Dikhianati Suami dan Mertua
Part 3
Seketika aku memejamkan mata seiring dengan menahan sesaknya di dada. Aku kembali keluar, lalu bersandar di dinding sebelah pintu. Tubuhku bergetar. Perasaanku hancur!
Aku mengatur napas. Menariknya dalam-dalam lalu menghembusnya secara perlahan. Aku akan kembali masuk dengan berpura-pura tidak tahu. Akan kubuat mereka terkejut. Pasti mereka akan kelabakan.
"Sepi. Pada ke mana, ya?" Sengaja meninggikan suara.
Aku berjalan menuju kamar. Ekor mataku sempat menangkap mereka menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka.
"Lain kali jangan teledor, ya. Ntar kalau ada yang intip gimana ...," kataku setelah sampai di depan pintu kamar. Lalu aku cekikikan. Tidak lama terdengar suara pintu ditutup perlahan.
Saat bibirku cekikikan, saat itu pula air mata ini menetes. Aku menjatuhkan diri dengan berlutut. Kedua tanganku jatuh menjuntai ke bawah. Kepalaku menengadah ke atas. Air mata berjatuhan sangat deras. 'Sakit sekali ya Allah!' keluhku.
Menangis bukan karena lemah. Biarlah kuhabiskan air mata ini hingga tak tersisa, agar tak ada lagi air mata berikutnya. Aku terus menangis hingga terasa lelah. Hingga raga tak berdaya, dan tak ingat sudah berapa lama.
"Bang ... Bang ...."
Aku membuka mata mendengar suara memanggil seseorang. Kudapati Bang Irwan sudah di hadapanku. Kami tidur miring dan saling berhadapan. Matanya tampak basah. Ia meletakkan jari telunjuk di bibirnya saat aku hendak bersuara.
"Kenapa tadi tidur di bawah?" tanyanya pelan.
Aku? Tidur di bawah? Yang aku ingat hanya menangis. Ternyata sampai ketiduran. Lalu, Bang Irwan membopongku ke tempat tidur. Aku kepergok, dong, sedang menangis.
"Maafin Abang, ya." Suaranya terdengar parau. Tangannya membelai kepalaku. Mata yang belum kering itu kembali basah. Lalu menetes satu persatu. Disusul dengan air mataku.
Aku tak ingin disentuhnya. Namun, disisi lain aku menyukainya. Sentuhan itu bagai pereda nyeri di hati.
"Untuk apa?" tanyaku pelan. Hal yang tak perlu dipertanyakan.
Satu kecupan mendarat di keningku. Terasa ada sesuatu yang hangat membasahi kening. Setelah beberapa detik, ia menarik wajahnya dan kembali menatapku. Wajah yang berjarak hanya beberapa centi dari wajahku kian menghilang, pandangan terhalang oleh air mata yang kian menggenang. Lalu tumpah saat tangannya mengusap pipi. Bulir-bulir bening itu semakin manja, menumpahkan isinya, agar juga disentuh olehnya. Entah mengapa aku sangat menikmatinya.
Gawai Bang Irwan berbunyi. 'My lovely' aku sempat membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Hatiku kembali teriris.
"Angkatlah," kataku pelan. Ia menggeleng. Lalu aku tarik gawai itu dari tangannya dan menekan tobol berwarna hijau.
"Halo ...."
"Heh. Di mana Bang Irwan?"
Bena-benar tidak punya sopan santun.
"Ada di sampingku. Dia lagi tidur lelap. Kayaknya lelah." Aku melirik Bang Irwan. Wajahnya hanya pasrah.
"Apa maksudmu? Buka pintunya!"
"Ssst ... jangan berisik. Kamu menumpang di sini. Jadi harus sopan. Pakai etika."
"Ini rumah suamiku! Akan kudobrak pintu ini!"
Telepon terputus. Samar-samar kudengar suara Ibu mertua mengucap salam. Mungkin wanita itu pun menjaga sikap. Dasar wanita tak beretika. Di mana mereka mendapatkan wanita seperti itu?
Setelah wanita itu memutuskan telepon, aku segera ke kamar mandi yang ada di dalam kamar ini. Segera menyegarkan diri, membasuh seluruh tubuh hingga rambut.
Saat aku keluar dari kamar mandi, kulihat Bang Irwan terlelap di peraduan. Biarlah, mungkin dia lelah habis bertempur dengan wanita barunya. Sekekita dada kembali sesak. Tatkala memori menyeret ingatanku pada adegan yang tak sengaja teetangkap mata. Aku manarik napas kasar. Untuk pertama kalinya aku membenci suamiku. Melihat sekujur tubuhnya terlentang di atas ranjang aku meras Jijik. Tubuh itu telah menyentuh tubuh wanita lain.
Hasil tes itu, biarlah kusimpan dulu. Hingga waktunya tiba.
Aku keluar kamar dengan rambut kugerai. Biasanya aku akan sungkan memperlihatkan rambut basahku. Tapi, kali ini aku sengaja.
Benar saja, matanya tajam melihat rambutku basah, dia pasti mengira kami habis melakukannya. Tatapannya seperti hendak menerkamku.
" Mana Bang Irwan?" tanyanya sinis.
"Dia lagi bobok. Capek katanya," jawabku santai sambil memainkan rambut. Dadanya tampak kembang kempis. Kenapa? Sakit? Tak sebanding dengan yang kurasa, Salwa!
"Mau masak apa, Bu?" Kulihat Ibu mertua mengeluarkan belanjaan dapur. Rupanya tadi Ibu keluar untuk belanja.
"Sebaiknya kamu nggak boleh begitu. Kasihan dia sedang hamil." Ibu mertua peka dengan sikapku. Baru beberapa jam wanita itu di rumah ini, Ibu mertua sudah menunjukkan sikap tidak netralnya. Entah itu bentuk pedulinya kepada kami berdua, atau khusus pada menantu yang selama ini disimpannya.
"Memangnya aku kenapa, Bu?" Pura-pura tidak paham dengan perkataan Ibu. Tanganku asik membantu menyusun belanjaan. Memilah mana yang akan disimpan di kulkas, bumbu yang akan disimpan dalam toples, dan bahan yang akan dimasak hari ini.
"Kamu pasti ngerti maksudnya. Dia itu hamil, nggak boleh sters. Dampaknya akan buruk pada kesehatan bayinya."
Oh, jadi aku boleh stres, begitu? Makin kelihatan Ibu membela wanita itu dengan alasan hamil. Lihat saja nanati. Ibu akan terkejut begitu tahu siapa wanita itu.
Moodku membantu Ibu hilang. Ingin pergi meninggalkan Ibu di dapur. Namun, rasanya kurang etis. Seperti kekanak-kanakan.
Sebuah notofikasi menyelamatkanku. Kurogoh saku celana dan membukanya.
"Sebentar, Bu. Rani minta ditelpon." Aku berbohong.
"Pasti minta uang ...," celetuk Ibu.
'Aataghfirullah ....' Aku terkejut batin mendengarnya. Selama ini aku mengirimi adik-dikku pakai uangku sendiri, bukan uang suami. Kami punya warisan dari almarhum kedua orangtua dua belas hektar kebun sawit. Dengan kepandaianku mengelolah keuangan, aku mampu menambah tiga hektar lagi. Gaji Bang Irwan jauh dibawah hasil kebun sawitku. Inilah akibatnya jika mertua tidak mengetahui penghasilanku. Jadi mengira aku menghabiskan uang suami.
Aku pura-pura tidak mendengarnya. Segera keluar untuk melihat pesan dari Dimas yang belum sempat kubaca.
[Besok temui aku di rumah sakit.]
[Ada apa?]
[Datang saja, biarku jelaskan]
[Iyalah. Kalau dari wa, kan, nggak dapat biaya konsultasinya.]
Dimas membalas denga emotion tertawa. Ternyata dia peka bahwa aku bercanda. Hatiku pun ikut tertawa, disambut dengan bibirku ikut tersenyum.
Senyumku memdadak pudar, hati kembali gusar. Mengapa Dimas menyuruhku untuk kembali ke rumah sakit? Apa yang akan dia sampaikan? Adakah Bang Irwan mengidap penyakit serius yang menyebabkan ....?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
ratu adil
kyk e irwan mandul
2022-11-02
0