Jakarta, Indonesia.
Empat tahun yang lalu...
Seorang gadis SMA yang mengenakan seragam sekolah bercat warna-warni, terlihat sedang memasuki sebuah rumah besar dengan senyuman bulan sabit yang terus terukir di bibir ranum miliknya. Gadis bernama Nikita Gracia Anggriani itu baru saja tiba di rumah, setelah seharian berpesta kelulusan bersama teman-teman seangkatannya.
Tak tahu apa maksudnya, tapi yang jelas saat pagi tadi gadis itu berangkat ke sekolah dalam keadaan bersih dan rapi. Seragamnya pun masih kelihatan putih mulus, tanpa ada noda sama sekali. Padahal sang ayah juga sempat menyampaikan pesan kepada gadis itu, agar tidak terlalu ikut ambil andil dalam acara corat-coret seragam, namun namanya juga masih remaja usia 18 tahun, apa yang dilarang malah harus menjadi hal wajib untuk dilakukan.
Dengan ekspresi wajah yang tampak tak bersalah, Nikita secara perlahan-lahan mulai memasuki rumah itu. Dia sengaja enggan untuk membuat kebisingan, hanya supaya ayahnya yang kebetulan masih ada di rumah tak tahu menahu soal kenakalan yang telah dibuatnya. Melanggar apa yang sudah diperintahkan untuk tak dilakukan merupakan satu dari banyaknya kenakalan dari seorang Nikita.
Sepertinya Dewi keberuntungan memang sedang tak berpihak, Nikita yang telah berusaha untuk hati-hati, tetap saja harus ketahuan. Ternyata kepulangannya sudah begitu ditunggu dan dinantikan oleh sang ayah. Nikita kira ayahnya itu akan sibuk dengan pekerjaan yang ada di ruang kerja, tapi nyatanya malah menunggu di ruang tamu. Mendapati sosok sang ayah yang sekarang tengah terduduk di sofa ruang tamu sambil memberikan tatapan tajam, sanggup membuat Nikita menundukkan kepalanya. Kenapa sekarang ia harus berpura-pura merasa bersalah?
"Sedang apa? Kenapa masuk diam-diam seperti maling?" Tanya sang ayah yang tak ada hentinya untuk terfokus pada baju seragam sang putri.
"Aku hanya sedang berhati-hati, takut kalau membuat ayah terganggu," jawab Nikita diikuti dengan sebuah senyuman konyol.
"Sejak kapan kamu terpikir untuk berhati-hati?" Ayahnya tak ragu memberikan sindiran kepada Nikita. Memang benar adanya dan sesuai kenyataan yang ada, kalau gadis itu memang selalu bertindak ceroboh.
"Mungkin hari ini," beginilah Nikita. Selain suka sekali ceroboh, dia juga selalu bisa memberikan jawaban atas setiap pertanyaan.
Melihat sikap sang putri yang seperti ini, sama sekali tak berhasil untuk membuat Tuan Andri — Ayahnya, terkejut. Pasalnya sejak kecil, Nikita memang sudah begitu pandai dalam hal menjawab dan memberikan alasan.
Dalam raut wajah datar, sang ayah pun mulai beranjak bangkit dari sofa, lalu mendekat ke arah putri semata wayangnya itu. Melihat kondisi seragam yang sudah tidak lagi bersih, sanggup membuat Tuan Andri menggelengkan kepalanya. Kenapa Nikita bisa begitu nakal seperti ini? Apakah selama ini dirinya dan juga sang istri sudah salah didik atau bagaimana?
"Siapa yang suruh kamu corat-coret seragam? Bukankah sudah ayah katakan untuk tidak melakukan ini?" Tanya sang ayah sedikit kecewa akan sikap yang dibuat oleh putrinya itu.
"Ini termasuk fashion, ayah! Warna-warna yang ada di seragam malah semakin membuat indah," kata Nikita terlihat begitu senang dengan kondisi pakaian seragamnya itu.
Merasa tidak setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang putri, mampu membuat Tuan Andri sedikit meninggikan suaranya. Bukan bermaksud untuk marah, hanya saja ia ingin membuat agar putrinya itu menurut pada perintah orang tua, setidaknya sekali saja.
"Kalau seragam sekolah kamu seperti ini, besok kamu mau berangkat sekolah pakai apa? Memangnya masih ada seragam cadangan? Bukankah yang lainnya juga sudah kamu bentuk-bentuk tidak karuan?"
"Maksud ayah apa ya? Bukan bentuk-bentuk tidak karuan, tapi aku sedang sedikit mengubah gaya fashion dari seragam sekolah hanya agar terlihat semakin menarik saja. Aku terlalu bosan kalau disuruh memakai seragam yang sama, tanpa adanya variasi model," ujar Nikita merasa bangga pada diri sendiri.
"Besok masih ke sekolah kan?" Ayahnya dibuat untuk mengulang pertanyaan yang tadi belum sempat terjawab.
"Iya masih."
"Kalau seragamnya sudah hancur semua tak berbentuk, kamu besok mau pakai apa?"
"Ayah! Seragam punyaku bukan hancur, tapi hanya diubah modelnya saja dan itu masih bisa dipakai," kata Nikita tak senang ketika sang ayah menyebut hasil karya design nya hancur dan tak berbentuk.
Memang memiliki anak perempuan yang baru beranjak dewasa sangat sulit untuk ditangani. Apalagi saat tahu putrinya itu juga sangat suka membangkang dan keras kepala. Tak di rumah ataupun sekolah Nikita memang sudah terkenal sebagai seorang anak yang sulit mematuhi peraturan. Mungkin bagi dia, larangan merupakan sebuah perintah yang harus dilakukan. Jangan heran kalau poin pelanggaran sudah terkumpul begitu banyak! Nikita memang nakal, tapi untuk urusan nilai pelajaran dia selalu menjadi yang terbaik. Karena kepintaran yang dimiliki itu berhasil menutup semua sifat buruk yang ada dalam diri gadis cantik itu.
"Memangnya boleh ke sekolah dengan menggunakan seragam yang sudah dimodifikasi?" Tanya sang ayah hanya bermaksud ingin tahu saja.
"Ehm..." Nikita terlihat sedang berpikir sejenak. Apa boleh dia mengatakan hal seperti ini kepada ayahnya?
"Boleh tidak, Niki?" Sang ayah mendesak ingin jawaban.
"Tidak boleh. Aku kerap kali kepergok oleh ketua OSIS dan seragam hasil karya tanganku langsung dirobek begitu saja," ucap Nikita yang anehnya merasa sedikit sedih mengingat beberapa hasil karya modifikasi nya sudah tak berbentuk apapun.
"Ok. Kalau sudah tahu tak boleh, kenapa masih kamu lakukan terus?" Tanya sang ayah sedikit terheran akan jalan pikiran dari putri semata wayangnya itu.
"Gak ada alasan spesifik. Aku hanya menyukainya saja," jawab Nikita dengan nada bicara santai.
"Lagipula besok adalah hari terakhir aku datang ke sekolah dan seharusnya tidak masalah kalau aku mengenakan seragam modifikasi. Aku yakin guru-guru juga tak akan terlalu mempermasalahkannya," tambahnya lagi yang kali terdengar begitu percaya diri.
Awalnya memang benar Nikita sedikit takut membuat sang ayah marah hanya karena baju seragam yang lagi-lagi harus pulang dalam keadaan tak karuan, tapi setelah bertemu ayah dan sedikit berbincang, Nikita jadi tahu kalau ayahnya itu hanya akan memberikan teguran saja.
Dengan langkah santai dan terlihat seperti orang yang tak punya perasaan bersalah, Nikita mulai berjalan menaiki satu persatu anak tangga, bermaksud untuk menunju ke kamarnya yang kebetulan berada di lantai dua dari rumah mewah ini.
......................
Sebenarnya Nikita itu anaknya begitu baik, hanya saja kelakuan yang terkesan selalu membangkang dan pandai untuk menjawab segala pertanyaan ketika sedang ditegur, itulah yang membuat dirinya terlihat seperti seseorang anak yang nakal. Di rumah ia selalu menjadi seorang putri yang begitu menyayangi ibu dan ayahnya. Kalau biasanya anak gadis akan lebih dekat dengan sosok ayah, maka Nikita berbeda. Bisa dibilang Nikita itu begitu manja dan dekat kepada ibunya.
Nikita tahu kalau ibunya itu kurang lihai dalam masalah masak memasak, karena memang benar setiap kali mencoba entah itu akan keasinan, kemanisan atau begitu hambar. Ibunya memang terkesan konsisten dalam hal memasak. Meskipun begitu, Nikita tetap menyukai dan menyayanginya karena di setiap bulan selalu diberikan jatah untuk membeli barang yang memang sedang di ingin. Berbanding terbalik dengan sang ayah, ibunya memang tak pernah sulit untuk mengeluarkan uang. Setiap Nikita meminta apapun, selalu bisa dituruti oleh ibunya.
Sayangnya, beberapa minggu ini kehadiran sang ibunda sudah sulit untuk ditemukan. Hanya karena harus merawat ayahnya yang telah berusia lebih dari 70 tahun, ibunda Nikita harus tinggal di kota asal — tempat dimana ayahnya itu tinggal. Jujur, Nikita begitu merindukan sang ibunda. Rasanya sepi, karena sesi ghibah yang diadakan setiap malam harus libur sampai ibunya itu pulang kembali.
Nikita yang saat ini sudah berada di kamarnya yang bernuansa coral, pun terlihat mulai mendekati cermin yang ada pada meja riasnya. Bukan tanpa maksud, hanya saja Nikita begitu ingin untuk mengabadikan momen yang ada. Padahal tadi saat masih di sekolah, Nikita sudah mengambil banyak foto sampai ada notifikasi mengenai penyimpanan ponsel yang penuh.
Layaknya seorang model internasional, Nikita sama sekali tak ragu untuk bergaya dan tak lama beberapa hasil jepretan yang kerap di sebut mirror selca sudah banyak tersimpan pada ponselnya itu. Seperti anak muda pada umumnya, seusai mengabadikan beberapa foto diri, ia langsung memposting foto dengan hasil terbaik ke akun media sosial pribadi yang ternyata memiliki followers lebih dari tiga puluh ribu. Ternyata Nikita memang cukup famous.
"Loving all the weaknesses that are inside," gumamnya sendirian sembari jemari tangannya sibuk menari di atas layar keyboard yang ada pada ponselnya.
Merasa kalau foto sudah sesuai dengan caption, Nikita pun bersiap untuk menekan tombol upload, namun sayangnya baru mau melakukannya, ia harus diganggu oleh sebuah panggilan telepon yang berasal dari BESTie kesayangannya — Febi Destyana Arianti.
Karena selalu merasa kalau panggilan dari BESTie nya itu penting, tanpa ingin membuat terlalu lama menunggu, Nikita pun menggeser tombol hijau yang ada pada layar ponselnya dan langsung saja suara melengking khas dari BESTie terdengar menyapa telinga. Padahal belum lama berpisah, Nikita tetap masih bisa mendengarkan suara itu.
"Kenapa BESTie?" Tanya Nikita terkesan enggan untuk memberikan basa-basi.
"Gimana? Pulang dimarahi? Yang gue maksud soal seragam sekolah?" Seperti orang yang memang begitu ingin tahu, Febi menanyakan rentetan pertanyaan lewat seberang dari panggilan telepon ini
"Tenang aja. Gak sampai dimarahi yang sampai heboh, gue cuma dikasih nasihat sama teguran aja," jawab Nikita terhadap pertanyaan beruntun yang diajukan oleh sahabat dekatnya itu.
"Untung saja," helaan napas lega terdengar begitu jelas pada balik panggilan ini.
"Lo telepon gue cuma karena ingin tahu aja? Gak ada niat lain?" Tanya Nikita yang akan merasa sedikit kecewa kalau sahabatnya itu hanya akan mempertanyakan tentang kemarahan sang ayah.
"Enggak juga sih. Sebenarnya gue mau ajak lo nanti malam buat party, tapi agak ragu aja buat ajak," kata Febi dan itu mampu sedikit menyinggung perasaan Nikita.
"Ragu? Kenapa? Kalau memang party, lo memang harus ajak gue."
"Memangnya bokap lo gak akan masalah kalau tahu anaknya pergi ke bar cuma buat party?" Tanya Febi ingin mendengar jawaban dari sahabatnya itu.
"Sama sekali gak masalah, kalau papi gak tahu menahu soal anaknya pergi ke bar," kata Nikita.
"Nik, lo gak berniat pergi diam-diam lagi kan? Terakhir kali lo lakuin itu, gue yang kena omel sama bokap lo," ucap Febi enggan untuk mengambil resiko.
"Kali ini gak akan. Kasih tahu aja dimana tempat party nya, nanti malam gue langsung meluncur kesana," kata Nikita terlihat begitu bersemangat kalau menyangkut hal-hal yang dia suka.
"Ok. Tapi Nik, karena lo perginya gak izin, kalau misalnya ada terjadi sesuatu gue gak mau tanggung jawab ya?" Sekarang Febi merasa kalau mengajak temannya itu merupakan sebuah kesalahan.
"Gue juga gak berniat minta pertanggung jawaban dari lo. Jadi, tenang aja," tukas Nikita yang kemudian langsung mengakhiri panggilan itu secara sepihak.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments