Dikhianati Suami dan Mertua
Part 6
"Halo ... Dewi, kapan pulang? Ibu repot nggak ada yang bantu. Anak-anak nggak ada yang bisa diandelin." Baru beberapa hari aku nyaman tinggal di kampung halaman bersama kedua adikku, Ibu mertua sudah sibuk mengharapkan aku balik ke sana. Dari suaranya terdengar kelimpungan.
"Kan, ada Salwa, Bu," jawabku singkat.
"Dia hamil, masa disuruh banyak gerak."
"Setau aku, kalau hamil muda yang nggak boleh banyak gerak. Sekarang udah disaranin banyak gerak, Bu." Aku kesal. Lagi-lagi itu menjadi alasan. Kalau aku masih di rumah itu saat Salwa sudah melahirkan, bisa-bisa aku jadi babu mereka.
Tanpa basa-basi, telepon sudah ditutup. Mungkin kesal, atau kehabisan kata-kata.
"Dek, kapan pulang?" Kali ini Bang Irwan yang menelepon menanyakan kepulanganku.
"Sehari sebelum acara. Kenapa, Bang?"
"Tiga hari ini Abang nggak sarapan. Ibu sibuk mengurus acara nujuh bulan. Makan siang dan malam pun sering di luar," keluhnya.
"Lho, kan, ada Salwa." Alasan yang sama, tidak boleh banyak gerak. Lho ... masa ngurus suami saja nggak boleh? Itu bukan pekerjaan berat. Ya sudah, manjakan saja. Jadikan ratu sekalian. Tapi, bukan aku yang jadi dayangnya. Biar kalian tahu rasa.
***
Hari yang dinanti pun tiba. Acara nuju bulan dibuat lumayan mewah. Pantas saja Ibu kelimpungan.
Sudah tidak ada lagi yang ditutup-tutupi. Ibu mertua sudah terang-terangan memperkenalkan Salwa sebagai menantunya juga.
"Iya. Setelah acara ini mereka akan menikah secara resmi" Ibu menjawab pertanyaan salah satu tamu undangan.
"Istri pertamanya di mana?" Ada yang menanyakan keberadaanku. Ibu menunjukku, aku berpura-pura tidak melihat dan mendengar mereka. Lebih memilih sibuk menyiapkan menu hidangan yang kurang. Bukan karena aku suka rela mau membantu, tapi karena bingung harus mau apa.
"Kok bisa, ya, istri pertamanya menerima madunya. Tinggal dalam satu rumah pula," bisik para tamu. Setiap tamu hampir membisikkan hal yang serupa. Mereka penasaran mengapa aku rela. Siapa bilang?
Acara selesai. Para tamu sudah pulang dan tidak ada lagi yang datang. Kini kami semua berkumpul di ruang tengah.
"Oh iya. Aku punya janji mau kasih kejutan buat Dewi. Dan janji harus ditepati, karena janji adalah hutang. Iya, kan?" Entah kepada siapa pertanyaan itu ia lontarkan. Sebab, matanya mengitari kami semua.
Ibu mertua mengembangkan senyum. Dia mengira ini adalah awal dari kebaikan.
"Katanya, sih, kami mau tukaran kado. Siapa, nih, yang mau kasih kado duluan?"
" Kamu saja. Biar aku belakangan," sahutku santai. Sebenarnya aku ingin memberi terlebih dahulu. Tapi, aku terlanjur penasaran dengan kejutan yang akan ia berikan.
"Wah ... Ibu senang melihat kalian akur begini." Wajah Ibu tampak sumringah, matanya berbinar.
"Bang, cepat, gih!" titah Salwa pada Bang Irwan. Aku mengernyitkan dahi. Kenpa harus Bang Irwan?
"Bang!" Hardiknya ketika Bang Irwan belum juga bereaksi.
"Dewi ...." Ia terbata. Sepertinya aku bisa menerka apa yang akan ia ucap.
"A-aku ... talak ... kamu ...." Ia menundukkan kepala. Menyeka air mata yang berusaha dia sembunyikan. Bahunya berguncang. Ia menangis sesenggukan. Aku menduga di bawah tekanan Salwa ia menceraikanku. Tetapi itu tidak membuatku iba. Biar bagai mana pun, ia telah mengkhianatiku.
Aku tersenyum getir, kedua tanganku mengepal. "Terima kasih," ucapku dengan bibir bergetar. Lelaki yang baru saja mengucapkan talak padaku mengangkat kepalanya dan menatapku dengan wajah sendu.
" Apa-apaan ini?" tanya Ibu dan kedua adik ipar bersamaan. Mereka terkejud mendengar talak yang terucap untukku.
"Salwa, ada apa ini?" Ibu bertanya dengan suara tinggi. Seperti tidak menerima perceraian ini. Lalu, apa Ibu menginginkan dua menantu pada satu anak?
"Mana kejutan untukku?" tanya Salwa tak menghiraukan Ibu mertua. Dasar tak beretika. Ia menantang kejutan siapa yang paling spesial.
Aku memasuki kamar dan mengambil benda yang telah kubungkus kertas kado. Mereka pasti menerka-nerka benda apa yang ada di dalam. Berbentuk kotak besar namun ringan. Aku menyerahkan pada Bang Irwan
"Ini kado buat kalian. Sebaiknya Abang yang buka. Sebab Salwa sedang hamil, jika terkejut, tidak baik pada kandungannya." Aku sedikit meniru kalimat yang sering mereka ucap padaku.
Dengan terus dibanjiri air mata, Bang Irwan membuka bungkusan kado itu secara perlahan. Lalu menemukan amplop berwana kuning. "Apa ini, Dek?" tanyanya penasaran.
"Buka aja," jawabku tenang. Lalu lelaki yang kini sudah menjadi mantan suamiku melanjutkan membuka amplop itu.
PUAS! Aku puas melihat mimik wajah terkejutnya. " Apa maksudnya ini?"
"Bacalah!"
Ibu yang penasaran langsung menarik selembar kertas hasil tes itu dari tangan Bang Irwan. Setelah membacanya, mereka berdua melirik wanita angkuh itu dan menyerahkan kertas itu padanya.
"Bohong! Ini pasti bohong! Ini pasti rekayasa! Dia memfitnahku karena nggak suka denganku. Perempuan mandul itu berusaha menyingkirkanku! Ini rekayasa!" Salwa meronta-ronta sambil menggelengkan kepala setelah membacanya.
Tak kusangka, Salwa benar-benar pandai bersandiwara. Ia justru memutar balikkan fakta.
"Itu fakta. Itu asli hasik dari lab. Salwa, mengakulah!" pintaku pelan namun tegas.
"Perempuan sepertimu akan melakukan apa saja untuk mendapatkan yang dia mau. Kau ingin menyingkirkanku dari Bang Irwan. Dasar perempuan mandul! Munafik!" umpatnya padaku. Berani sekali dia mengarang cerita yang menimbulkan fitnah.
"Dewi ... ternyata kau memang pantas dicerai!" rutuk Bang Irwan padaku. Wajahnya sangat murka. Dengan mudah ia termakan fitnah istri sirinya.
"Usir dia, Bang!" perintah Salwa sambil menunjukku. Ibu berusaha menenangkan wanita yang dia anggap mengandung cucunya.
Mengusirku? Lantang sekali dia benari mengusirku. Lihat saja, siapa yang akan angkat kaki dari rumah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments