Dikhianati Suami Dan Mertua

Dikhianati Suami Dan Mertua

episode 1dan 2

Dikhianati Suami dan Mertua

Part 1

"Nggak perlu diambil hasil tes itu. Suamimu ini terbukti baik-baik aja. Kamu yang mandul, Nak," ucap Ibu mertua lembut sambil memegang bahuku.

Wanita yang telah melahirkan suamiku itu mendengar ajakanku pada Bang Irwan pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes.

"Dari mana bisa tau aku yang mandul, Bu? Hasilnya aja belum kita lihat," sanggahku.

Perempuan yang masih terlihat cantik meski tak lagi muda itu menarik napas sejenak. Lalu tangan yang mulai keriput itu membelai pahaku. "Irwan akan menjadi seorang Ayah."

Aku semakin tak mengerti. Ibu sudah memvonis aku madul tapi bilang Bang Irwan akan menjadi seorang ayah. Maksudnya apa? Adakah kejutan untukku? Apakah aku hamil tanpa kuketahui? Tidak mungkin!

"Maksudnya apa, Bu?" Aku menautkan kedua alis.

Ibu mertua bergeming sesaat. Membuatku semakin tidak sabar mendengar kalimat selanjutnya. Tampak berusaha mengatur napas agar dapat berbicara dengan tenang. Ah, semakin membuatku tegang.

"Sebenarnya Irwan sudah menikah lagi, dan sekarang istrinya sedang hamil."

Kedua bola mataku membulat sempurna. Antara percaya dan tidak. Aku menatap dalam netra Ibu. Raut wajahku seakan mewakili bibir untuk berkata 'Benarkah itu,' Ibu mengangguk.

Lemas seketika seluruh raga. Pengakuan Ibu mertua telah menggoncang jiwa. Serasa ada yang menghimpit di dada. Yang tak ingin kudengar akhirnya menggema di telinga.

"Maaf, Nak. Sudah lama Irwan ingin memiliki anak. Dan Ibu sudah rindu menimang cucu. Makanya diam-diam Irwan menikah lagi."

Lima tahun. Baru lima tahun usia pernikahan kami, tak bisakah bertahan sedikit lagi? Di luar sana, bahkan sampai sepuluh tahun. Tapi, masih sabar menanti. Tanpa menghianati istri.

"Ibu setuju?" Ia lagi-lagi menganggukan kepala.

Kurang baik apa aku? Hingga sanggup Ibu mertuaku berbuat begini. Segala kebutuhannya aku penuhi. Ingin ikut arisan akut turuti, meski aku yang bayar arisannya. Setiap bulan minta dibelikan baju baru, aku turuti. "Ibu malu sama teman-teman arisan dan ibu-ibu pengajian kalau bajunya itu-itu aja," alasannya saat itu. Ya, aku memakluminya.

Karena hati dan sikapnya yang lembut, aku pun tulus dan memang berniat membahagiakannya seperti aku membahagiakan orangtuaku sendiri. Apa lagi, kehidupan mereka dahulu sangat pas-pasan. Ya ... itung-itung aku mengangkat drajatnya di mata teman-temannya. Bahkan sering kudengar Ibu mertua mendapat pujian karena nasibnya yang mujur.

"Sekarang enak, ya, sampean. Anak udah mapan, dapat mantu baik pula. Royal sama mertua dan ipar-iparnya." Begitulah yang sering kudengar.

"Iya. Bahkan dia pandai mengatur keuangan. Semua gaji anakku dia yang pegang. Tapi dia bisa membaginya untuk ini-itu. Belum lagi kalau aku minta beli ini dan itu. Tapi mantuku itu masih bisa nyimpan." Ibu mertua semakin menyanjungku, membuat telinga ini kembang.

Aku memang punya prinsip, keluarga suamiku ya keluargaku. Dan suamiku harus mengnggap keluargaku sebagai keluarganya. Alhamdulillah itu terlaksana. Bang Irwan juga tidak pelit dengan adik-adikku. Kebetulan, kedua orangtuaku sudah tidak ada sebelum aku menikah.

Ya ... gaji Bang Irwan cukup besar bila dibandingkan kehidupan mereka sebelumnya, juga dikalangan menegah kebawah. Dan itu bisa saja cukup. Tapi, itu jika tidak royal. Ibu mertua tidak tahu aku selalu menambahi dengan uang pribadi. Di mata Ibu, aku hanyalah ibu rumah tangga yang pemgangguran. Tidak tahu jika aku punya penghasilan meski hanya di rumah. Justru itu permintaan Bang Irwan agar merahasiakan dari Ibu.

"Ibuku nggak mau Abang menikah dengan perempuan yang ekonominya lebih tinggi. Takut nggak menghargai suami. Jadi, tolong rahasiakan, ya, Dek," pintanya saat itu. Saat hendak mengenalkanku pada Ibunya.

Oh. Baru kusadari, apa karena itu Ibu mertua juga sanggup menghianatiku? Mengira aku tidak akan bisa memberontak karena hanya menopang hidup pada suami? Lalu dengan Bang Irwan? Dia sangat tahu tentang pengeluaranku untuk Ibu dan adik-adiknya. Aku memanjakan mereka semua pakai uangku. Kenapa dia masih sanggup menghianatiku? Jika benar aku mandul, tidakkah ada timbal baliknya untuk menghargai ketulusanku?

Wajar bagi bang Irwan, dia seorang lelaki. Ada saja alasan untuk beristri lagi, apa lagi dalam kondisi kami. Tapi ibu? Dia juga seorang wanita. Tidak pekahkah dia bagai mana sakitnya? Tidak bisakah menasihati putranya? Malah mendukungnya.

Dibalik sikap Ibu mertua yang tenang, ternyata bisa membuat tenggelam. Ya, pribahasa itu kini aku rasakan. Sakit! Bagai ditusuk belati berkali-kali.

Aku menoleh pada Bang Irwan yang duduk agak berjauhan. Ia menundukkan kepala. Pengecut! Kenapa pengakuan ini tidak keluar dari bibirnya? Ia mengandalkan Ibu untuk mengungkap kebenarannya.

Poselku berbunyi. Bunyi khas dari aplikasi berwarana hijau. Segera kurogoh kantong dan membukanya.

[Hasil tesnya aku titipin sama Niara, ya. Hari ini aku nggak di rumah sakit.]

Dimas, Dokter yang memeriksa kesehatan kami sekaligus teman sekolahku saat SMA. Begitu juga Niara, kami bertiga sekelas. Tapi, sekarang Dimas menjadi Dokter dan Niara Perawat. Kebetulan sekali mereka bekerja di rumah sakit yang sama.

Membaca pesan dari Dimas, aku jadi berfikir dua kali. Apakah perlu aku mengambil hasil tes itu? Sementara sudah jelas Bang Irwan akan menjadi seorang ayah dari wanita lain.

Dikhianati Suami dan Mertua

Part 2

Aku mengabaikan pesan yang bagiku tak penting lagi. Lalu memasukkannya kembali ke dalam kantong.

"Nak Dewi ...." Suara lembut itu menarik pandanganku untuk menoleh ke arahnya.

"Besok Irwan akan menjemput Salwa untuk tinggal di sini. Dia nggak punya siapa-siapa. Takut ada apa-apa dengan kehamilannya. Nggak apa-apa, kan?"

Jadi namanya Salwa? Apa maksudnya nggak apa-apa? Percuma juga, kan, kalau aku bilang tidak boleh? Toh, tiba-tiba saja besok sudah mau menjemput. Itu artinya sudah jauh-jauh hari mereka rencanakan. Dengan izin atau tanpa izin dariku, wanita simpanan mereka akan tetap dibawa ke sini. Itu hanya sandiwara agar terkesan menghargai keberadaanku. Tiba-tiba aku tidak mengenal sifat Ibu.

"Bawa aja, Bu. Nggak perlu basa-basi. Terlanjur basah, ya sudah mandi aja sekalian!" celetukku sambil menatap tajam Bang Irwan. Ternyata dia kecolongan sedang menatapku. Dengan cepat kembali menundukkan kepala. 'Terlambat!' celetukku dalam hati.

Dengan lantang aku berjalan meninggalkan mereka berdua. Memasuki kamar lalu mengunci pintu. Di balik pintu kamar aku bersandar, lalu merosot dengan kaki kubekuk. Kudekap mulut dengan kedua tangan, lalu kutumpahkan air mata yang tadi sempat kutahan. Aku terisak.

Apapun alasan kalian, itu tidak benar. Kalian menyakitiku. Mengapa tidak berterus terang jika ingin menikah lagi. Meski tetap sakit, tetapi tidak mengkhianati. Kalau seperti ini, aku merasa selama ini dibodohi.

Kuseka air mata dengan kasar, lalu berdiri tegak.

'Kamu bukan wanita murahan, maka kamu nggak boleh lemah. Hadapi dengan anggun.' Aku berbicara sendiri di depan cermin. Selamat datang wanita baru di rumhku. Akan kusambut kehadiranmu.

\*\*\*

"Eh ... mantu Ibu sudah sampai." Ibu mertua menyambut dengan ramah tamah. Menghadiahi kecupan pipi kiri dan kanan. Pemandangan yang menyakitkan mata. Aliran darahku tiba-tiba mengalir deras hingga kepala. Melihat keakraban mereka, sangat kentara kehadiran wanita tidak tahu malu itu sangat dirindukan. Hatiku terasa sakit. Hingga mataku ngerembes. Aku memutar badan sebentar untuk menyeka sudut mata. 'Jangan lemah!' bisik hati kecilku.

"Hai Salwa ... ayuk masuk. Nggak usah malu-malu." Ah, lebay nggak sih? Aku menarik tangan perempuan tidak punya harga diri itu masuk ke dalam rumah. Sedang Bang Irwan membuntuti kami dari belakang sambil membawa koper selingkuhannya. Hm ... masihkah ini dikatakan selingkuhan?

"Barang-barangnya bawa ke kamar aja, Bang. Udah aku bersihkan, kok," ujarku sambil memoyongkan bibir. Menunjuk kamar kosong, tepat di sebelah kamar kami. Kamar yang akan membuat malamku tidak tenang.

"Jangan sungkan-sungkan denganku. Aku Dewi. Dewi Indra Yani. Aku nggak gigit, kok," candaku dibuat-buat. Padahal rasanya ingin sungguhan menggigit. Berharap saat ini aku adalah siluman srigala. Agar puas mencabik-cabiknya dengan buas.

Wanita itu tersenyum malu. Mimik wajahnya tampak canggung.

"Benar, kan, Ibu bilang. Dewi ini baik orangnya. Ramah lagi. Kalian pasti cepat akrab," ucap Ibu mertua sambil menuntunnya duduk di sofa.

Jadi mereka sudah menceritakan tentang diriku? Ini tidak adil. Wanita itu sudah tahu tentang diriku, sedang aku sama sekali tidak tahu tentangnya. Atau jangan-jangan mereka sudah mengataiku karena aku mandul?

"Ini, diminum, biar segar. Pasti capek, kan." Kuletakkan mampan berisi empat gelas air jeruk hangat di atas meja.

"Kalian mirip, loh ...," goda Ibu. Kami semua tertawa. Tawa yang kubuat-buat. Ah, tidak lucu. Sama sekali tidak lucu!

"Setelah ini kalau mau makan silakan, ya. Maaf aku nggak bisa ikut makan siang bersama. Udah ada janji sama teman. Dia ulang tahun dan mau traktir makan di kafe." Aku berbohong. Mendadak ide itu datang. Rasanya tidak tahan berlama-lama melihatnya. Sebaiknya aku pergi sekedar menenangkan diri. Tapi, ke mana?

"Jangan lama-lama, Dek," ujar Bang Irwan.

Hm, basa-basi. Aku mendengkus kesal.

Aku pergi menggunakan jasa ojek online. Tidak baik mengendarai dengan perasaan seperti ini. Menjaga keselamatanku. Menghindari terjadi yang tidak-tidak.

"Hei ... Dewi!" Suara teriakan memanggil namaku terdengar dari seberang jalan saat aku baru saja turun dari ojek. Oh, Niara. Aku menunggunya berlari kecil menghampiriku.

"Kebetulan ketemu di sini. Aku tadi mau ke rumahmu nganter ini," ucap wanita berseragam putih itu setelah sampai menghampiriku.

Ia menyodorkan sebuah amplop berwarna kuning. Ini pasti hasil tes dari Dimas yang dititipkan pada Niara.

"Masuk, yuk." Aku mengajaknya masuk ke dalam kafe sambil menerima amplop itu. Niara menyengir. Dia paham akan ditraktir, dan memang paling suka yang gratisan.

Gawaiku kemasukan notifikasi dari aplikasi berwana hijau. Niara sibuk memilih menu. Aku segera membuka pesan itu.

\[Sudah diambil, kan? Bagai mana hasilnya?\]

Dari Dimas. Mengapa dia yang bertanya? Meski tak tertarik untuk membukanya, namun rasa penasaran menggoyahkan hatiku.

"Aku ke toilet dulu, ya," ucap Niara. Aku mengangguk. Segera kubuka isi amplop kuning di bawah meja.

Mataku terbelalak. Kedua bijinya nyaris melompat. Kubaca berulang-ulang untuk meyakinkan diri sendiri. Aku tersenyum lebar. Sungguh bahagia kurasa. Bang Irwan harus tahu.

Aku kirim pesan kepada Niara yang masih di toilet.

\[Aku pulang, ya. Ada urusan mendadak. Tenang, udah kubayar, kok.\]

Tanpa menunggu balasan. Aku langsung bringsut dari tempat duduk lalu segera pulang. Tak sabar rasanya segera sampai di rumah.

Saat tiba di depan rumah, aku mengucap salam dan mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada jawaban, kutekan gagang pintu kearah bawah. 'Nggak dikunci.' Aku segera masuk. Namun, apa yang kudapat? Pemandangan yang menyakitkan. Bagai ada yang menghujam jantungku. Mereka teledor, hingga aku menyaksikan adegan mesra itu dari selah pintu kamar yang tidak tertutup rapat.

'Baiklah kalau begitu. Kalian semua harus tau!' Aku merutuk geram.

Terpopuler

Comments

Sulati Cus

Sulati Cus

ye itu artinya mamermu g tau malu

2023-03-29

0

Novianti Ratnasari

Novianti Ratnasari

kayanya yg mandul itu suami nya dech. trus wanita itu hamil hasil selingkuh am co lain

2022-11-17

0

Sulati Cus

Sulati Cus

pasti yg mandul si suami

2022-11-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!