***
Menjadi perjaka bertahun-tahun sangat sulit. Ardian tak pernah ingin tergoda dan mengikuti nalurinya. Jika sudah seperti ini, dia akan sulit menahan diri.
"Stop! masuk ke dalam lagi," perintahnya saat melihat Rindu mendekat, wanita itu pun berhenti.
Rindu tersenyum geli dalam hatinya. Dia tau Adrian akan seperti ini. Tadi dia terpikir untuk menjahili sahabat lamanya itu. "Rasain kamu! memangnya bisa tahan kalau begini?" Rindu cengar-cengir sendiri di belakang pintu, setelah kembali ke kamar.
"Rin ... size kamu berapa?" tanya Ardian dari luar. Rindu pun menyebutkan ukuran yang biasa dia pakai, tanpa malu.
"Wow, cukup besar," otak nakal Ardian mulai bekerja, dia tersenyum mesum. Ardian menepuk pipinya sendiri agar tersadar dari pikiran mesum itu. Ardian mengambil ponsel lalu menghubungi asistennya untuk mengirim pakaian, piyama, serta dalaman.
Tak lama seorang pegawai dari toko pakaian komplek apartemen itu mengantarkan barang pesanan Ardian. Akhirnya dia bisa bernafas bebas, melihat pemandangan seperti tadi bisa membuat imannya jebol seketika.
Rindu keluar dari kamar dan mengambil ponselnya. Sedangkan Ardian masuk ke ruang kerja. Rindu mencari kontak sang mama dan membuat panggilan video. Guna menanyakan kabar putri kecilnya.
"Hai, Sayang." Rindu melambaikan tangannya ke layar.
"Bunda …! Kapan bunda pulang?" Kanaya yang sudah mulai bijak memanyunkan bibirnya.
"Bunda masih kerja, Naya sama oma dulu yah! Besok bunda pulang. Naya jangan nakal ya, Sayang."
"Iya, Bunda … Naya kangen, Bunda."
"Iya, Sayang. Bunda juga kangen, Naya baik-baik ya sama Oma."
"Iya, Naya janji mau nurut sama, Oma," jawab gadis kecil tiga tahun itu dan mengangguk. Kanaya pun menyerahkan ponsel pada omanya. Celotehan khas Kanaya membuat Rindu ingin segera memeluknya.
"Rin ... besok pasti pulang, kan? Ada kerjaan dari kantor apa kafe, Rin?"
"Iya, Ma. Kafe lagi ada acara di luar kota. Rin diminta gantikan orang. Ini juga dadakan, Ma. Nggak sempat kabarin Mama juga. ini Rin sedang istirahat di hotel. Maaf ya, Ma." Rindu terpaksa berbohong pada mamanya.
"Iya, nggak apa-apa, Sayang. Tadi juga ada yang datang kasih tau ke rumah. Kamu baik-baik ya di sana."
"Iya, Ma."
"Ya sudah, kalau gitu. Kanaya juga udah ngantuk, matikan dulu aja." Dahlia memutar ponsel itu. "Naya, dadah dulu sama bunda."
"Dadah … Bunda … muach!"
"Dadah … Sayang … muach."
Ternyata Ardian melihat semua itu, tanpa sepengetahuan Rindu. Dia terenyuh, melihat kedekatan Rindu dengan gadis kecil yang lucu itu. Pasti sulit bagi Rindu hidup tanpa pendamping. Mengurus anak yang masih kecil serta menjadi tulang punggung keluarga. Hanya laki-laki bodoh dan tidak bertanggung jawab yang sanggup meninggalkan keluarga begitu saja.
"Erghm …." Ardian berdehem. Rindu menoleh kebelakang.
"Ah, Ardi? Ngagetin aja kamu." Ardian pun duduk di sampingnya.
"Sudah selesai telponannya?"
"Sudah."
Adrian tersenyum dan mengangguk. "Mau makan malam dulu?"
"Boleh deh, kebetulan lagi laper."
"Tunggu sebentar, aku buatkan sesuatu." Ardian bangkit dan pergi ke dapur.
Kening Rindu mengerut. "Kamu mau masak?" Dia mengekori langkah pria itu.
"Iya."
"Wow ... sejak kapan seorang Ardian bisa masak?"
"Sejak Papa mengirimku kuliah di Amerika, aku dipaksa untuk mandiri, uang saku pas-pasan, bahkan aku harus bekerja sambil kuliah." Ceritanya seraya mengeluarkan bahan makanan.
"Benarkah?" tanya Rindu menaikkan pinggul di kursi mini bar. Kedua tangan dilipat ke meja.
"Kehidupan di sana sangat sulit, beruntung aku ketemu Eja. Dia mengajarkanku mandiri dan membantuku mencari pekerjaan. Dia satu-satunya teman terdekatku dan sekarang menjadi asisten kepercayaanku." Cerita Ardian tentang masa kuliahnya.
Sedari dulu Rindu tau gimana tegasnya keluarga Ardian cara mendidik. Sebagai putra satu-satunya, tentu saja Ardian menjadi kebanggaan. Untuk menjadi pewaris keluarga, harus belajar sedari awal.
"Oo … kamu mau masak apa? Sini kubantu!" Rindu melihat pria itu sangat terampil memakai pisau dapur.
"Boleh, bisa bantu menggoreng ikan?"
Rindu pun bergerak cepat, mencuci ikan, membumbui dan mengoreng. Ardian tersenyum memperhatikan setiap gerak geriknya. Sesekali mereka bercanda dan bercerita banyak hal.
Dulu waktu SMA, Rindu suka memasakkan makanan untuk teman-temannya ketika datang kerumah. Ardian selalu suka apapun yang Rindu masak.
Ardian menumis sayuran, membumbui dan mengaduk di atas wajan. Terlihat terampil dan sudah biasa melakukannya. Rindu melihat dengan takjub. Cara pria itu menggerakkan spatula terlihat sexy dimata Rindu. Ardian mencubit hidungnya, dia pun tersentak dari lamunan. Mereka saling pandang dan tersenyum.
"Ok, selesai!" Ardian berseru setelah menata makanan di meja. Dia terlihat senang karena makan malam hari ini tidak sendirian. Ada Rindu, dan Ardian pasti akan sangat menikmati makanannya.
"Ardi, ini minumannya." Rindu meletakkan glass teapot di meja. Teh hangat yang diberi irisan lemon segar, minuman kesukaan Ardian sejak dulu.
"Kamu masih ingat kesukaanku?"
"Tentu saja," jawabnya tersenyum manis, Ardian membalas senyum itu.
"Baiklah, ayo mulai makan!"
Mereka pun duduk dan mulai menikmati hasil masakan mereka berdua. Makan malam yang sederhana, Ikan goreng dan beberapa tumisan sayuran berbahan seafood.
"Mmmm … ini enak! hebat kamu bisa masak seenak ini. Seperti masakan chef profesional," kicau Rindu dengan ceria.
"Benarkah? kamu bisa makan masakanku setiap hari jika kamu mau?"
"Oya?"
"Tentu, tapi ada syaratnya?"
"Syarat apa?"
"Jadi istriku."
"Prruuupp … huk … huk … huk .…" Rindu tersedak tepat sedang mengunyah makanan. Ardian bangkit lalu menepuk-nepuk pundak wanita itu.
"Hei, hati-hati … minum ini pelan-pelan." Ardian mengambilkan minuman dan membantu Rindu minum.
"Ini gara-gara kamu becanda kelewatan!" protes Rindu.
"Aku nggak becanda," akunya saat kembali duduk. Matanya menatap Rindu dengan tulus.
"Hahaha, sudahlah, Ardi." Rindu sengaja tertawa untuk menghindari obrolan itu.
"Rin ... aku serius, alasanku datang mencarimu mau menjadikanmu istriku."
Rindu melirik sebentar lalu membuang napas dan memejamkan mata sesaat.
"Ardi, aku sudah pernah menikah." Terpancar kesedihan dari sorot mata Rindu.
Ardian mengangguk dan tersenyum tipis. "Aku tahu."
Rindu diam, dia tidak ingin melanjutkan obrolan. Tidak tahu apakah Ardian benar-benar serius dengan perkataannya. Rindu menganggap itu hanyalah candaan. Rindu pikir mungkin Ardian sudah melupakan perasaannya, setelah bertahun-tahun tidak bertemu.
Kenyataannya tidak. Cinta Ardian tidak pernah berubah. Dia benar-benar tulus pada Rindu sejak dulu. Tidak peduli wanita itu pernah menikah atau belum. Tidak ada yang berubah, bahkan cintanya semakin dalam sekarang. Ardian pernah berpikir untuk hidup membujang ketika tahu Rindu telah berkeluarga.
Tidak ada pembicaraan apapun lagi di antara mereka hingga selesai makan. Rindu tampak kehilangan mood-nya. Ardian tidak ingin lagi merusak suasana. Dia membiarkan sementara menunggu waktu yang tepat untuk membicarakannya.
Menunggu sebentar lagi bukan masalah bagi Ardian.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
delissaa
rindu masih trauma lah gak mudah buat Ardi naklukin hati rindu
2022-10-12
2
Rizki Al-Mubarok
'ke rumah' di pisah kan, Mak? Itu kata tempat, kan?
2022-10-12
1