Ch 5: Kota Aksara

Setelah keluar dari hutan lebat berpohon raksasa, pada akhirnya kami tiba di kota Aksara tepat saat matahari tegak lurus di atas kepala.

Kota Aksara, merupakan ibu kota dari kerajaan Humaniora, kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja manusia. Dahulunya kerajaan Humaniora merupakan kerajaan yang memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi terhadap kekaisaran Yang Maha. Bahkan sampai akhir kehancuran kekaisaran, kerajaan Humaniora tetap berada di baris paling depan.

Ketika keruntuhan kekaisaran terjadi, kerajaan Humaniora merupakan salah satu dari tiga kerajaan yang tetap setia dan coba mempertahankan keberadaan kekaisaran. Namun kemudian dengan ikut menghilangnya Tujuh Bintang yang merupakan pilar terakhir kekaisaran, kerajaan Humaniora bersama tiga kerajaan setia lainnya setelah itu ikut menyatakan kemerdekaan seperti kerajaan-kerajaan lain yang telah terlebih dahulu melakukannya.

Kota Aksara sangat ramai dan indah dengan bangunan-bangunan megah berdiri melambangkan keperkasaannya. Jalan-jalan dipenuhi orang-orang dengan berbagai rutinitas. Manusia, Iblis, Malaikat, Vampir, Elf, Kurcaci, Dedemit dan ras-ras lainnya hidup berdampingan sebagaimana mestinya mahluk sosial di kota tersebut.

Di tengah ramai kota para pedagang ramah menawarkan barang dagangannya, dari buah-buahan, tembikar hingga kain tenunan. Anak-anak berlari dan bermain dengan bebas, beberapa perempuan paruh baya tertawa dalam obrolan mereka. Seorang badut tampak berkeliling menghibur orang-orang. Dan penyair jalanan membacakan sajak-sajak cinta penuh penghayatan.

Kota yang hiruk pikuk ramai penuh kebahagiaan. Hanya suara sepatu kuda dan derak roda kereta melintas lambat di antara keramaian, bukan deru mesin yang mencemari udara dan suara klakson yang bikin bising telinga. Aku yang selalu memandang kota sebagai ruang yang suram dan kejam, hanya tersenyum menyaksikan itu semua, betapa damainya.

Pajak yang rendah dan jaminan kesehatan membuat kota Aksara terus didatangi para imigran. Dengan demikian kota Aksara tumbuh menjadi salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di Alam Baka. Sebuah kota yang menyenangkan dan ramah. Begitulah kesan pertamaku pada kota itu.

Saat tiba di pusat kota, kami segera memasuki sebuah restoran yang menebarkan aroma menggoda. Karena tak tahan lagi dengan panggilan perut, aku segera menuju meja kosong dan memesan makanan. Seekor kambing bakar guling dengan bumbu pedas yang menggugah selera. Seorang pelayan ramah dan sigap dengan pekerjaannya.

Sejenak kemudian aku sadari tujuh orang pengawal Yang Maha atau Tujuh Bintang itu berdiri layaknya penjaga di sisi kiri dan kananku. Hal itu menimbulkan perhatian dari orang-orang dan membuatku merasa tak nyaman.

“Tidak kah kalian lapar?” Tanyaku segera pada mereka.

“Tidak tuan” Jawab Lucia dengan penuh hormat sebelum kemudian terdengar suara ‘kriuk’ dari perutnya yang ramping. “Maafkan hamba…” ucapnya pelan kemudian sembari malu-malu, wajahnya merona.

“Duduk lah, mari makan bersama” Pintaku ramah pada ke tujuh orang itu. Dan dengan segera mereka memenuhi kursi tersisa. Ketika seekor kambing guling terhidang di meja, kami pun makan dengan lahapnya. Jelas mereka juga kelaparan, pikirku. Dan tak menunggu lama, seekor kambing bakar guling itu pun hanya tersisa tulangnya saja.

Setelah merasa kenyang, Paman Januar bersendawa panjang sebelum kemudian mulai bicara “Setelah ini, apa yang akan kita lakukan tuan?”

Lalu ketujuh orang itu menatapku dengan serius, seolah aku harus menyampaikan sesuatu yang penting. Sejenak aku diam seolah sedang memikirkan sesuatu, yang justru merubah atmosfer di antara kami jadi tegang dan berat. Memangnya aku harus mengatakan apa? Pikirku.

“Ah… ya, tolong berhenti memanggilku dengan sebutan ‘Tuan’” Ucapku kemudian karena hal tersebut membuat aku merasa sangat tidak nyaman, terutama dipanggil dengan sebutan ‘tuan’ seperti itu membuatku merasa terbebani, seolah ada beban yang mesti aku pikul sendiri.

“Tapi tuan, tuan adalah yang Ma..” Sebelum Lewang menyelesaikan kalimatnya aku segera dengan cepat menyanggah.

“Tidak, bukankah kekaisaran telah runtuh?”

“Meski demikian bagi kami anda tetaplah tuan kami” Ana menimpali dengan lembut.

“Bagaimana jika… hem..” Aku sebentar berpikir, apa kah yang akan aku katakan dapat mereka terima dengan cara yang wajar.

“Jika apa tuan?” Tanya Lewang tampak penasaran.

“Jika, jika sejak saat ini kalian bukan.. hem”

“Bukan?”

“Bukan pengawalku lagi?” Aku menyampaikannya dengan khawatir.

Saat itu juga, ketika mendengar apa yang baru saja aku katakan tiba-tiba Lewang berdiri dan lalu menggebrak meja “Sumpah setia dengan darah hanya akan hilang dengan kamatian, maka bunuh lah hamba!” ia penuh emosi.

Tentu saja sikap itu membuatku seketika merasa tegang dan tentu juga akan menarik perhatian orang-orang di sekitar. Terlebih ketika Lewang tiba-tiba bersujud di lantai dan diikuti ke enam orang lainnya “Silakan tuan bunuh kami” mereka serentak bicara.

Seperti yang aku duga, mereka bukan orang-orang dengan sikap yang normal, sial.

Dengan cepat aku turun dari kursi dan berjongkok di lantai menghadap mereka, kemudian dengan suara berbisik meminta mereka untuk menghentikan tingkahnya “Hei hei, ini memalukan, cepat berdiri dan kita segera keluar dari tempat ini”.

“Tapi tuan…” Lucia membalas juga dengan suara berbisik.

“Ini perintah!” Kemudian aku menegaskan tetap dengan suara berbisik “Segera”.

Setelah itu segera ke tujuh orang itu kembali berdiri lalu membungkuk memberi hormat dan sekali lagi serentak bicara “Maafkan kami tuan…”.

“Ya ya ya, ayo kita pergi” Pintaku tergesa.

Rasanya seolah semua mata yang ada di sana sedang menatap kami, bahkan semua mata itu seolah mengikuti setiap langkah kaki kami ketika melangkah menuju keluar dari restoran tersebut.

Tapi tepat sebelum kami keluar dari pintu tiba-tiba seorang pelayan perempuan dari ras Iblis menghadang kami “Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, harap bayar dulu sebelum pergi” katanya kemudian dengan senyuman.

“Ah, kami lupa” Jelasku pada pelayan perempuan Iblis itu sembari melihat ke belakang, ke arah ke tujuh pengawalku itu berharap salah satu dari mereka segera membayarnya. Yang kemudian terjadi mereka justru menatap balik padaku dalam bisu sebelum kemudian saling pandang di antara mereka.

“Kalian tidak punya uang?” Tanyaku penasaran. Lalu masing-masing dari mereka menggeleng tetap dalam kebisuan. “Ah, memang sialan”

Setelahnya, kami jadi pelayan dan pencuci piring tanpa bayaran.

***

Di pusat kota Aksara terdapat sebuah taman dengan kolam air mancur. Ketika hari memasuki sore pasangan kekasih berbagi kemesraan, beberapa tampak bergenggaman tangan, beberapa lagi saling berciuman. Para jomblo meringis sembari mencoba keberuntungan. Angsa jantan menunggu betinanya sembari berenang. Seorang anak perempuan Elf penjual keripik menawarkan dagangan pada para pejalan. Seekor anjing belang hitam putih menjilati bulu-bulunya sendiri dan bunga-bunga mekar warna-warni tertata rapi di tiap ruang taman.

Di sudut jalan seorang Malaikat cantik berdiri memainkan harpa di tangannya dengan lembut mencipatkan nada-nada merdu menghanyutkan, membuat perhatian orang-orang tertuju padanya. Tepat di sebelahnya berdiri pula seorang kurcaci tua dengan jenggot putih kusut dikepang pada bagian kiri dan kanan sembari memaksakan senyuman kaku di wajahnya. Di tangan Kurcaci tua itu sebuah jubah hitam milik seorang vampir dibuat terlipat menyerupai kantong sebagai penampung uang.

Dua orang itu adalah Ana dan Paman Januar. Dua orang yang kalah dalam hompipa, terpaksa mengamen untuk mendapatkan uang. Sementara aku, Tora, Lucia, Lewang, Putri dan Rimba menunggu tak jauh dari sana.

“Ini memalukan, sangat memalukan, jubah berhargaku” Lewang mondar-mandir gelisah sulit menerima jubah berharganya digunakan sebagai alat penampung recehan.

“Tuan, mengapa kita tidak mendapatkan uang dengan cara yang lebih baik?” Tora memberi saran.

“Maksudmu?” Tanyaku padanya.

“Menjadi seorang petualang, lalu mendapatkan bayaran”

“Jelaskan” Lalu pintaku padanya.

“Soal itu” Tora si Elf yang berwajah tampan dan tenang itu tiba-tiba tampak serius “Aku hanya pernah mendengar ada pekerjaan semacam itu sekarang” lanjutnya.

“Ahk!”

“Tapi kita bisa menemui seseorang”.

“Silakan memimpin jalan”

“……”

Hidup membutuhkan uang, lalu bagaimana tujuh orang miskin ini menjalani kehidupan selama 400 tahun belakangan? Pikirku.

Seolah dapat menebak pikiranku, Tora kemudian cepat berkata “Alam telah menyediakan segalanya, orang-orang akan makan dan hidup dengan baik jika dengan benar menggunakan pikiran dan tenaganya”

“……”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!