Anna memperlihatkan penampilannya di depan kaca hias. Dress merah muda yang memperlihatkan lekuk tubuhnya begitu pas untuk wawancara kerja hari ini.
Senyumnya terkembang. Anna begitu antusias dan bersemangat meski ini pertama kalinya bekerja di perusahaan besar yang bidangnya berbeda dari perusahaan tempatnya bekerja dulu.
Alih-alih menaiki mobil, ia lebih memilih naik motor matiknya ke sana. Kebetulan, saat ia duduk di jok motor, Tasya berlari ke arahnya sambil berseru:
"Kak, aku nebeng, ya," katanya sembari duduk di belakangnya.
Anna terkejut sejenak, tapi tak memprotes. "Nih!" Anna langsung memberikan helm pada adiknya itu. "Siap, ya? Pegangan!"
Tasya sigap memeluk pinggang kakaknya, lalu berkata, "Siap, Kak."
Namun, Anna tak kunjung melajukan motor. Ia mendecak. "Tapi nggak pake pegangan kayak gini juga kali?" protesnya.
"Eh?" Tasya terhenyak, kemudian menyadari maksud kakaknya. Buru-buru, ia menarik kembali tangannya dari pinggang Anna. "Yuk, jalan, Kak!"
Anna menghidupkan mesin motor, melajukannya di jalanan Jakarta yang sibuk dengan banyak kendaraan yang melaju. Kemacetan pun tak bisa dihindari, dan untungnya ada Tasya yang menemaninya di sepanjang perjalanan dengan obrolan.
"Kok, nggak naik mobil, Kak?" tanya adik perempuannya yang hanya beda lima tahun darinya.
"Lagi pengin naik motor," jawab Anna. "Motor kamu masih belum selesai diperbaiki?"
"Nggak tahu. Entar aku mau ke sana habis pulang kerja," jawab Tasya. "Oh, iya. Kenapa Kakak kerja di tempat lain? Kenapa nggak di kantor Kakak dulu?"
"Mau nyari pengalaman kerja baru," sahut Anna, perlahan menuruni kecepatan saat lampu merah menyala. "Lagian, teman aku bikin tergiur aja deh, dengerin ceritanya soal lowongan kerja di perusahaan tempat dia bekerja. Gajinya lumayan besar."
"Perusahaan apaan tuh, Kak?" tanya Tasya.
"Perusahaan produk pangan gitu." Lampu hijau sudah menyala, Anna melajukan motornya setelah berujar. "Macam-macam produk dihasilkan, dan terkenal lagi di Indonesia."
"Wah." Ekspresi kagum terlihat di wajah gadis berusia 22 tahun itu.
Letak kantor Tasya searah dengan jalan tempat perusahaan Anna melamar pekerjaan. Jadi, ia bisa langsung melaju tanpa memutar arah setelah mengantarkan Tasya ke kantornya.
Padahal, sudah berharap bahwa hari ini akan berjalan lancar, tetapi malah ada saja kejadian yang tak diinginkan. Sesampainya di gedung perusahaan tempatnya melamar, terdapat kerumunan orang-orang berdiri di depan gerbang utama sambil menyerukan aspirasinya.
Perlahan, laju motornya melambat. "Ada apa ini? Demo?" gumamnya, tercengang.
Ia berhenti di dekat kerumunan itu, bingung dengan apa yang harus dilakukan. Benar-benar deh! Ada saja kejadian kayak gini! Decaknya dalam hati.
"Apa tidak ada akses masuk lagi?" Ia bergumam, melirik ke sekeliling tempat
Sebuah ide terpikirkan, ia langsung mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menghubungi seseorang. "Halo, Git," cecarnya langsung, begitu teleponnya tersambung. "Aku ada di luar pagar kantor, tapi nggak bisa masuk karena ada orang-orang lagi demo."
"Iya," sahut orang yang ada di ujung telepon. "Kayaknya, mereka protes soal pabrik yang ada di Pekalongan. Katanya, mereka menolak kalau pabrik itu dijual."
Anna tidak mau tahu soal itu. Waktu untuk wawancara kerja tinggal sedikit lagi. Yang ingin didengar dari perempuan itu adalah jawaban dari pertanyaan ini:
"Terus, aku harus gimana? Ada jalan lain buat masuk ke kantor ini?"
"Sayangnya, nggak ada, Sis," jawab Gita, memelas.
Masa perusahaan besar nggak ada akses jalan masuk lain? Segembel-gembelnya perusahaanya dulu, masih ada tuh jalan lain yang bisa dilewati untuk masuk ke dalam gedung. Anna tertunduk lemas, lalu mendecakkan lidah. Ia harus bergegas mencari ide untuk mengejar peluang bekerja di perusahaan besar ini.
