Duk ....
Jantungku berdetak hebat, hingga aku langsung memalingkan wajahku darinya.
"Debaran apa ini? Apakah ini kekhawatiran?" batinku.
"Fa-Fatir, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Aku berusaha menghindari Fatir dan berjalan kian kemari di bawah hujan.
"Salsa!"
Ku rasakan tangan Fatir menggenggam tanganku, hingga tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain menghadapinya.
"Fatir, maafkan aku! Aku hanya tidak bisa berfikir jernih saat ini."
Sejujurnya hatiku berkecamuk, hati ini tengah mengkhawatirkan keselamatan kedua orang tuaku, sebagian hatiku kecewa karena aku gagal memperkenalkan calon suamiku kepada kedua orang tuaku, dan satu hal lagi yang membuatku kikuk, hatiku tiba-tiba berdebar ketika menatap Fatir.
"Salsa, jika yang kamu khawatirkan saat ini adalah pertemuan mu dengan Adrian, maka kamu ingatlah bahwa perkara rezeki, maut dan jodoh telah diatur oleh Allah di lauh mahfudz jauh sebelum manusia terlahir ke dunia," ucap Fatir dengan nada suara lebih tinggi dari sebelumnya.
Fatir memang lelaki sahabat terbaik yang selalu menasehati ku, tapi kali ini nasehatnya terdengar berbeda dari biasanya.
"Sudahlah, Fatir, kita jangan berdebat lagi! Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengambil terpal di antara reruntuhan bangunan ini dan membawanya ke lapangan bola," ujarku.
Aku berjalan dan mencari sesuatu yang bisa diselamatkan dan kulihat Fatir menurut dan melakukan hal yang sama denganku. Setelah itu, kami berjalan menuju sebuah lapangan yang lokasinya tidak terlalu jauh dari yayasan. Lapangan yang biasanya digunakan oleh warga di kampungku untuk bermain bola atau berbagai macam kegiatan sosial lainnya.
Aku dan Fatir berfikir untuk mendirikan tenda dan menggiring semua warga terutama anak-anak ke sana sampai bala bantuan datang.
"Sal, kita harus cepat!"
Dalam hujan aku dan Fatir bergegas mendirikan tenda.
Terlihat juga beberapa orang warga mulai berdatangan mendekati dan membantu kami mendirikan tenda.
"Sepertinya listrik juga mati, kita semua basah kuyup dan bahan makanan juga tidak ada," ucap salah seorang warga yang terlihat sangat pucat dan kedinginan.
"Fatir, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments