Sepupu terbaik

Wanita tadi sangat cantik dan manis padahal tidak memakai make-up sama sekali. Di zaman sekarang, jarang melihat wanita keluar rumah tanpa make-up.

Artha melamun membayangkan wajah Bunga. Jika urusan kecelakaan diperpanjang, ia memiliki banyak kesempatan untuk bertemu lagi dengan wanita itu. Namun, mereka sama-sama menganggap kecelakaan itu tidak pernah terjadi, sehingga Artha tidak bisa bertemu dengannya lagi.

"Sayang! Kamu kenapa, sih? Aku dicuekin dari tadi, loh. Kamu sudah lupa kalau aku ini pacarmu? Aku bukan patung," ucap Elena yang merajuk.

"Hah? Kamu mau shopping lagi?" Artha tidak mendengarkan ucapan kekasihnya.

Mulut Elena menganga lebar. Pertanyaan kemana, dijawab kemana. Merasa sedang diabaikan, Elena pun beranjak pergi dari cafe.

"Eh, Elena! Tunggu!" Artha segera membayar tagihan dan berlari mengejar gadis itu.

Gadis dengan rambut coklat bergelombang itu menghentikan sebuah taksi. Ia pulang tanpa menunggu Artha. Selama ini, mereka selalu saling memandang satu sama lain saat mereka pergi berkencan. Namun, hari ini Elena tidak hanya diabaikan, tapi laki-laki itu seperti sedang memikirkan gadis lain.

"Yah … dia ngambek. Bodo, ah," gerutu Artha. Ia menghela napas berat. "Bisa-bisanya, aku memikirkan wanita lain di depan Elena. Jelas saja dia marah."

Artha memilih pulang ke tempat sepupunya. Ia terlalu malas pulang ke rumahnya, karena pasti dia diceramahi lagi oleh ayahnya. Hendry Suryatama, sang ayah sangat berharap laki-laki itu bisa menggantikannya di perusahaan. Namun, Artha justru berhenti kuliah di semester kedua.

Tidak hanya tidak lulus kuliah, Artha juga lebih suka menghambur-hamburkan uang bersama teman-temannya. Apalagi jika sang kekasih, Elena Fransisca, meminta sesuatu, Artha akan memberikan semua uang sakunya tanpa tersisa. Definisi anak tidak berguna, selalu kata-kata itu yang keluar dari mulut sang ayah.

Tok! Tok! Tok!

Seorang gadis membuka pintu dengan malas. Jika ada suara bel pintu di atas jam makan malam, ia sudah bisa menebak siapa tamu yang datang berkunjung. Ia memiringkan kepalanya dan menatap dengan wajah merengut.

"Kenapa lagi? Bertengkar lagi dengan paman?"

"Bukan dengan ayahku, tapi Elena," jawab Artha sambil merangsek masuk melewati gadis itu.

Wajah Tania seketika berbinar. Ia menutup pintu dengan tergesa-gesa, lalu mengejar kakak sepupunya. Mendengar Artha dan Elena bertengkar, gadis itu justru terlihat bahagia.

"Seriusan? Kok, bisa?"

"Kamu bahagia sekali mendengar aku bertengkar. Tidak kasihan, gitu?"

"Tidak. Aku tidak menyukai gadis itu. Untuk apa harus merasa kasihan? Aku dan paman Hendry tidak menyukainya. Jadi, tidak ada belas kasihan untuknya," jawab Tania tanpa ragu.

"Kau ini~"

"Sudahlah. Aku ngantuk. Kalau mau makan, ada makanan di kulkas. Hangatkan saja. Jangan berisik atau akan kuusir!"

"Ya. Kejam amat," gerutu Artha sambil melemparkan jaketnya ke sofa.

Ia sangat suka tinggal di rumah Tania. Di samping rumah, Tania membuka toko kue. Gadis itu sudah kehilangan ayah dan ibunya. Tania sudah belajar hidup mandiri sejak masih sekolah menengah. Ia memilih membuka usaha toko kue dibanding melanjutkan kuliah.

"Tan! Aku mau melamar kerja di tokomu, dong. Biar bisa tinggal di sini," ujar Artha.

"Tidak ada lowongan!" Tania menjawab dari dalam kamar.

"Pelit!"

"Berisik! Aku harus bangun pagi-pagi karena besok ada pesanan. Kalau masih mengajakku bicara, aku akan sungguh-sungguh mengusirmu!"

Ancaman itu berhasil membuat Artha terdiam seketika. Jika ia diusir malam ini, hanya rumah ayahnya yang bisa dituju. Ia akan mendengarkan ocehan panjang lebar dari ayahnya jika pulang dini hari.

Ngomong-ngomong, tadi aku tidak makan apapun di cafe. Hah ... gara-gara kepikiran wanita yang menabrak mobilku, rasa laparku hilang. Sekarang, perutku jadi keroncongan.

Laki-laki itu bangkit dari sofa. Ia melangkahkan kaki ke dapur. Sesuai arahan Tania, ia membuka lemari pendingin. Artha terlalu malas untuk menghangatkan makanan itu dan memilih memakannya dalam keadaan dingin.

Ceklek!

Tania keluar dari kamar dan berlari ke dapur. Ia sangat mengenal sifat laki-laki itu. Benar saja dugaannya, Artha memakan makanan itu dalam keadaan dingin.

"Pemalas! Sini!" Tania mengambil makanan yang masih utuh dan menghangatkannya di atas kompor beberapa menit.

"Aku tahu ... kamu pasti tidak tega melihatku makan makanan dingin. Sama kaya sikap kamu yang dingin, nanti bisa bikin aku sakit perut," ujar Artha, menggoda gadis itu.

"Aku tidak peduli, tuh. Mau kamu sakit atau apa pun, aku tidak peduli. Masalahnya, kalau kamu mati di sini terus aku dituduh meracunimu," jawabnya dengan ketus.

"Hahaha ...."

Hati gadis itu tidak sejahat kata-kata yang dilontarkannya. Memang mulutnya pedas, tapi hatinya super baik. Artha sudah terbiasa mendengar kebohongan-kebohongan Tania yang mengatakan tidak peduli padanya padahal gadis itu jelas-jelas sangat peduli.

"Nih! Piringnya cuci sendiri," kata Tania. Ia mengambil segelas air mineral lalu meminumnya sampai habis dalam sekali tenggak.

"Terima kasih," ucap Artha.

Terkadang, ia merasa gadis itu seperti seorang ibu yang memperhatikan anaknya. Ya, Tania terlihat lebih dewasa dibanding Artha. Usia mereka hanya terpaut satu tahun, tapi cara mereka menyikapi sesuatu jelas berbeda sekali.

"Tidak tidur? Aku bisa makan sendiri tanpa ditemani, kok," kata Artha.

"Bagaimana aku bisa tidur saat kau datang kemari dengan perut kelaparan? Benar-benar, deh," gerutu Tania.

"Hehe …."

Artha hanya memamerkan senyum kuda. Ia lebih tua satu tahun dari Tania, tapi diperlakukan seperti anak kecil oleh gadis itu. Namun, ia tidak tersinggung sama sekali. Justru sebaliknya, Artha semakin menyayangi Tania.

***

Bunga berbaring di kamarnya dengan gelisah. Teringat kembali dengan percakapannya dengan sang ayah beberapa saat yang lalu. Amirudin, sang ayah meminta Bunga untuk menerima perjodohan.

(Usiamu sudah berapa, Nak? Ayah sudah sakit parah. Keinginan ayah cuma satu, ingin melihatmu menikah sebelum ayah mati.)

"Hah …." Bunga menghela napas berat.

Dua bulan lagi, ia akan genap berusia tiga puluh satu tahun. Wajar saja jika kedua orang tuanya sangat mengkhawatirkan kehidupan percintaannya. Sejak ditinggal menikah oleh kekasihnya, Bunga tidak terlihat tertarik pada laki-laki.

"Apa salahnya tidak menikah. Di luar negeri sana, banyak yang memutuskan untuk menjadi lajang selama sisa hidupnya. Aku masih belum ingin menikah," gumamnya sambil menatap kaca jendela kamar yang sengaja tidak ditutupi tirai.

Bulan malam ini sangat indah, tapi hati gadis yang sedang menatap bulan itu justru sedang muram. Sekalipun Bunga bisa menolak perjodohan kali ini, bisa dipastikan akan ada perjodohan lainnya. Bunga sudah lelah menolak keinginan kedua orang tuanya.

"Atau … aku terima saja perjodohan ini. Bertunangan saja dulu, jadi ayah dan ibu tidak akan mendesakku untuk mencari pendamping lagi. Nanti, aku akan memikirkan cara agar laki-laki itu jenuh padaku dan menikah dengan gadis lain."

Bunga pun memutuskan untuk menerima perjodohan dengan anak sahabat ayahnya. Tanpa tahu rupa dan nama, ia akan menerima perjodohan itu. Berbagai rencana untuk membuat laki-laki itu bosan pun mulai disusun di dalam benaknya.

*BERSAMBUNG*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!