E M P A T

Nikita tidak tahu siapa sebenarnya laki-laki itu, maksudnya latar belakang pekerjaan atau dari keluarga mana dia berasal, tapi kalau dia bisa mentransfer uang sebanyak lima puluh juta ke rekening dalam sekejam, Nikita akan menganggap kalau laki-laki yang katanya bernama Satya itu bukanlah orang sembarangan. Sekarang kalau dia hanya orang biasa, bagaimana bisa mentransfer uang sebanyak itu?

Entah apa harus senang atau terkejut ketika mendapatkan uang sebanyak ini, hanya untuk menggantikan wiski yang tadi tumpah, yang jelas sekarang ini Nikita terus saja menatap ke layar ponselnya, memastikan dengan baik-baik jumlah angka nol dari nominal uang yang baru saja masuk ke rekeningnya.

Percaya atau tidak, laki-laki bernama Satya itu jauh lebih banyak memberikan uang dibanding jatah bulanan yang sudah ditentukan oleh sang ayah. Yakin sekali sih, siapapun perempuan yang bisa menikah dengan laki-laki itu, hidupnya akan sejahtera. Apa dia sudah menikah? Kalau dilihat dari jemari tangan kiri yang masih kosong, belum ada cincin, lelaki bernama Satya itu masih sendiri.

Setelah mendapatkan jumlah uang yang fantastis dari laki-laki itu, sepanjang perjalanan Nikita hanya bisa diam dalam ketidakpercayaan. Kalau dipikir-pikir uang itu bisa digunakan untuk banyak hal. Apa Nikita harus memakainya untuk membeli ponsel baru? Atau pergi ke salon dan klinik kecantikan untuk merawat dirinya? Atau pergi ke toko tas dan membeli sebuah tas baru? Nikita harus dibuat berpikir mengenai cara menghabiskan uang lima puluh juta yang dia dapatkan secara cuma-cuma itu.

"Kenapa?" Tanya Satya yang ternyata sedari tadi memperhatikan ke arah Nikita yang terus saja menatap layar ponselnya sambil senyum-senyum sendiri.

Belum menjawab apapun, Nikita hanya memberi tatapan sekilas kepada laki-laki yang kini sedang memfokuskan pandangan pada jalanan kota malam.

"Apa uang ganti rugi untuk satu sloki wiski kurang?" Tanya Satya dan anehnya itu malah memunculkan pikiran licik dari dalam diri Nikita. Haruskah dia menjawab kurang, agar laki-laki itu mau mentransfer sejumlah uang lagi?

"Gue bukan cewek materialis. Jujur aja nih ya, jumlah uang yang lo kasih terlalu banyak. Lo itu bukan bayar dua kali lipat, tapi sepuluh kali lipat dari harga wiski," kata Nikita sambil diiringi dengan sebuah tawa kecil.

"Benarkah terlalu banyak? Aku hanya asal menuliskan nominal tadi," ucap laki-laki bernama Satya itu terdengar cukup santai.

"Lo gak berniat minta gue buat balikin sisa duit yang kebanyakan ini kan?" Tanya Nikita dalam balutan perasaan was-was. Sekarang apa gadis itu sedang menyesal karena sudah berkata jujur?

"Saya tidak pernah meminta kembali pada sesuatu hal yang sudah saya berikan," ujar Satya sama sekali tak mempermasalahkan jumlah uang itu.

"Oke. Lagipula gue juga gak ada niatan buat mengembalikan apapun yang sudah masuk ke dalam rekening."

Nikita benar-benar merasa lega, karena ternyata lelaki itu sama sekali tidak menginginkan uangnya kembali. Sekarang uang lima puluh juta itu sudah menjadi milik Nikita sepenuhnya. Andai saja Satya terus membuat masalah, mungkin Nikita bisa menjadi milyarder secara mendadak.

.

.

.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh lima menit, mobil sedan empat cincin ini akhirnya berhenti juga di depan dari sebuah gerbang rumah mewah — tempat dimana Nikita bersama keluarganya tinggal. Nikita sama sekali tak terkejut, ketika menyadari kalau Satya ternyata juga tahu alamat rumahnya. Bukankah tadi waktu di bar, dia sempat memberitahu kalau yang menyuruhnya datang menjemput adalah Tuan Ryan — ayahanda Nikita?

Karena tahu sudah sampai di depan rumahnya, Nikita yang masih dalam balutan perasaan senang pun mulai melepaskan sabuk pengamannya. Namun, saat baru mau melakukan itu, tangannya kembali di hentikan oleh Satya. Kenapa laki-laki itu suka sekali menghentikan apapun yang ingin dilakukan oleh Nikita?

"Sekarang kenapa lagi?" Tanya Nikita masih dengan nada bicara ketus.

"Tunggu satpam membukakan pintu gerbangnya. Saya akan mengantarkan mu sampai dalam," ucap Satya terdengar sedikit berlebihan.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya satpam yang berjaga membukakan pintu gerbang dari rumah ini dan membiarkan mobil milik Satya memasuki halaman rumah.

Entah apa yang terjadi, ketika mobil ini baru berhenti tepat di garasi yang ada, kedua mata milik Nikita langsung terfokus pada sosok sang ayah yang kini sedang menatap ke arah mereka dalam sebuah senyuman lebar. Apa ayahnya sedang mencoba memberikan sambutan? Kalau iya, ini termasuk dalam sesuatu hal yang baru. Selama tinggal bersama, ayahnya itu sama sekali tak pernah memberikan sambutan apapun. Terlalu kaku untuk bersikap romantis. Tidak heran kalau ibu lebih suka pergi bersama teman-temannya.

"Tumben sekali melihat ayah berdiri di depan teras rumah seperti itu," kata Nikita sembari mencoba untuk membuka sabuk pengaman.

Tanpa ingin berlama-lama lagi, Nikita pun bergegas turun dari mobil ini. Lalu menghampiri sang ayah dalam perasaan bingung sekaligus terheran. Tak takut dimarahi atau mendapatkan omelan, karena sekarang ini Nikita sedang ingin mencari tahu penyebab ayahnya berdiri di depan teras rumah.

"Ayah kok bisa ada disini?" Tanya Nikita membutuhkan jawaban.

Bukannya mendapatkan apa yang di mau, Nikita malah harus menerima jeweran di telinga yang terasa begitu menyakitkan. Kenapa dihadapan laki-laki itu, ayah harus melakukan hal memalukan seperti ini? Tidak bisakah ia bersikap baik sekali saja?

"Darimana saja? Apa kamu pikir ayah ini termasuk orang yang mudah dibodohi? Jangan coba-coba untuk berbohong kepada ayahmu ini," ucapnya yang masih puas untuk menjewer telinga ku.

"Aku terpaksa melakukannya. Kalau berbicara jujur, ayah pasti tidak akan membiarkan aku pergi. Ayah tahu kan seberapa besar aku menyukai pesta?" Kata Nikita mencoba untuk membela diri sendiri.

Setelah membuat telinga kanan Nikita memerah, sang ayah akhirnya berhenti untuk memberikan jeweran. Satya yang menyaksikan itu semua hanya bisa berusaha menahan tawa. Entah mengapa baginya, pertengkaran kecil antar ayah dan anak itu begitu lucu. Apalagi disini Nikita terlihat seperti seseorang putri yang sulit untuk menuruti perintah dari orang tuanya.

"Maaf ya Satya! Karena kamu harus melihat semua yang seharusnya tak perlu," ucap Tuan Ryan merasa tidak enak hati kepada laki-laki itu.

"Tuan Ryan tak perlu meminta maaf hanya karena masalah seperti ini," kata Satya yang merasa baik-baik saja dengan pertengkaran antar ayah dan putrinya.

"Kamu mau mampir dulu? Sekalian kita ngobrol-ngobrol sebentar," Tuan Ryan memberikan sebuah penawaran yang sanggup membuat Nikita merespon.

"Kenapa dia harus mampir? Suruh pulang aja, ayah! Lagian sekarang hari juga udah malam," ucap Nikita tak menyetujui kalah ayahnya itu mengizinkan laki-laki bernama Satya untuk singgah sebentar di rumahnya.

"Satya harus mampir dulu, karena ada hal penting yang ingin ayah bicarakan sama dia," Tuan Ryan tetap bersikeras membiarkan laki-laki itu untuk singgah di rumahnya.

"Gak bisa besok aja? Nikita yakin banget kalau besok ayah juga masih bisa bertemu dengan dia," kata Nikita memprotes dengan keras.

"Kalau bisa sekarang, kenapa harus besok?" tandas sang ayah sambil mengajak laki-laki bernama Satya itu masuk ke dalam rumah.

Karena posisi Satya juga tidak bisa memberikan penolakan pada ajakan yang diberikan oleh Tuan Ryan, ia pun harus singgah beberapa saat di rumah itu dan mengabaikan soal Nikita yang sampai sekarang masih terus menggerutu seorang diri.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!