"Em ... Gita, tolong kamu bilang sama HRD, kalo aku terlambat datang karena pendemo di depan kantor."
"Tenang aja. HRD udah mentoleransi soal ini kok," ujar Gita. Jawaban ini yang mau didengar oleh Anna. Hati jadi lega sekarang.
Tapi, mau sampai kapan di depan sini? Dandanannya jadi luntur karena sinar matahari yang mengarah padanya. Satpam kantor ini tak berguna sama sekali, mereka hanya berdiri di belakang gerbang yang tertutup, sok sibuk dengan walkie talki-nya, alih-alih menghalau para pendemo.
Anna mendengus, memangku dagunya. Beberapa kali ia melirik arlojinya dengan resah bercampur jengkel. Namun, selang beberapa saat, sebuah mobil mewah berwarna hitam mendekat ke gerbang kantor. Mobil itu membunyikan klakson, hingga semua perhatian orang-orang tertuju padanya, termasuk Anna.
Anna tertegun dan menegak. "Itu mobil siapa? Bosnya?" tebaknya, alisnya naik sebelah.
Salah satu seorang demonstran mengerumuni mobil, menggebrak depan mobil sembari berteriak gusar, "Eh! Mentang-mentang punya mobil! Kalau mau masuk, suruh bos kamu temui kami dulu!" Lalu, orang-orang bersorak menimpali pria itu.
Lalu, seorang pria berkacamata, berbadan kecil, dengan rambut klimis keluar dari mobil untuk menghadap pria berambut cepak, yang diduga pemimpin demo ini.
"Coba sebutkan, berapa yang kalian mau?" kata pria berjas biru tua itu. "Saya akan bayar kalian, tapi setelah itu kalian membubarkan diri."
Orang-orang saling berbisik. Sepertinya, mereka menyetujui perjanjian yang dicanangkan oleh pria itu. Namun, si pemimpin demo berteriak, "Kami tidak akan terpengaruh pada bujukan kalian! Kami ingin bertemu dengan Pak Logan sekarang juga!"
Anna menghela napas jengkel karena kerumunan itu semakin riuh. Apalagi, pria cepak itu memprovokasi pendemo agar mengeroyok pria klimis itu.
Merasa terancam, si pria klimis terbirit-birit masuk ke dalam mobil. Otak Anna semakin nggak keruan kesalnya melihat kekacauan ini.
"Apa salahnya sih penuhi keinginan mereka?" keluhnya.
Situasi jadi tak terkendali, si rambut cepak melakukan aksi anarkis dengan memukul-pukul kap mobil dan menendangnya.
"Pak Logan, keluar! Kami tahu Anda sedang ada di dalam!" serunya memukul kap mobil, yang ditimpali para pendemo dengan sorakan.
"Logan?" tanya Anna bergumam, ternyata mendengar pria itu meneriakkan nama itu. "Apa dia direktur perusahaan ini?"
Anna pernah mendengar celotehan Gita, gadis yang merekomendasikan perusahaan ini padanya, soal direktur perusahaan. Katanya, Logan Alexander Angsana adalah direktur berkepribadian dingin, tapi tampan. Para wanita menyebutnya Perfect Man. Namun, Anna jadi penasaran, seberapa "sempurnanya" pria itu.
Sementara itu di dalam mobil, pria klimis itu begitu panik, berbeda dengan Logan yang duduk tenang tanpa ekspresi. Pria klimis itu akhirnya memilih sebuah ide. Maka, dirogohnya saku jasnya, lalu mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor darurat.
"Halo, Polisi. Saya ingin—"
"Jerry, matikan!" perintah Logan tiba-tiba, nada bicaranya dingin dan datar.
"Tapi, Pak—"
"Apa sekarang kau mulai membantahku?" Ancaman yang dalam dan tajam itu membuat Jerry menyimpan kembali ponselnya.
"Ba ... baik, Pak."
Pintu mobil tiba-tiba terbuka, dan para pendemo menjadi senyap, menunggu apa yang terjadi. Anna pun tertegun, menegakkan badan. Kali ini, siapa yang akan keluar dari mobil? Apa pria yang bernama Logan itu?
Akan tetapi, ia tidak bisa melihatnya. Kerumunan itu menutupi pandangan, ketika seorang pemuda tampan berjas krem berdiri menghadapi para demonstran. Sangking penasarannya pada rupa bosnya, Anna sampai menjinjitkan kaki dan meloncat-loncat. Tapi sia-sia, tetap tidak kelihatan!
"Saya yang kalian cari. Saya Logan," kata pria itu.
"Ah! Akhirnya, keluar juga bosnya!" seru Anna, gemas.
Sontak, para demonstran membisu. Seorang pria paruh baya berkulit sawo matang maju ke depan menghadapnya. Logan menatapnya, hingga pria itu hampir terintimidasi. Akan tetapi, demi hal yang ingin dicapainya, pria itu tetap membusungkan dada.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Logan.
"Kami mau Anda membatalkan penjualan pabrik di Pekalongan," pungkas pria paruh baya itu dengan lantang, yang ditimpali oleh sorakan dari pendemo.
Lalu, pria berambut cepak yang ada di sampingnya bergantian bicara. "Iya! Kami sangat bergantung pada pabrik itu."
Logan tersenyum sinis, kaki jenjangnya melangkah ke depan, sehingga kedua pria itu mundur karena terintimidasi. "Pemiliknya sudah menjualnya pada saya. Lagipula, untuk apa saya mempertahankan pabrik sabun yang sudah bangkrut? Tidak ada untungnya bagi saya."
Mereka terdiam, rasa bingung menghampiri mereka sejenak, sampai pria berambut cepak yang bernama Tama berkata:
"Anda hanya memikirkan hidup Anda sendiri! Egois! Anda tahu, betapa sulitnya hidup kami sekarang karena Anda menutup pabrik itu."
Pria itu berbicara sangat keras, tentu saja Anna sampai bisa mendengarnya. "Kasihan juga, ya, mereka?" gumamnya berkomentar. "Huh! Apa aku harus menggadaikan nuraniku demi bekerja dengan bos arogan seperti itu?"
"Saya tidak peduli!" tukas Logan lantang, sampai semua orang terkejut mendengar ucapan tanpa hati itu. "Itu bukan urusan saya. Sekarang, sebaiknya kalian BUBAR! Kalau tidak...."
Logan mengeluarkan ponselnya. Semua orang mengernyit penasaran, entah apa yang sedang dilakukan pria itu. Ternyata, Logan melakukan video call dengan seorang pria yang memakai topi mandor berwarna kuning.
"Halo, Pak Jaya. Apa semua bom sudah terpasang semua?"
Bom? Apa dia bercanda? Seketika, wajah para pendemo memucat, apalagi begitu Logan memperlihatkan video orang-orang suruhannya sedang memasang bom di beberapa sudut sebuah pabrik.
Logan tersenyum menang. Pendemo itu diam membisu sambil memandang satu sama lain. Kemudian, terdengar suara lirih dari mereka, yang tampak ragu dengan aksi mereka kali ini.
"Bagaimana? Apa kalian masih ingin berdemo di sini?" tanya Logan. "Saya beri waktu satu menit bagi kalian untuk berpikir dan membubarkan diri. Kalau kalian masih di sini, jangan salahkan saya kalau pabrik itu saya bom."
Ancaman yang berhasil memukul mundur para pendemo satu per satu. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Tama dan pria paruh baya itu. Mereka bergeming menatap Logan dengan tangan terkepal mata menyala penuh kemarahan.
Logan memiringkan kepala, mencemooh, memberi isyarat pada pria itu agar segera pergi dari hadapannya.
Setelah kerumunan membubarkan diri, Anna pun menghidupkan mesin motor, lalu melajukannya ke dalam area parkir perkantoran. Selang beberapa saat, Gita menghubungi. Gadis itu menyuruhnya cepat-cepat untuk melakukan wawancara di sebuah ruangan.
Langsung saja, Anna berlari ke dalam gedung, tak peduli seberapa banyak orang yang melihat ke arahnya. Setelah bertanya pada resepsionis di mana gedung tempat interview, Anna cepat-cepat menghampiri lift yang sedang dimasuki oleh dua orang.
"Tunggu! Tolong, jangan ditutup dulu!" serunya, panik ketika pintu lift perlahan akan tertutup.
Anna bergegas berlari secepat mungkin. Hampir saja pintu lift tertutup, Anna dengan sigap masuk ke dalam lift. Namun, kakinya tersandung. Spontan, ia menjerit pelan.
Dikira ia akan jatuh, tapi bukan di lantai, melainkan di dalam pelukan seorang pria berjas krem. Ia mendelik, lalu langsung mendongak. Tatapannya bertemu dengan mata cokelat milik seorang pria tampan. Ekspresi dinginnya, menunjukkan bahwa pria itu tidak senang.
Asisten pria itu terkejut, lalu buru-buru menolong Anna untuk beranjak dari pelukan bosnya. "Pak Logan, Anda baik-baik saja?" tanyanya.
Logan? Anna terhenyak dengan mulut terbuka. Si Perfect Man?
"Jadi, pria ini calon bosku?" gumam Anna sepelan mungkin.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments