"Sudah selesai jadi pahlawan?"
"Hah?" Artha tercengang ditanya oleh Tania. Ternyata seseorang yang menarik kerah kemejanya adalah gadis itu, adik sepupu yang sedang diantar berbelanja.
"Aku melihat semuanya. Apa kau mengenal gadis tadi?"
"Yang mana?"
"Dua-duanya. Kamu bahkan rela ditampar demi melindungi gadis itu. Jadi, siapa dia? Ayo katakan padaku," desak Tania sambil menyenggol lengan Artha.
"Salah satunya pernah bertemu di jalan, tapi aku tidak tahu namanya," jawab Artha sambil meraih tas belanja milik Tania.
Mereka berjalan beriringan seperti sepasang kekasih. Apalagi, Artha yang membawakan tas belanja, pandangan semua wanita tertuju pada mereka. Para wanita itu sangat iri kepada Tania karena memiliki kekasih yang gentle seperti Artha.
"Lagi, lagi, pandangan itu. Kamu lihat? Mereka selalu menganggapku sebagai pacarmu," gerutu Tania.
"Tidak apa-apa, lah. Kalau aku tidak dapat istri di luar, aku nikahi kamu saja. Sepupu boleh nikah, kok," kelakar Artha.
"Iyuh! Gue yang gak mau punya laki model gini," balas Tania sambil menunjuk wajah kakak sepupunya.
Tania terus mendesak Artha untuk menceritakan soal gadis yang ditolongnya. Entah kenapa? Tania merasa lebih tertarik mendengar cerita tentang gadis asing itu dibanding saat Artha cerita soal Elena.
Dari sikap laki-laki itu, Tania menyimpulkan bahwa, Artha jatuh cinta kepada gadis itu. Jujur, ia lebih suka jika Artha menjalin hubungan dengan gadis lain. Elena terlalu manja bagi Tania yang biasa hidup mandiri. Belum lagi, dia banyak menuntut, padahal masih sebatas pacaran.
Tania khawatir, jika Artha menikah dengan Elena, gadis itu tidak bisa menerima kekurangan Artha. Elena selalu menuntut semua kesempurnaan di dalam segala hal. Jika ia meminta perhiasan, ia hanya ingin dibelikan berlian, tas branded, makan di resto super mewah. Semua itu terlalu berlebihan di mata Tania.
Artha membukakan pintu mobil untuk Tania. Saat gadis itu sudah memasang sabuk pengaman, ponselnya berdering. Lagu favoritnya terdengar sebagai nada dering panggilan.
"Siapa?" tanya Artha sambil menyalakan mesin mobil.
"Ayahmu. Bagaimana ini? Angkat tidak?"
"Angkat saja, tapi jangan katakan aku bersamamu." Artha menginjak pedal gas dan melaju meninggalkan parkiran mall.
"Halo, Om."
"Hallo, Tan. Apa Artha ada bersamamu?"
Artha mendengarkan pembicaraan Tania dan Hendry, ayahnya. Panggilan sengaja di-loudspeaker agar laki-laki itu juga mendengarnya. Tania malas jika harus menceritakan pembicaraannya dengan Hendry, karena itu ia sengaja membuat Artha mendengarnya secara langsung.
"Tidak, Om. Ada apa, ya, Om?"
"Kalau dia pergi ke rumahmu, tolong kamu suruh dia pulang. Ibunya sakit keras."
Ciitt!
Artha seketika menginjak rem. Ia paling lemah jika sudah mendengar ibunya sakit. Panggilan telepon berakhir dan ia pun mencarikan taksi untuk Tania.
"Aku harus pulang sekarang juga. Kamu pulang naik taksi," ucap Artha setelah mendapatkan taksi.
"Oke. Hati-hati bawa mobilnya. Salam buat om dan tante," ujar Tania sambil menutup pintu.
Apa benar tante sakit? Om Hen tidak terdengar cemas sama sekali. Sepertinya, mereka sedang berbohong.
Tania mengenal Hendry dengan baik. Dia sangat mencintai istrinya. Jika benar Khumaira sakit, dia pasti sangat panik.
***
"Ma! Mama!" teriak Artha ketika tiba di teras rumah.
Ia berlari sampai terjatuh di depan pintu. Begitu paniknya Artha mendengar ibunya sakit. Matanya melebar saat wanita yang katanya sedang sakit itu justru sudah berdandan rapi.
"Ma … ma! Katanya sakit? Kenapa malah pakai kebaya dan …." Artha masih belum mengerti apa yang mereka lakukan.
"Tidak perlu banyak bicara. Cepat ganti bajumu dengan setelan jas. Kita akan pergi keluar kota," kata Hendry, laki-laki berdarah etnik campuran. Ibunya seorang pribumi dan ayahnya merupakan keturunan tionghoa.
Ia menikahi Khumaira setelah menjadi mualaf. Mereka hanya bisa memiliki dua orang anak saja, karena Khumaira mengalami penyakit yang membuat rahimnya harus diangkat. Putra pertama mereka bekerja di tambang minyak di luar negeri.
"Ada acara apa?" selidik Artha.
"Sudah dibilang jangan banyak tanya. Cepat pergi sana!" hardik Hendry.
"Iya, iya. Marah-marah melulu. Nanti cepat tua, loh, Pa," seloroh Artha.
Hendry melempari laki-laki itu dengan sandal rumah. Namun, tidak berhasil mengenai Artha. Ya, karena ia hanya berakting saja.
Khumaira geleng-geleng kepala. Ayah dan anak itu selalu seperti itu jika bertemu. Terkadang, Khumaira sangat berharap putra sulungnya tinggal di dalam negeri bersama mereka. Rumah itu pasti lebih ramai dan hangat.
Tiga puluh menit kemudian, Artha turun dengan setelan jas hitam yang sangat pas di tubuhnya. Ia suka dengan pakaian yang sedikit ketat, karena menurutnya itu terlihat macho. Artha diminta untuk mengemudi oleh ayahnya.
"Kenapa tidak pakai sopir saja, sih, Pa?"
"Banyak protes. Sudah, kamu saja yang nyetir," jawab Hendry sambil merogoh ponselnya. Ia membaca pesan dari sahabatnya dengan wajah sumringah.
Artha melirik dari kaca spion atas. Laki-laki itu ikut tersenyum melihat ayahnya tampak bahagia. Ia memang sering membantah, tapi ia tipe anak yang sangat menyayangi kedua orang tuanya. Khumaira juga tersenyum tipis.
Ada apa sebenarnya? Papa dan mama terlihat sangat bahagia. Apa yang membuat mereka seperti itu?
Artha ingin bertanya, tapi takut membuyarkan kebahagiaan kedua orang tuanya. Lagipula, melihat penampilan kedua orang tuanya, Artha pikir mereka akan pergi ke pesta. Andai ia tahu, mereka akan pergi ke pesta pertunangan.
Tiba di kota tujuan, mereka tinggal di sebuah president suite hotel bintang lima. Artha semakin penasaran, tapi lagi, lagi, ia hanya bisa menahan rasa ingin tahunya. Besok, ia akan tahu sendiri, pikirnya.
"Ini sangat aneh. Kalau mau pergi menghadiri pesta, kenapa harus menginap di hotel dulu? Kenapa tidak langsung ke tempat pesta, baru pergi ke hotel?"
Artha berguling-guling di tempat tidurnya dengan pikiran yang berputar di otak. Dipikirkan seperti apa pun, ia tetap merasa bingung. Kedua orang tuanya tampak bahagia, tapi seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Aku tidak bisa tidur. Tidak bisa! Aku tidak mau mati karena penasaran. Lebih baik bertanya pada mereka," gumam Artha.
Ia keluar dari kamar. Bertepatan dengan itu, kedua orang tuanya sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Mereka mengajak Artha berbicara di ruang tamu.
Mereka memberitahu bahwa, mereka akan menjodohkan Artha dengan anak dari sahabatnya yang tinggal di kota itu. Betapa terkejutnya laki-laki itu. Ia ditipu untuk datang ke kota itu dan akan dijodohkan dengan gadis yang belum pernah ditemuinya sama sekali.
"Ck! Papa dan Mama pikir, Artha hanya sebuah barang? Kalian tidak bertanya apa pendapat Artha dan langsung mengadakan pesta pertunangan. Artha menolak!" ucap laki-laki itu.
Namun, Hendry tiba-tiba memegangi dadanya sesaat setelah Artha menjawab. Artha dan Khumaira pun panik. Sang istri bergegas pergi ke kamar. Ia mencari obat milik suaminya.
Dengan tangan gemetaran, ia memasukkan obat itu ke mulut Hendry. Artha terduduk lemas melihat ayahnya sesak napas, wajahnya memerah. Ia bernapas lega setelah beberapa menit akhirnya napas Hendry kembali normal.
Kalau sudah begitu, Artha hanya mampu mengikuti keinginan ayahnya. Laki-laki itu menerima perjodohan dan merelakan cintanya kandas. Lagipula, dia tidak pernah mendapatkan restu untuk menjalin asmara dengan Elena.
*BERSAMBUNG*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments