Hari pertunangan (1)

Bunga duduk di depan meja rias. Seorang penata rias sedang mendandani gadis itu. Gadis yang jarang memakai make up selain bedak itu merasa sangat risih melihat penampilannya sendiri.

"Apa tidak terlalu tebal, Mbak?" Bunga terus menatap pantulan wajahnya di cermin.

"Tidak, kok. Ini sudah yang paling tipis. Wajah, Mbak, sangat bersih. Tanpa make up sekalipun, Mbak, sangat cantik. Saya iri melihat wajah, Mbak," ujar penata rias.

Bunga memiliki kulit kuning langsat. Wajahnya bersih dengan pori-pori halus. Dioles bedak padat sedikit saja, ia sudah terlihat berbeda.

Menurut sebagian orang, dia gadis yang cantik. Namun, ia lebih suka saat ada yang memujinya manis. Biasanya, ia tersipu saat dipuji hitam manis, padahal kulitnya tidak hitam.

"Mbak, bisa saja."

"Saya jujur, kok." Penata rias itu selesai merias wajah Bunga. Kini, ia membantu gadis itu memakai kain dan kebaya yang dibeli Bunga di mall kemarin. "Kebayanya cantik. Pinter milihnya," puji penata rias.

"Terima kasih, Mbak."

"Oke, tinggal sedikit sentuhan di sanggul, dan …. Sempurna. Lihat! Anda sangat cantik dan riasannya tidak terlalu tebal," ujar wanita itu sambil membantu merapikan bagian belakang kebaya.

Hartini masuk ke kamar Bunga. Matanya berkaca-kaca melihat putrinya dibalut kebaya putih. Ia sudah lama memimpikan hari ini.

"Cantiknya anak ibu. Akhirnya, ibu bisa melihat kamu pakai baju seperti ini," ucap Hartini sambil menyeka air mata yang terjatuh tanpa permisi.

"Bunga minta maaf, karena Bunga baru bisa menuruti permintaan, Ibu," kata Bunga dengan air mata menggenang di sudut matanya. Ia baru selesai dirias, sebisa mungkin Bunga tidak boleh meneteskan air mata.

"Terima kasih, Nak. Kamu sudah bersedia mengabulkan keinginan ibu dan ayahmu. Sebaiknya kita segera keluar. Keluarga pak Hendry akan segera tiba."

"Baik, Bu."

Bunga menjawab diiringi senyum tipis. Ia tampak tenang di luar, tapi di dalam hati, gadis itu sangat gugup. Laki-laki seperti apa yang akan dijodohkan dengannya? Baik atau tidak? Semua pertanyaan itu berputar di pikirannya.

Hendry tiba di depan rumah Bunga. Ia turun bersama istrinya, tanpa Artha. Semua kerabat saling melempar pandangan.

"Kenapa hanya mereka berdua? Anaknya kemana?" Salah seorang kerabat berbisik dengan suaminya.

"Jangan, jangan …." Si suami melirik kanan kiri sebelum melanjutkan ucapannya. "Jangan, jangan, anaknya menolak dijodohkan."

Meskipun mereka berbisik, tapi Bunga, Amirudin, dan Hartini dapat mendengarnya dengan jelas. Salah seorang dari mereka mengatakan hal yang sangat menyakitkan bagi seorang ibu.

"Siapa yang mau dijodohkan dengan perawan tua. Kakek-kakek jaman sekarang saja mencari yang masih ABG," celetuk seorang wanita.

Bunga tidak tahu siapa orang yang berbicara seperti itu, karena orang itu berdiri di barisan paling belakang. Namun, satu hal yang bisa dipastikan, dia seorang wanita. Bunga baik-baik saja mendengar cibiran itu, tapi tidak dengan Hartini.

Sebagai seorang ibu yang telah melahirkan dan merawat Bunga, Hartini merasa sakit hati. Air matanya mengalir diiringi isak tangis tertahan. Andai tidak ada Hendry dan Khumaira, mungkin wanita itu sudah menangis histeris.

"Selamat datang, Pak Hendry. Selamat datang, Bu Hendry," sapa Amirudin.

Ia tetap menyambut mereka, meski mereka datang tanpa putra mereka. Amir tidak bisa memaksakan kehendak kepada putra dari sahabatnya. Rencana perjodohan itu memang dilakukan tanpa meminta persetujuan kedua belah pihak yang akan dijodohkan.

Bunga bersedia setelah dibujuk olehnya, tapi Artha …. Amir tidak bisa membujuk anak itu, karena itu bukanlah haknya. Amir kecewa, tapi ia tetap tersenyum menyambut sahabatnya. Mereka tampak saling menyikut, mendesak untuk bicara kepada Amir.

"Mari masuk," kata Hartini sambil menyeka air matanya dengan tisu. Ia tidak boleh terlihat sedih berlarut-larut di depan tamu.

"Terima kasih, Bu Amir. Em … begini … Artha~" Hendry menoleh pada istrinya. Ia bingung untuk melanjutkan perkataannya.

"Begini, Bu Amir. Putra kami, Artha, dia sedang bersiap-siap menyusul kemari. Dia lupa membawa baju ganti, jadi sedang menunggu pegawai butik mengantarkan baju ke hotel," ucap Khumaira.

"Oh …." Semua orang bernapas lega. Mereka pikir, putra Khumaira dan Hendry telah melarikan diri.

"Ah, begitu rupanya. Tidak apa-apa. Kita bisa berbincang-bincang terlebih dulu sambil menunggu nak Artha." Amirudin tersenyum lebar. Ia merasa lega.

Hendry dan Khumaira masuk bersama Amir dan para kerabat yang datang menyambutnya. Mereka berkumpul di ruang tamu yang sudah didekorasi dengan nuansa putih senada dengan kebaya yang dipakai Bunga. Khumaira menggandeng tangan calon menantunya.

"Calon menantu kita sangat cantik, ya, Pa."

"Ya, Ma. Beruntung sekali putra kita mendapatkan nak Bunga," jawab Hendry.

"Tante bisa saja," ucap Bunga dengan wajah tersipu.

Mereka berbincang-bincang di ruang tamu. Duduk di lantai yang dialasi permadani bulu yang lembut. Amirudin sengaja memilih konsep duduk lesehan, karena ia tidak bisa duduk terlalu lama dengan keadaan kaki menjuntai. Maklum saja, ia memang sedang tidak sehat.

***

Di hotel, Artha mencoba menghubungi kekasihnya, Elena. Namun, sudah dua kali memanggil, gadis itu masih belum menjawab panggilannya. Artha bertaruh sekali lagi.

"Ini yang terakhir. Jika Elena masih tidak mengangkat telepon dariku, aku akan menerima perjodohan itu."

Artha menekan nomor kontak gadis itu untuk yang ketiga kalinya. Terdengar nada sambung pribadi yang sama dengan nada sambung pribadi milik Artha. Ya, mereka memang sengaja menyamakan nada panggilan telepon.

"Halo, Elena!"

[Halo, Sayang. Aku lupa kasih kabar, soalnya baru buka hape.]

"Kode nomor luar negeri? Kamu sedang di luar negeri? Kok, tidak pamit sama aku?" tanya Artha seraya menatap nomor yang terpampang di layar ponsel.

Artha tidak tahu kabar Elena sejak mereka bertengkar di cafe tempo hari. Ia terkejut mendengar kekasihnya berada di luar negeri. Selama ini, Elena memang sangat suka traveling, tapi selalu memberitahu Artha sebelum pergi.

[Ya, maaf. Oh, ya. Kamu menelepon … kangen, ya?]

"Hm. Berapa lama di sana?"

[Dua bulan.]

"Selama itu?"

[Ya. Aku tinggal di tempat kerabat papa di Jepang. Kalau kamu kangen, sini, dong. Jemput aku, biar aku pulang lebih cepat.]

Elena dengan santainya bercanda. Ia tidak tahu, Artha sedang dilanda kebimbangan. Di satu sisi, ia menyayangi ayahnya. Disisi lain, ia tidak mau menikah dengan orang yang tidak pernah ditemuinya sama sekali.

"Aku tutup teleponnya. Selamat berlibur."

Artha melempar ponselnya ke tengah tempat tidur. Ia berbaring telentang dengan kaki menjuntai di tepi ranjang. Berkali-kali, ia menarik napas panjang dan dalam, mengembuskannya perlahan-lahan.

"Ini hanya acara pertunangan. Aku rasa, tidak masalah. Selama kami belum menikah, aku masih bisa mencoba mendapatkan restu untuk bersama Elena."

Artha bangkit dan memakai jasnya. Ia memesan taksi dan pergi ke tempat orang tuanya di rumah Amir. Hendry sudah membagikan lokasi kepada Artha, sehingga lebih mudah bagi laki-laki itu untuk mencari alamat rumah Amir.

*Bersambung*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!