Mata sipit yang tajam, hidung mancung bak artis, dan kulit yang putih. Badannya tidak hanya tinggi, tetapi juga atletis—Anna bisa merasakan dada berototnya yang empuk ketika menimpanya.
Jika dilihat dari dekat begini, Anna merasa seperti bertemu dengan Sehun Exo. Tapi dia bukan idol itu, melainkan bosnya, si Perfect Man.
Kira-kira, berapa lama ia memandangnya begini? Mungkin Logan mulai risih, sehingga tatapan sangar pria itu mengarah padanya. Anna terhenyak, lalu buru-buru beranjak dari tubuh pria itu dengan dibantu oleh si pria klimis.
"Anda tidak apa-apa, Nona?" tanya pria itu, yang merupakan sekretaris Logan.
"Ah!" Anna menoleh, masih dalam keadaan tercengang. "I ... iya. Saya baik-baik saja. Terima kasih."
Buru-buru Anna menyingkir ke sebelah kanannya, bahkan berdiri di pojok lift sambil memalingkan wajah. Bukan main malunya tadi. Belum diterima kerja, tapi sudah ada saja kejadian memalukan seperti ini.
Anna gelisah karena lift ini terasa lama mencapai lantai 5. Tak tahan bersama dengan calon bosnya, apalagi setelah insiden tadi. Anna hanya dapat menundukkan kepala sejak tadi, tidak sanggup menunjukkan wajahnya di depan pria itu.
Untungnya, lift sudah sampai di lantai lima. Begitu pintu lift terbuka, Anna bergegas keluar dengan langkah panjang dan cepat. Dan setelah ia jauh dari sana, ia menghela napas lega.
"Aduh, kalau orang itu merasa tersinggung dengan kelakuan aku tadi, bisa-bisa aku nggak jadi kerja di sini," gumam Anna sambil berjalan kembali. "Belum kerja aja udah ada aja masalah."
Sudahlah! Sekarang, bukan itu yang harus dipikirkannya. Ia harus buru-buru ke ruangan yang menjadi tempat wawancara. Untungnya, ia belum terlambat.
.
.
.
Anna keluar dari ruangan tempat wawancara sambil tersenyum. Pengumuman hasil wawancara kurang lebih 5 hari ke depan. Jadi, ia bisa mempersiapkan semuanya.
Sebelum pulang, ia ingin menemui Gita. Ia melihat gadis itu sedang berjalan menuju lift. Maka, dipercepat laju jalannya seraya berseru.
"Gita!"
Gadis yang dipanggilnya menoleh. Sementara menunggu Anna sampai, ia menekan tombol lift dulu.
"Bagaimana interview-nya?" tanya Gita, di tangannya menenteng sebuah berkas bermap merah.
"Lancar. Terima kasih banyak, ya," kata Anna, tersenyum lebar.
"Masih kecepatan bilang 'terima kasihnya'. Kalau udah diterima kerja, baru deh traktir," seloroh Gita, lalu tertawa. Gadis yang pernah satu kampus dengannya itu memang gadis yang suka bercanda. "Oh, iya! Kapan pengumumannya?"
"Lima hari lagi," jawab Anna sambil menekan tombol lift. Anna melihat sebuah map yang ada di tangan Gita, lalu ia bertanya, "Mau turun ke lantai berapa? Mau nganterin berkas?"
Gita menengok ke bawah. "Oh, iya. Ini berkas yang harus aku kasih ke tim desain produk. Tempatnya ada di lantai tiga."
"Ya, udah. Bareng, yuk! Aku mau langsung pulang," ajak Anna, apalagi pintu lift sudah terbuka.
Baru saja Gita akan melangkah masuk, ponselnya berbunyi. Sebelum ia mengangkatnya, ia berkata pada Anna. "Kamu turun duluan deh, aku masih ada urusan."
"Oh, oke." Anna pun akhirnya masuk ke dalam, menyaksikan Gita yang lari terburu-buru, kemudian lenyap di balik lorong.
Anna menekan tombol nomor 1 di dekat pintu lift, lalu pintu lift pun tertutup. Namun, tiba-tiba seorang pria berjas krem muncul, menghentikan pintu lift-nya tertutup.
Anna praktis terkejut. Pria itu lagi? Kurang dari sejam, ia sudah bertemu lagi dengannya. Karena terlalu malu untuk bertatap muka, ia langsung menundukkan kepalanya begitu pria itu masuk ke dalam lift.
Pintu lift tertutup. Penderitaan akan rasa malu dimulai. Diam-diam dan tanpa suara, Anna melangkah terus ke samping, sampai tak sadar telah terpojok.
"Aduh!" keluhnya, suaranya sangat pelan. Anna melirik ke arah Logan, cemas kalau-kalau pria itu melihat kekonyolannya itu.
Kekhawatirannya itu tidak terjadi, pria itu masih memandang lurus ke depan, tanpa menengok ke arah manapun. Pikir Anna, mungkin pria itu bahkan tidak menyadari kehadirannya.
Tapi tetap saja, ia merasa risi. Apa sebaiknya, Anna turun saja sekarang?
Anna melirik ke arah layar yang menunjukkan nomor lantai lift melintas. Ah, terlalu tanggung! Lift sedang berada di lantai 3. Apa yang harus dilakukan sekarang? Entah mengapa mulutnya gatal untuk menyapa calon bosnya itu.
"Selamat pagi, Pak." Anna sedikit membungkuk canggung saat mengatakannya.
Logan yang semula menatap lurus, menoleh sedikit hanya sekejab sambil membalas sapaannya sekedarnya saja. "Iya."
Dingin sekali. Dugaannya, pria itu bersikap begini pasti karena merasa kesal pada Anna karena kejadian tadi. Atau memang sikapnya seperti itu?
Anna memalingkan wajah, bergumam tanpa suara sambil memejamkan mata. "Aduh, bagaimana ini?"
Ya, sudah. Tak perlu bicara, anggap tak kenal. Tahan sebentar, lift akan turun ke lantai satu dalam waktu sekejab. Setelah itu, Anna keluar dari lift dengan jalan terbirit-birit.
Anna menghela napas dengan kencang, sesampainya ia di depan gedung. Oh, iya! Ia jadi teringat sesuatu, dan langsung mengambil ponselnya dari dalam tas untuk menghubungi seseorang.
"Halo, kamu di mana? Aku mau ketemuan sama kamu," ucapnya, dingin.
Anna berbicara di telepon sambil berjalan ke arah tempat parkir, sampai tak melihat dan menabrak seseorang. Ia terkejut, hampir saja ponselnya terjatuh karena pundaknya membentur lengan pria itu.
"Maaf, Mas," kata Anna, merasa bersalah ketika menatap pria itu.
Namun, alih-alih menjawab, pria itu malah terpana sambil tersenyum pada Anna. Gadis yang ditatapnya tentu saja bingung. Lalu, Anna melambai-lambaikan tangannya di depan pria itu.
"Halooo! Mas?"
Pria itu tersentak, lantas tersenyum setelah menyadarinya. "Maaf, saya jadi terpesona sama kamu," katanya kikuk.
Anna hanya menyeringai enggan. Gombal sekali pria ini!
"Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Mas," kata Anna.
Anna buru-buru meninggalkan pria itu, yang masih menatapnya sampai menghilang dari balik tembok menuju tempat parkir.
"Apa semua cowok-cowok di sini aneh-aneh?" gumam Anna. "Bosnya ganteng, tapi dingin banget kayak es—mana sadis, pula. Yang tadi itu, ganteng-ganteng mupeng." Anna bergidik seperti orang yang sedang menggigil.
Sementara itu, pria tadi berjalan ke dalam kantor. Seperti biasa, ingin bertemu dengan sahabatnya, yang merupakan presdir perusahaan ini.
Sifatnya yang ramah, selalu tersenyum, membalas atau bahkan menyapa orang-orang yang ditemuinya sambil berjalan di lobi gedung. Makanya, para karyawati memujanya.
"Selamat pagi, Pak," sapa salah satu karyawati yang sedang bersama dengan temannya.
"Pagi," balas pria itu.
Setelah kepergiannya, dua gadis itu melihatnya dengan histeris, begitu riang.
"Nggak presdir, nggak temennya, sama-sama ganteng," komentar karyawati yang berhijab, setengah berbisik.
"Iya," timpal temannya. "Mana masih sama-sama jomlo."
Itulah komentar yang sering terlontar dari para pegawai wanita pemuja ketampanan di kantor, entah kedua pria itu tahu atau tidak bahwa mereka sering dibicarakan.
Pria yang bernama Kenan itu akan menuju ruangan Logan. Tapi ternyata, pria itu malah ada di lantai bawah. Ia tersenyum dan menghampirinya.
"Wah, wah! Apa kau sengaja turun untuk menyambutku?" goda Kenan, tersenyum semringah.
Logan menghela napas jengkel. Tipe pria sepertinya malas berbasa-basi. Ia tahu, kedatangan Kenan pasti ingin menyampaikan sesuatu. Bisa terlihat dari tangan Kenan yang sedang membawa sebuah map merah.
"Sini berkasnya." Logan menegadahkan tangan.
"Oh, udah nggak sabar, ya? Okelah!" Kenan memberikan map itu kepada Logan seraya berseru, "Selamat! Tanah itu sudah jadi hak milikmu sekarang."
Logan tidak meresponsnya, hanya membaca berkas itu sambil berdiri di tengah-tengah lobi yang tampak ramai oleh pegawai yang sedang berlalu-lalang.
"Kerja bagus, Tuan Kenan Andara Efendi," pujinya. "Tidak salah telah memercayaimu selama bertahun-tahun."
"Woah, Tuan Angsana. Pujian berlebihan ini ... apa kau lagi senang?" goda Kenan, pura-pura mencurigainya. "Aku dengar, para karyawan pabrik sabun di Pekalongan berdemo di depan kantor."
Logan menghela napas panjang. "Ya, tapi sudah selesai. Aku rasa, mereka tidak akan tinggal diam setelah ini. Ancaman membom pabrik tidak akan mempan lagi," kata Logan sembari kembali melangkah.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"
Tatapan mata Logan mendadak dingin dan misterius, kemudian menoleh pada Kenan yang tampak penasaran dengan isi pikirannya. "Tinggal tunggu bom itu meledak."
🍀
Pukul 11 pagi, Pasar Tanah Abang sudah mulai agak ramai. Anna mampir ke toko yang dikelola Adam karena sudah janjian untuk ketemu. Saat ia sampai di tokonya, ia melihat Adam dan karyawannya sedang memajang gamis.
Anna hanya berdiri, membiarkan Adam selesai memajang. Kebetulan, pria itu menyadarinya kehadirannya tak lama kemudian. Pria itu tersenyum dan menyapa:
"Hai, Anna. Sebentar, ya, aku selesaikan ini dulu."
Anna tersenyum dingin. Terserah, mau lama, mau sebentar, yang penting ia harus menyelesaikan masalah ini dengan pria itu. SEGERA!
Sebuah gamis berwarna coklat susu sudah terpajang, dan Adam pun turun, lalu menghampiri Anna yang sedang duduk di sebuah kursi yang ada di dekat toko itu.
"Anna, aku udah selesai. Oh, iya. Kamu mau baju? Pilih deh! Nggak usah bayar."
Anna melemparkan tatapan maut super dingin ke arahnya. Praktis, pria itu bergidik dan salah tingkah. Apa pria itu pikir, kedatangannya adalah untuk mendengar basa-basinya yang sudah basi?
Lalu, Anna beranjak dari kursi dan berkata dengan menahan rasa geramnya. "Bukannya aku sudah mengatakannya di telepon, maksud dari kedatangan aku ke sini?"
Adam terhenyak, bahkan tak sanggup menatap Anna. Apa Anna segarang itu, sampai ia ketakutan begitu?
"Ah, iya. Bagaimana kalau kita ngobrolnya di tempat lain?"
Anna mengulurkan tangan, menyuruh pria itu berjalan duluan untuk menunjukkan arah tempat yang dimaksud.
Adam mengajaknya ke sebuah warung makan, tapi yang dipesan oleh Anna hanya es teh manis meski Adam bersusah payah memaksanya untuk memesan makanan.
"Ada apa, ya, Anna?" tanya Adam agak sedikit kikuk, merasa terintimidasi oleh tatapan dingin Anna.
Anna terdiam beberapa saat, lalu tertawa kecil, yang justru tampak aneh di mata Adam. "Kenapa ketakutan gitu? Aku nggak makan orang kok."
Adam terkekeh ragu. Rasanya, Anna seperti ingin menelannya hidup-hidup lewat pesonanya itu.
"Mas Adam," ucap Anna lembut sambil memajukan tubuhnya. Lagi, tatapan dingin menusuk ditunjukkannya seraya berkata, "Cowok-cowok yang dijodohin ke saya semuanya saya tes. Tidak ada yang lulus semua karena mereka tidak ada yang tulus sama saya. Mereka hanya menyukai kecantikan saya, bukan apa adanya saya."
"Tes apa?" tanya Adam, alisnya meninggi sebelah.
Anna tersenyum sinis, tangannya memangku dagu. "Tes ketulusan. Mas masih ingat, nggak? Saya pernah bilang kalau saya sudah tidak perawan?"
Adam mengangguk ragu. Selang sedetik kemudian ia mendelik, menyadari sesuatu. "Apa tes kelulusan yang kamu maksud adalah 'itu'?"
Anna mengangguk, mengacungkan jari telunjuknya sambil berseru, "Nah, itu tahu! Saya memberitahukan mereka soal tes ini, setelah mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan perjodohan."
Adam tampak tak senang, dalam kebingungan sesaat. "Kenapa kamu lakukan itu?"
"Tersinggung?" sahut Anna, mencemooh. "Tapi saya tidak mau minta maaf. Karena, Mas membuat nama keluarga saya tercemar di depan keluarga Mas," katanya penuh penekanan.
"Ya ... saya nggak tahu," jawab Adam, membela diri, menaikkan kedua bahunya. "Habisnya, ibu saya menanyakan alasan saya membatalkan perjodohan kita."
Masih nggak mau mengaku? Anna mendengus, menggebrak meja agak pelan dengan kepalan tangannya yang sangat kuat.
"Mas," ucap Anna dengan geram tertahan. "Mau tau bagaimana penilaian saya tentang Mas?"
Adam hanya diam, tegang menunggu jawaban.
"Mas itu cuma cowok munafik, yang nggak pantas mendapatkan cewek serajin saya!"
Adam tercengang, matanya mendelik. Anna menyeruput teh manis esnya sampai setengah gelas, lalu meraih tasnya dan beranjak dari tempat itu.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments