Anna tersenyum menuju mobilnya sambil menenteng kantong plastik putih berisi makanan.
Sukses besar! Berhasil lagi mengagalkan perjodohan yang dilakukan mama dan tantenya. Entah sudah berapa kali mereka berusaha mengenalkannya dengan pria bodoh yang tak bisa diandalkan sebagai suami. Dan Adam adalah pria paling payah, dari sekian pria yang dijodohkan untuknya.
Ponselnya berbunyi, ia tertegun. Nama yang tertera di layar membuat hatinya semakin senang. "Ranti?" gumamnya, tersenyum riang. Lalu, ia mengangkat teleponnya. "Halo, Ranti?"
"Halo, An," sahut seorang wanita di seberang sana. Kemudian, terdengar suara bayi yang sedang menangis.
"Dito bangun tuh!" seru Anna, "Ladenin dulu deh!"
"Sebentar-sebentar. Jangan ditutup dulu," kata Ranti buru-buru, sepertinya meletakkan ponselnya dulu, baru menghampiri anaknya.
Sementara itu, Anna berjalan menuju mobilnya terparkir. Tatapan seorang pria membuatnya risi. Pasti karena gaun ketat yang dipakainya, makanya pria itu tergoda. Uh, dasar mesum!
Kini, Anna sudah sampai di depan mobil dan akan membuka pintunya. Lalu, terdengar sahutan dari Ranti.
"Halo, An. Kamu lagi di mana?"
"Kencan buta di resto," jawab Anna, agak berbisik sambil duduk di kursi pengemudi.
"Dijodohin lagi?" tanya Ranti sedikit agak berseru. "Nggak ada bosen-bosennya, ya, tante sama mama kamu?
"Ya, gitu deh," timpal Anna santai. "Tahu sendiri, mama pengin aku cepat-cepat menikah."
"Terus, gimana?" tanya Ranti, terdengar antusias jika mendengar cerita kencan buta sahabatnya itu. "Cocok nggak sama kamu?"
"Nggak," sahut Anna cepat. Dan sebelum Ranti bertanya soal hal umum, ia lebih dulu menjawab, "Kalau dibilang tampan, nggak. Tapi dia lumayan mapan. Mama aku bilang, dia punya 3 toko di Pasar Tanah Abang."
"Seriusan?" seru Ranti. "Wah, kamu bakal jadi tajir mendadak nih?"
Anna terkekeh sembari menghidupkan mesin mobil. "Berlebihan deh! Tapi, Ran. Sayangnya, dia nggak lulus tes."
Tes? Awalnya Ranti mengernyit bingung, tapi kini ia mulai mengerti. Apalagi, setelah mengingat sesuatu. "Oh. Pantes tadi waktu aku telepon, kamu panggil aku 'pak'. Jadi, kamu sedang menjahili dia?" ujarnya agak berseru, kemudian tertawa kecil.
"Yap!" sahut Anna riang. "Dan aku berhasil! Mentalnya payah banget."
"Aduh, ada-ada saja kerjaan kamu. Mama kamu bakal marah lagi nanti," tegur Ranti, mulai ribut lagi ala ibu-ibu komplek.
Anna terkekeh. "Kamu nggak usah khawatirin aku. Urusin aja baby Dito. Soal mama aku, gampang lah cara memadamkan amarahnya."
Ranti hanya bisa menghela napas. Susah memang ngomongin cewek yang hidupnya "semau gue". Apa dia tidak ingat umur? Mau sampai kapan melajang, Sis?
"Eh, ngomong-ngomong. Kamu masih di resto?" Capek menasihati Anna yang tidak akan didengarnya, jadinya Ranti mengalihkan topik.
"Lagi di mobil," jawab Anna. "Nggak bagus kan kalau naik mobil sambil menelepon?"
Walau begitu, Ranti suka dengan sifat bijak Anna yang datangnya kadang-kadang.
"Ya, udah. Nanti aja telepon aku lagi. Mending kamu pulang deh!." sarannya.
"Siap!" Anna menyahuti, lalu menyudahi berteleponan ria dengan ibu muda beranak satu itu.
Akan tetapi, naru saja ia akan menghidupkan mesim mobil, ponselnya berdering lagi. Ia berdecak. "Siapa sih yang telepon?"
Setelah melihat nama adik perempuannya yang tertera di layar, diangkatnya telepon itu. "Iya. Ada apa, Sya?"
"Kak, ini aku Adnan."
Anna mengernyit heran, lalu melihat layar ponselnya. "Mana kakak kamu? Kok kamu yang angkat?"
Bocah itu terkekeh. "Emang aku yang telepon. Habisnya, kakak nggak pernah angkat telepon dari aku."
Ih! Malas juga Anna mengangkat telepon darinya. Soalnya, adik bungsunya itu suka minta yang macam-macam padanya.
"Dan sekarang, aku juga akan tutup teleponnya—"
"Eh ... jangan dong, Kak!" sahut Adnan cepat. "Ini penting nih."
Anna menghela napas, menyerah. "Ya, udah cepetan mau ngomong apa?"
"Kakak masih di resto MC?"
"Iya, kenapa emang?"
"Beliin aku chicken sandwich itu dong?" pinta Adnan memelas.
Sudah Anna duga! Menjengkelkan sekali nih anak! "Aku udah bungkusin beef burger double cheese nih," decak Anna.
"Iih, tapi aku maunya yang itu. Burger-nya buat kak Tasya aja." Adnan bersikeras. "Ayolah, Kak. Beliin, ya. Kakak cantik, baik, nggak pelit lagi. Pokoknya, Kak Anna paling best deh!"
Kalau sudah maunya aja, keluar deh jurus maut basi yang sudah tidak mempan lagi bagi kakak-kakaknya. Adnan ini pasti susah dibujuk, tapi malah orang lain yang dia bujuk untuk menuruti keinginannya. Dasar!
"Anak siapa sih kamu?" Anna menggerutu pelan. "Iya deh, kakak beliin." Yah, dengan terpaksa ia mengatakan hal itu.
Sorak riang mengakhiri telepon itu. Anna keluar dari mobil dengan sedikit kesal, yang akhirnya kalah karena rasa sayang ke adik bungsunya itu.
Terpaksa balik lagi ke sana hanya untuk membeli makanan pesanan adiknya. Namun, baru saja ia akan menyentuh gagang pintu, seorang pria membuka pintu restoran dari dalam. Ia terkejut sekejab, lalu bergeser ketika pria berbadan tinggi itu melintas di depannya.
Anna menoleh sebentar pada pria itu, kemudian masuk ke dalam restoran. Kemudian, tiba-tiba ia berpapasan dengan seorang wanita yang sedang berseru memanggil seseorang sambil terisak. Tanpa bisa dihindari, ia bertabrakan dengan gadis itu.
Gadis itu terkejut, lalu berkata sambil menundukkan kepala, "Eh, maaf."
"I ... iya. Nggak apa-apa kok," balas Anna, kikuk.
Setelah itu, gadis tadi berlari keluar. Mungkin, mengejar pria itu? Pasalnya, Anna melihat raut wajah pria tadi dalam keadaan marah. Sepertinya, mereka sedang bertengkar.
Begini nih, hal yang tidak disukai oleh Anna dalam berpacaran. Bertengkar memang biasa. Tapi kalau sama pasangan yang ribet dan egois, cuma capek hati, stress, dan lainnya. Makanya, menurutnya enaknya menjomblo.
Entah, berapa lama ia berdiri di sana sambil bergumam sendiri di dalam hati dan menatap pasangan itu lenyap dari pandangan. Lalu tiba-tiba, Anna terkesiap. "Eh, kenapa malah ngurusin orang sih?" gerutunya.
Ia akan kembali melangkah, tetapi tak sengaja ia menoleh ke bawah dan menemukan sesuatu. Iapun jongkok, mengulurkan tangan untuk mengambil benda itu, yang ternyata adalah sebuah kalung emas putih liontin batu rubi berbentuk hati.
"Punya siapa ini ...?" Kemudian, ia mendelik. "Jangan-jangan punya mbak yang tadi?"
Anna bergegas berlari keluar, berharap menemukan perempuan yang menabraknya tadi. Bagaimanapun juga, ia harus mengembalikan benda ini. Namun, sia-sia, wanita itu tidak ada di manapun setelah ia mencari di sekitar restoran.
Anna menatap kalung itu, berpikir sejenak. "Apa aku laporkan aja manager restoran, ya? Siapa tahu, si pemilik kalung mencarinya."
Hal yang seharusnya memang ia lakukan. Tanpa buang waktu, ia kembali ke restoran. Lantas, ia menghampiri salah satu pelayan yang sedang membersihkan meja bekas pengunjung yang makan.
"Maaf, Mbak. Boleh saya bertemu dengan manager restoran ini?" ujar Anna, begitu sopan.
"Memangnya, ada keperluan apa, ya, Mbak?" tanya si pelayan, yang berhenti sejenak dari pekerjaannya.
"Em ... begini. Saya ada keperluan dengan beliau. Apa bisa saya bertemu dengannya?"
Pelayan itu tak perlu banyak berpikir ataupun pengin tahu soal urusan yang dimaksud Anna. Maka, ia mengijinkan, lalu membawa Anna ke ruangan manager sambil membawa nampan kotor.
Di ruangan itu, Anna bertatap muka dengan seorang wanita berperawakan kurus dan kecil, memakai seragam rapi layaknya pegawai kantoran. Senyuman menyambut kedatangan Anna, dia berdiri, lantas mempersilakan dia duduk dengan sopan.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya wanita itu. Anna hampir saja berburuk sangka padanya karena menilai wanita itu tidak ramah jika dilihat dari rupanya.
"Begini, Bu. Nama saya, Anna. Saya menemukan kalung ini di depan pintu masuk," kata Anna, meletakkan kalung temuannya di atas meja.
Wanita itu mengambilnya dan memperhatikannya, sementara Anna menjelaskan. "Saya rasa, pemiliknya itu adalah wanita yang menabrak saya di pintu masuk. Tapi sewaktu saya ingin mengembalikannya, dia sudah tidak ada. Jadi, kalau pemilik ini mencarinya, tolong hubungi saya."
"Em ... baiklah, saya mengerti," kata wanita itu sambil menganggukkan kepala.
"Dan ini." Anna mengeluarkan sebuah kartu nama dari sebuah dompet kecil berwarna biru muda, yang kemudian diberikan pada wanita itu. "Kartu nama saya. Ada nomor handphone saya di sana."
Tanpa banyak tanya, manager tadi menerima kartu nama itu. Urusan sudah selesai, Anna pun beranjak dari kursi dan berpamitan dengan wanita itu. Namun, ia tak langsung pulang karena harus membeli pesanan Adnan dulu.
🍀
"Wah," kata Tasya, terpesona melihat kalung yang Anna temukan. Lalu, gadis itu menoleh pada kakaknya, dan bertanya, "Pasti kalungnya mahal?"
Anna menaikkan kedua bahunya. "Kayaknya, sih," jawabnya sangsi. "Makanya, kalungnya aku yang simpan. Takutnya, mereka malah menjual kalungnya."
"Hem ... segitu skeptisnya kakak sama orang?" komentar Tasya sambil memangku bantal guling yang tadi diraihnya.
"Di jaman sekarang ini, sulit bisa percaya sama orang," timpal Anna.
"Jadi, Kakak nggak pernah percaya sama aku dong?" sahut Tasya, niatnya cuma mau jahil.
"Itu lain cerita, Sya."
Tasya mengangguk, puas dengan jawaban Anna. "Terus, mau Kakak apakan tuh kalung, kalau pemiliknya nggak nyariin?"
Anna memandang kalung yang ada di dalam genggamannya, termenung mencari jawaban. Lalu, ia berucap lirih, "Nggak tahu deh. Mungkin mau aku gadaikan buat beli HP baru."
"Yeeee!" seru Tasya sambil menepuk pelan lengan Anna. "Punya orang tauk!"
"Biarin. Kan kata kamu kalo orangnya nggak nyariin."
"Ya ... kalo ini kalung emas putih benaran. Kalau imitasi, gimana?"
"Ya, aku pake dong," sahut Anna, jail.
.
.
.
Anna tiduran di kamar, termenung sambil menatap laman e-mail yang kosong oleh pesan baru.
"Apa aku ditolak, ya?" gumam Anna kecewa, lalu menghela napas dan meletakkan ponselnya di ranjang.
Disandarkan kepalanya di atas bantal, tubuhnya dalam posisi tengkurap, lalu kemudian termenung memikirkan sesuatu.
Sudah sepuluh hari di Jakarta, menganggur, jadi kaum rebahan—" Ia terhenyak, lalu sekonyong-konyong beranjak dari pembaringan. "Oh, iya. Kalung!"
Anna memeriksa ponselnya, mencari pesan atau telepon masuk yang tak disadarinya seharian ini.
Nihil. Hanya telepon dari nomer yang ada di kontaknya, dan pesan yang kebanyakan dikirim oleh operator.
"Nggak ada. Apa orang itu nggak nyariin?" gumamnya menduga. "Atau jangan-jangan, ini kalung palsu?"
Selang sedetik kemudian, sebuah notifikasi masuk. Sebuah e-mail!
Anna langsung menyambar ponselnya, dengan riang dan penuh harap, membuka pesan itu. Benar, dari perusahaan yang ia ajukan lamarannya sebelum ia kembali dari Singapura.
Dibacanya pesan itu. Lama-lama, senyumnya terkembang lebar. "Yes! Aku diterima kerja!" serunya senang.
Kemudian, ia mendengar suara gaduh seperti teriakan dari lantai bawah. "Anna! Anna! Turun! Mama mau ngomong!"
Ia mengernyit dan bergumam, "Mama ngapain panggil-panggil aku?"
Anna menghampiri pintu, hendak turun ke bawah. Namun, baru akan membukanya, tiba-tiba pintunya diketuk. Lantas, ia membuka pintu, dan muncullah Tasya yang ekspresinya tampak cemas.
"Kenapa kamu, Sya?" tanya Anna, mengernyit heran.
"Kak, gawat! Mama marah besar sama Kakak," kata Tasya setengah berbisik, terlihat bergidik ngeri.
Anna termenung, cemas. Bakal kena omel lagi kayaknya.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments