Pertemuan kedua

Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi suara khas di pagi hari. Sepiring nasi goreng sederhana telah memenuhi perut Bunga yang tidak pernah makan banyak. Itu sebabnya, tubuhnya tidak bisa gemuk seperti teman-temannya.

Namun, tubuhnya tidak bisa dikatakan kurus juga karena bentuk tubuhnya sangat menarik di mata laki-laki. Bokong besar dengan buah pepaya yang sangat pas dalam genggaman tangan besar laki-laki seperti Artha. Semua kelebihan itu membuat Bunga memiliki pesonanya sendiri.

"Kenapa tidak dihabiskan?" tanya sang ayah.

"Ayah seperti tidak tahu saja. Bunga mana pernah menghabiskan makanannya." Sang ibu membantu Bunga menjawab.

"Dan, kamu selalu mengisi penuh piring Bunga. Sudah tahu anaknya kalau makan sedikit," balas laki-laki itu. Sesekali, ia terbatuk saat bicara.

Dari wajahnya, Bunga tahu sang ayah tidak berpura-pura sakit. Wajah pucat dengan kulit bibir sedikit mengelupas berwarna putih, semua itu sudah menjelaskan seperti apa kondisinya. Bunga sudah melihat hasil pemeriksaan medis milik ayahnya.

"Ngomong-ngomong … apa kamu sudah memikirkan apa yang ayah tanyakan kemarin?"

"Hem ... Bunga sudah memikirkannya. Bunga belum siap untuk menikah, Yah," jawab Bunga dengan lembut.

"Sampai kapan, ayah harus menunggu kamu siap untuk menikah? Ayah sudah sakit-sakitan. Apa kamu tidak kasihan sama ayah?"

"Bunga belum siap untuk menikah, tapi Bunga akan menerima perjodohan ini. Tolong, berikan Bunga waktu untuk mengenal calon suami Bunga terlebih dulu."

Ayah dan ibunya saling melempar pandangan. Mereka tidak mengerti maksud ucapan putri mereka. Sampai akhirnya Bunga menjelaskan secara rinci tentang keinginannya.

"Ayah dan Ibu, bisa, kan, menunggu selama setahun? Bunga ingin bertunangan dulu dengan calon suami yang dipilih oleh, Ayah. Selama setahun, Bunga akan berusaha menumbuhkan perasaan padanya.

"Bunga ingin mengenalnya lebih dekat sebelum menikah. Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan, Yah. Bunga ingin seperti Ayah dan Ibu, rumah tangga sampai menua bersama."

Amir dan Hartini mengangguk setuju. Mereka mengerti, Bunga pernah mengalami kekecewaan. Wajar, jika gadis itu menjadi lebih berhati-hati terhadap laki-laki. Apalagi, dia belum pernah melihat calon pilihan Amirudin.

"Baiklah. Ayah mengerti. Untuk menghindari kemungkinan kamu melarikan diri, ayah akan langsung mengadakan pertunangan. Apa kamu setuju? Ayah akan setuju, kalau kamu setuju dengan syarat yang ayah ajukan."

"Oke. Bunga setuju. Ayah persiapkan saja pesta pertunangannya. Bunga akan kembali ke kota dulu untuk mempersiapkan diri juga."

"Kenapa kembali?"

"Bu, Bunga punya karyawan yang harus Bunga urus. Satu hari saja. Biarkan Bunga mengatur seseorang untuk menggantikan tugas Bunga terlebih dulu."

Amirudin memberikan izin. Bunga pergi setelah sarapan. Ia menempuh perjalanan tiga jam menuju kota. Tiba di rumah, Ani berlari menyambutnya dengan senyum sumringah.

Gadis itu sudah seperti adik bagi Bunga yang seorang anak tunggal. Rasanya sangat menyenangkan memiliki seorang adik angkat yang bisa bermanja-manja padanya. Namun, ia tidak bisa tersenyum sekarang.

"Kak Bunga … marah, ya?"

"Kenapa kakak harus marah? Kita bicara di kamar kakak, ya," ujar Bunga sambil menutup pintu mobil.

Bunga menceritakan semuanya kepada Ani. Ia juga berpesan agar Ani menggantikan tugasnya selama ia berada di kampung. Ani merengek ingin melihat kakak angkatnya bertunangan, tapi Bunga tidak bisa memercayai orang lain untuk mengawasi produksi frozen food miliknya.

"Kalau begitu, Kakak harus merekamnya. Aku, kan, ingin melihat pertunangan, Kak Bunga," ujar gadis itu.

"Oke. Besok kakak akan kembali ke kampung. Kalau ada masalah di sini, jangan ragu untuk menelepon," ucap Bunga.

"Siap, Bu Boss. Hehe …."

Bunga tertawa kecil melihat tingkah manja Ani. Gadis itu baru saja kehilangan ibunya. Karena takut tinggal sendirian, ia pun tinggal bersama Bunga. Ani sebatang kara, karena ayah dan neneknya sudah lebih dulu pergi sebelum sang ibu.

Gadis itu mengemasi bajunya ke dalam koper. Ia akan tinggal selama dua minggu di sana, jadi ia membawa lebih banyak baju ganti. Di rumah orang tuanya, ia tidak memiliki baju yang bisa dipakai.

Semua bajunya rata-rata bekas remaja. Sementara, sekarang ia sudah dewasa. Bagi orang-orang kampung, dia sudah tua.

Teman-teman Bunga semuanya sudah menikah dan memiliki beberapa anak, sedangkan Bunga masih saja lajang. Kekecewaannya terhadap cinta dan laki-laki begitu dalam, sehingga ia tidak pernah memikirkan tentang mencari pasangan. Baginya, sendiri lebih baik.

Bunga membeli baju kebaya modern untuk dipakai saat pertunangan nanti. Ia tidak suka menyewa baju dari salon, karena ia tidak tahu sudah berapa banyak orang yang memakai baju itu. Bukannya sombong, tapi Bunga memiliki kulit yang sedikit sensitif.

Ia berjalan-jalan di mall sambil menenteng tas belanjanya. Kebaya dan beberapa aksesoris sudah didapat. Ia ingin mencari parfum kesukaannya, karena parfum di rumah sudah hampir habis.

Bruk!

"Kamu buta, ya?" hardik seorang wanita yang bertabrakan dengan Bunga.

"Maaf, Mbak. Saya tidak salah. Mbak-nya yang jalan sambil nunduk. Saya sudah coba menghindar," protes Bunga.

"Halah! Ngeles, aja. Ganti rugi sini!" Wanita itu menadahkan tangan kepada Bunga.

"Maaf?" Bunga menganga saat diminta membayar ganti rugi. Dia tidak bersalah dan wanita itu tidak terluka. Atas dasar apa Bunga harus mengganti rugi?

"Sudah buta, tuli juga. Aku bilang, kau harus ganti rugi," ulang wanita itu.

"Dasar wanita gila," ujar Bunga sambil melangkah pergi. Namun, wanita itu menahan pergelangan tangan Bunga.

"Mau kemana kamu? Bayar dulu!"

"Aku tidak mau!"

"Kamu!" Wanita itu naik pitam. Ia mengangkat tangan dan melayangkan tamparan keras.

Plak!

Bunga menutup mata rapat-rapat. Anehnya, meski sudah terdengar tamparan keras, tapi ia tidak merasakan sakit sama sekali. Ia membuka mata perlahan-lahan.

Di depannya, berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi dan atletis. Punggung yang terbalut kaos hitam ketat itu tampak kokoh dengan pinggang yang mengecil. Dari postur tubuhnya, seperti seorang binaragawan.

"Siapa kamu? Kenapa ikut campur urusanku dengan dia?" Wanita itu menarik tangan yang mencengkram tangan Bunga.

"Anda bisa membicarakan masalah baik-baik, Nona manis. Jangan melakukan tindakan kasar di depan umum," ucap laki-laki itu.

Laki-laki itu yang menahan tamparan yang hampir mengenai pipi Bunga. Namun, ia tidak menahannya menggunakan tangan, melainkan menggunakan pipinya. Pantas saja, Bunga mendengar suara tamparan.

Kenapa laki-laki ini membantuku? Tch .... Pasti' mau mencari perhatian. Maaf, aku bukan wanita bodoh.

Saat laki-laki itu sedang berdebat, Bunga diam-diam menyelinap pergi. Ia masuk ke dalam lift. Sebelum pintu lift tertutup sempurna, laki-laki itu menoleh. Bunga yang sedang menunduk, tidak melihat wajah laki-laki itu.

Tidak berperasaan sekali. Aku sudah mendapatkan tamparan demi melindunginya, tapi dia pergi begitu saja.

Laki-laki itu menggerutu dalam hati. Saat ia menoleh ke depan, wanita yang menamparnya juga sudah pergi. Ia tertawa kecil.

"Apa semua wanita seperti mereka? Benar-benar tidak berperasaan," gerutu Artha.

Ia sedang menemani Tania berbelanja dan tidak sengaja melihat Bunga sedang berselisih dengan seseorang. Niat hati ingin menjadi pahlawan, tapi gadis yang ditolongnya justru pergi begitu saja. Artha berlari hendak mengejar gadis itu, tapi sebuah tangan mencengkram kerah baju bagian belakang.

*Bersambung*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!