Aku menangis dan merintih sejadi-jadinya dengan tubuh yang saat ini tersungkur ke tanah.
Bruk ...!
Terdengar olehku seperti bongkahan batu besar tengah menggelinding dari puncak gunung Talamau.
"Allahuakbar ..., Allahuakbar!" ucapku keras.
Ku perhatikan banyak pohon-pohon tumbang dan batu-batu menggelinding, tanah gunung Talamau mengalami longsor. Dalam beberapa detik saja kulihat dengan mata kepalaku sendiri semua hancur, langit menangis, gunung mengamuk.
Sungguh, jika Tuhan telah berkata "Kun fayakun," semua akan terjadi.
Mataku yang awalnya melotot langsung terpejam, dengan air mata yang jatuh membasahi pipiku.
Hari ini adalah hari di mana aku akan memperkenalkan calon suamiku kepada kedua orang tuaku. Akan tetapi, semua berjalan tidak sesuai dengan yang ku harapkan. Bumi tempatku berpijak hancur lebur, berantakan.
"Bunda, Salsa ingin menyetrika baju yang akan kita pakai untuk pertemuan dengan Adrian, jadi Bunda dan Ayah santai saja dan jangan melakukan apa-apa," terngiang-ngiang olehku percakapan terakhirku dengan kedua orang tuaku sebelum beliau ke luar rumah.
"Masyaallah, anak Ayah dan Bunda terlihat benar-benar sangat bahagia karena nanti sore calon suaminya akan datang."
Suara ayah terdengar lembut dengan senyum manis yang tergambar di wajah tampan beliau. Wajah yang saat ini sudah penuh dengan keriput itu, tetap menggambarkan pesona malaikat bagiku.
Namun, entah mengapa perasaanku seperti tidak enak melihat senyum kedua orang tuaku. Keduanya seperti tengah menanggung beban yang teramat sangat, yang tidak bisa beliau ungkapkan kepadaku. Senyum itu malah terlihat seperti perpisahan.
"Ayah ..., Bunda ...!" Teriakku keras sembari mencoba bangkit.
Kakiku bergetar dan tidak lagi bertenaga untuk berdiri, namun keinginan keras untuk menemukan kedua orang tuaku membuat ku harus bangkit dan bangkit lagi untuk mencari kedua orang tuaku.
"Salsa akan secepatnya menemukan Ayah dan Bunda. Tolong tunggu Salsa!" ucapku di dalam hati sembari mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki.
"Ayah ..., Bunda ....!" Aku berteriak sekeras-kerasnya ketika sampai di kebunku yang saat ini telah rata dengan tanah longsor.
Fikiranku mulai melayang, aku takut kedua orang tuaku tertimbun tanah.
"Ya Allah, apa yang terjadi? Di mana Ayah dan Bunda hamba?" ucapku dalam isak tangisan.
Air mata terus mengalir membasahi pipi bulat ku, dengan dada yang terasa teramat sangat sesak.
Aku duduk bersila di tanah, sembari memukul-mukul dadaku. Teringat olehku senyum kedua orang tuaku yang terlihat sangat berbeda hari ini. Sungguh, terngiang-ngiang dalam ingatanku semua kata-kata dan nasehat yang beliau sampaikan. fikiranku melayang dan rasanya dada ini terasa semakin sesak, seluruh tubuhku menggigil.
Takut!
Sejujurnya aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini selain menangis sejadi-jadinya. Teringat olehku tentang harapan dari kedua orang tuaku, yang mengharapkan anak gadis semata wayangnya untuk menikah dan memiliki seorang imam yang akan membimbingku di dunia hingga ke surga. Ya, selama 27 tahun hidupku, aku belum bisa mewujudkan keinginan kedua orang tuaku. Aku belum bisa membahagiakan kedua orang tuaku, bahkan aku hanya menjadi beban untuk keduanya. Ya, bahkan impian sederhana beliau untuk memiliki cucu dariku belum bisa aku kabulkan.
Kini, penyesalan mulai muncul di dalam hatiku, aku takut sesuatu yang buruk terjadi kepada kedua orang tuaku, dan aku sangat takut tidak diberi kesempatan lagi oleh Tuhan untuk berbakti kepada kedua orang tuaku.
"Ayah, Bunda, hari ini Salsa akan mengenalkan calon suami Salsa, bukankah itu keinginan Ayah dan Bunda?" teriakku sangat lantang dan keras sembari meraung-raung dalam tangisan.
Namun, tidak ada yang mendengar dan menjawab teriakan ku selain gema dari pantulan suaraku sendiri.
Rasa menyesal, panik dan takut menghantuiku, bahkan hati kecilku mulai terusik ketika kulihat seorang anak yang berjalan tertatih-tatih sembari membawa orang tuanya yang sedang terluka parah, mungkin saja karena terhimpit sesuatu ketika gempa bumi melanda.
"Salsa, ayo bangkit! segera temukan Ayah dan Bundamu!" ucapku di dalam hati.
Dengan sisa-sisa tenaga, aku menguatkan diriku sendiri untuk bangkit dan berdiri, aku berlari sekencang yang ku bisa untuk kembali pulang dan meminta maaf kepada ayah dan bundaku. Dalam fikiranku mungkin saja saat ini kedua orang tuaku juga sudah di rumah dan sedang mencari ku juga.
“Ya Allah, izinkan aku menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuaku. Impianku adalah memiliki sebuah yayasan untuk anak-anak kurang mampu bersama suamiku. Dengan begitu aku bisa membuktikan kepada kedua orang tuaku dan semua orang kalau seorang wanita yang sudah menikah juga masih bisa berkarir membantu suaminya untuk mencerdaskan anak bangsa,” ucapku di dalam hati sembari menatap langit yang terlihat mendung.
Dalam perjalanan menuju rumah, langit biru dengan awan putih pun berubah menjadi hitam, hujan lebat membasahi bumi, petir menyambar-nyambar, seolah saat ini Tuhan sedang marah kepada kampungku.
"Salsa, apa yang kamu lakukan di sini? Ayo pergi!"
Kurasakan tangan seseorang menarik tanganku, entah siapa, karena saat ini tatapanku menjadi kabur.
"Salsa, Salsa!" teriakan lelaki itu menyadarkan ku.
"Lepaskan aku!" teriakku.
Aku menarik tanganku dari sosok seorang lelaki tampan yang tidak lain adalah Fatir, sahabat kecil sekaligus rekan kerjaku. Pria terbaik yang mendukung semua cita-citaku di saat semua orang memandang remeh.
"Salsa, kamu kenapa?"
Fatir terlihat heran dengan sikapku yang penuh dengan emosi dan amarah.
Bagaimana tidak, lelaki itu datang tiba-tiba dan menarik tanganku untuk pergi meninggalkan kebun ini tanpa meminta persetujuanku. Harusnya sebagai sahabatku, ia setidaknya menanyakan keadaan kedua orang tuaku dan membantuku mencari beliau.
"Fatir, tidak bisakah kamu membantuku mencari Ayah dan Bundaku?" teriakku dengan air mata yang jatuh menggenangi pipiku.
Ya, air mata kesedihan yang menyatu bersama hujan.
"Salsa, kedua orang tuamu mungkin saat ini telah berada di rumah dan sedang mencari mu juga!"
Penjelasan Fatir membuatku terdiam, hingga perasaanku menjadi lebih baik.
"Salsa, kita harus segera menyelamatkan diri dari sini!"
Tanpa meminta persetujuanku lagi, Fatir menarik tanganku dan membawaku berlari menuju kampung karena hujan semakin deras.
Dalam hujan, aku dan Fatir hanya terus berlari tanpa berkata apa-apa.
Mata kami hanya tertuju pada bangunan-bangunan sekitar kami yang sudah rata dengan tanah.
"Apa yang terjadi pada yayasan kita, Fatir?"
Seketika aku teringat dengan yayasan yang baru saja akan kubangun bersama Fatir.
Sebuah bangunan sederhana yang kami bangun dari hasil kerja keras dan jerih payah yang kami dapatkan dari mengajar les private anak-anak orang kaya di kampung tetangga. Sedikit demi sedikit uang itu kami kumpulkan dan kami setiap bulannya kami belikan ke bahan bangunan untuk membangun yayasan.
"Aku hanya ke rumahmu, belum sampai ke yayasan," jawab Fatir singkat dengan wajah yang terlihat menanggung banyak beban.
Kutatap wajah tampan yang selalu meneduhkan itu, kali ini terlihat berbeda dari biasanya.
"Apakah ada hal buruk yang terjadi?" batinku merasa tidak tenang.
Feeling ini mengatakan ada hal buruk yang terjadi, sesuatu yang disembunyikan oleh Fatir dariku.
"Fatir!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments