Marvel berjalan masuk ke dalam rumahnya. Sedikit malas jika saja sang asisten mamanya tidak menghubunginya. Memintanya untuk pulang karena mamanya sedang sakit.
"Kali ini drama apa yang akan mamaku buat" Gumam Marvel. Mengingat sang mama adalah seorang drama queen. Pintar sekali berakting. Terakhir kali Marvel hampir dibuat jantungan ketika mamanya mengatakan sedang ada di UGD. Pria 27 tahun dibuat tidak bisa berkata-kata ketika sampai di UGD. Sang mama tidak apa-apa. Dengan santainya berkata dia di sini sedang menjenguk mama temannya yang kecelakaan. Ingin sekali Marvel menukar tambah mamanya itu. Saking gemas dengan tingkah wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Tahu pulang juga kamu" Sebuah suara menyambut Marvel begitu dia masuk ke ruang tengah rumahnya.
"Aku hanya ingin menjenguk Mama" Marvel menjawab singkat. Lalu naik ke lantai dua. Di mana kamar orang tuanya berada. Hubungan Marvel dan papanya kurang baik sejak dulu. Keduanya sering bertengkar.
Berawal dari ketidaksetujuan sang papa kalau dirinya masuk dunia entertainment. Keduanya terus saja cekcok sampai sekarang. Papa Marvel sangat otoriter. Hal itu yang membuat Marvel dan kakaknya banyak berdebat dengan papa mereka. Sampai puncaknya ketika sebuah kejadian terjadi membuat sang kakak, Marvin lebih memilih pergi ke luar negeri. Meninggalkan dirinya dan sang Mama dalam kesedihan yang mendalam.
"Halo Mamaku sayang" Marvel mencium pipi Mamanya yang memang terasa panas. Wah, jadi ini sakit beneran. Nggak akting.
"Kamu pulang, Marvel?" Mama Marvel terlihat pucat. Juga lemas. Jelas jika sang mama memang tengah tidak sehat.
"Pulanglah, drama queen memanggil bagaimana Marvel tidak pulang" Marvel menjawab lalu naik ke kasur mamanya. Ikut tidur di sana.
"Bahasamu itu lo. Sudah bertemu Papa?"
"Si Hitler?"
"Husshhh, dia itu Papamu" Sang Mama menjitak kepala putra tengahnya itu. Mendengar pembelaan mamanya pada sang papa. Marvel hanya memutar matanya malas.
"Marvel..."
"Stop...biarkan Marvel tidur. Marvel capek habis konser" Marvel menghentikan perkataan sang mama. Memeluk tubuh wanita itu lalu mulai terlelap.
"Makanya nikah. Biar ada yang ngelonin"
"Mama pikir nikah mudah, kayak mau nonton konser. Tinggal berangkat, beli tiket. Sudah"
"Siapa bilang nonton konser gampang. Mau nonton konsermu aja pakai war, perang rebutan tiket" Gerutu Risa, sang mama.
Tidak ada jawaban. Risa tersenyum. Lalu mengusap lembut punggung kekar sang putra. Sebenarnya dia merindukan putra sulungnya. Tapi tidak bisa menemuinya. Sang suami, Bram. Melarang keras mereka untuk menemui Marvin. Kecuali Marvin sendiri yang pulang.
"Mama rindu kamu, Vin"
Tanpa terasa air mata wanita itu turun di pipinya yang masih mulus di usianya yang tak lagi muda. Marvel menahan laju air matanya yang juga akan pecah di pelupuk matanya. Mendengar luahan hati sang mama.
"Marvel juga rindu kak Marvin" Marvel membatin. Bagi Marvel, Marvinlah yang selalu menjadi penyemangat hidupnya. Kakaknya itu selalu membela dirinya saat berdebat dengan papanya.
"Kapan kau akan berhenti main-main?" Bram bertanya ketika Marvel akan melangkah pergi. Setelah sesi makan pagi yang mencekam. Melebihi horornya kuburan.
"Marvel kerja, bukan main-main" Jawab Marvel pedas.
"Bagi Papa kau sedang main-main. Melakukan hal yang tidak berguna"
"Yang Papa bilang tidak berguna itu membuatku terus hidup di luar sana"
"Marvel!"
"Hidupku akan kutata ulang jika kak Marvin pulang. Selama itu belum terjadi, aku akan tetap seperti ini. Oh, dan satu lagi. Jangan mengacaukan pekerjaanku!" Marvel menekan ucapannya. Sebab dia tahu, sang papa sering berulah dengan dirinya dan pekerjaannya.
Bram mendengus geram. Melihat Marvel yang berjalan keluar dari rumahnya. Disusul seorang gadis yang masih memakai seragam SMA berlari menyusul Marvel.
"Kakak...Vita nebeng!" Teriak gadis itu.
****
"Aku harus memberitahumu. Kalau Marvel sedikit nakal" Frans mulai melimpahkan beberapa tanggung jawabnya pada Kia. Gadis itu sedikit mengerutkan dahinya. Mendengar ucapan Frans.
"Nakal bagaimana maksudnya?"
"Maksudku bukan nakal yang negatif. Tapi dia suka sekali berulah. Suka mengerjai orang. Jahil, tengil. Ya seperti itulah" Kia ber-ooo ria mendengar penjelasan Frans. Pria berusia tiga puluhan itu sedikit terkejut. Ketika mengetahui Kia belum pernah bertemu Marvel secara langsung.
"Bukannya kau pergi ke fansign dan konser Marvel. Bagian ticketing memberitahuku ketika aku mengecek penjualan tiket.
"Aku mengantarkan Airin. Dia tu yang senang sekarang. Bisa ketemu idolanya tiap hari"
"Tunggu saja sampai dia berubah jadi illfeel kalau sudah bertemu Marvel" Kekeh Frans.
Kia kembali mengerutkan dahinya. Dia pikir apa hari-hari nyamannya sudah berakhir. Sebab selama hampir tiga tahun menjadi manager artis. Semua artisnya adalah tipe penurut. Tidak banyak tingkah. Karena itu banyak dari mereka yang sukses dibawah asuhan Kia. Sebab Kia benar-benar handal dalam mengarahkan anak asuhnya.
"Memang dia separah itu?" Kia akhirnya penasaran juga.
"Kau lihatlah nanti. Dia sedang otewe kemari"
Bersamaan dengan itu, suara riuh terdengar di luar ruangan Kia. Menatap ke arah Frans yang seolah mengkodenya dengan ucapan "si biang kerok datang". Jika saja Marvel bukan artis kesayangan agensi. Frans berpikir, mungkin agensi tidak akan memberikan banyak kelonggaran pada Marvel.
"Mana dia? Katanya minta bertemu" Marvel bertanya angkuh pada Frans. Memang seperti inilah sifat Marvel sebenarnya. Angkuh, dingin. Tapi karena tuntutan profesi. Pria itu harus sedikit berakting ramah pada semua orang.
"Sebentar, pak Simon minta bertemu. Katanya Stacy protes. Managernya kau ambil"
"Cihhh, aku tidak mengambilnya. Kalian saja yang memberikannya padaku" Lagi ucapan Marvel membuat Frans menggelengkan kepalanya. Frans hanya bisa menghela nafasnya. Melihat Marvel duduk di kursi Kia. Sedikit menatap penuh selidik ke meja kerja manager barunya.
"Dia perempuan?" Marvel bertanya. Setelah melihat foto Kia dan kakaknya di dekat laptop milik Kia.
"Namanya saja Sakia. Pasti perempuan. Kau ini bagaimana?" Gerutu Frans. Yang masih memeriksa berkas milik Marvel.
"Asli apa turunan?"
"Pertanyaanmu semakin tidak jelas saja. Ya, aslilah. Turunan dari mananya"
"Siapa tahu dia transgender. Mana kita tahu"
Frans menggelengkan kepalanya mendengar perkataan tidak masuk akal dari mantan artisnya itu. Merasa bosan, Marvel memutar kursinya,menatap pemandangan jalan raya dari jendela ruang kerja Kia. Sejenak mengingat permintaan sang Mama semalam.
"Carikan Mama mantu ya"
Fix, ini mamanya mulai terpengaruh geng sosialitanya. Yang kalau bertemu pasti ngobrolin hal yang unfaedah. Termasuk menantu masing-masing. Mama pikir cari istri kayak beli pulsa di konter apa. Gerutu Marvel. Hingga suara pintu yang dibuka membuyarkan lamunannya
"Aduuhh sorry lama. Harus bujuk Stacy dulu" Suara merdu Kia membuat Marvel tertarik. Seperti apa sih rupa manager barunya.
"Tidak masalah. Dia free hari ini"
"Dia?" Kia mengikuti arah pandang Frans ke arah kursi kerjanya. Yang perlahan menunjukkan siapa yang tengah duduk disana.
"Dia?" Marvel mengembangkan senyumnya. Melihat wajah cantik Kia. Dia pikir kenapa juga hidupnya jadi seberuntung ini. Dia sejak kemarin ingin menyuruh Frans untuk mencari Kia. Nonton konser tapi sama sekali tidak melihat ke stage. Sama sekali tidak menganggapnya ada.
"Dia adalah..."
"Marvel Gerald Agastya. Artis barumu" Kia menatap tajam pada wajah tampan Marvel yang balik menatapnya tajam. Pria itu mengusap lembut dagunya.
"Aku pikir harus mencarimu dulu. Tidak tahunya kau sendiri yang datang padaku. Apakah kita berjodoh?"
Batin Marvel menatap penuh rasa ketertarikan pada Kia. Berbanding terbalik dengan Kia. Gadis itu menatap penuh kebencian pada Marvel.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments