Episode 4

Bi Mumun menyuapiku dengan berlinang air mata, "Bibi bener-bener kangen sama Non Nona. Ngga nyangka kita bisa ketemu di sini."

"Non juga kangen sama Bibi. Sejak Mama sama Papa cerai, Non ga pernah lagi denger kabar tentang Bibi," aku kesulitan menelan makanan karena air mata yang terus menderas.

Tok tok tok!

Wanita yang memelukku saat baru saja datang, masuk ke kamar. "Nak Nona makan yang banyak ya, habis itu istirahat. Besok ada yang akan kita bicarakan."

Aku menatapnya lekat, "Membicarakan apa ya Bu?" Firasatku berkata jika hal yang akan dibicarakan adalah tentang pernikahanku dengan Pak Wito.

"Jangan panggil Bu atuh, panggil saja Ambu," ucapnya sambil tertawa. "Sudah, jangan banyak berpikir, istirahat saja. Kalau butuh apa-apa bilang ke Bi Mumun ya?"

Ambu mengelus kepalaku lembut sebelum keluar dari kamar. Sentuhan lembut Ambu membuatku merasakan kasih sayang tulus dari seorang ibu.

"Bibi udah nyiapin handuk sama perlengkapan mandi di kamar mandi kalau Non Nona mau bersih-bersih. Kalau ada apa-apa, panggil Bibi aja ya Non. Kamar Bibi di bawah, tepat di samping tangga," Bi Mumun menatapku lekat. Entah kenapa aku melihat kesedihan di sana.

"Iya Bi, makasi banyak ya Bi," aku merentangkan tangan dan memeluk Bi Mumun.

***

"Pak Wito mau bicara sama saya?" Aku memasuki ruangan yang dipenuhi rak berisi buku-buku.

'Ngga buruk juga kayanya tinggal di sini. Bisa nyibukin diri dengan baca buku," batinku.

"Jangan panggil saya Pak Wito, Nak. Panggil saja Abah. Abah dan Ambu mau memperkenalkan kamu dengan seseorang, selain itu ada juga hal lain yang akan kami bicarakan."

Aku hanya diam dan mengangguk. Aku sudah menyerah, aku hanya akan membiarkan apapun, apapun yang akan terjadi.

***

Ambu masuk dengan seorang pemuda sepantaranku berpakaian setelah biru khas dokter. "Lama ngga ketemu ya Non?" ucapnya tersenyum.

Aku tanpa sadar berdiri dan menatapnya yang sedang mengulurkan tangan. Lagi-lagi sekelebatan ingatan dari masa lalu menyeruak ke permukaan.

"Utta?" ucapku lirih dan menyentuh tangannya.

Pemuda itu tertawa dan menggenggam kedua tanganku erat, "Iya Non, ini aku Utta, Putra."

Putra adalah temanku bermain saat kecil saat orang tuaku pergi mengunjungi temannya di kota ini. Hari ini aku sadar, jika dulu rumah Ambu dan Abah-lah yang kami kunjungi. Ingatan tentang Putra semakin menjelaskan semuanya.

Badanku secara tiba-tiba menggigil dan menyadari satu hal. Aku akan menjadi istri kedua ayah Putra, yang berarti, aku ibu tirinya.

***

"Abah maaf, bisakah saya bekerja seumur hidup dengan Abah untuk melunasi uang yang diminta mama?"

Aku sudah tidak tahan lagi, kenyataan jika aku harus menikah dengan seseorang yang dulu pernah sangat dekat dengan keluarga kami membuatku nekat bertanya.

Di hadapanku, Abah dan Ambu saling berpandangan dan kemudian tertawa lepas. "Ya Allah Non, maaf, Abah lupa ngasi tau. Jadi sebetulnya, Abah datang ketemu mama kamu itu memang untuk meminang kamu. Tapi bukan buat Abah, buat si Utta nih. Kesibukannya bikin dia ngga punya waktu buat nyari istri. Pas kebetulan kami juga tau kalau Nak Nona itu cinta pertama Utta."

Abah kembali tertawa, begitu pula dengan Ambu. Sedangan Utta, entah kenapa wajahnya memerah.

"Jadi sebenernya saya bukan mau menikah sama Abah?" tanyaku masih tidak percaya.

"Hahaha, ya ngga atuh Non. Abah mah tipe yang cukup dengan seorang pendamping. Insya Allah sampai surga. Ngga ada kepikiran kalau Abah mau nambah lagi," ucap Abah terkekeh.

Aku menunduk karena malu teramat sangat. Selain itu aku juga merasa bersalah karena sudah berprasangka buruk.

"Kami ngga akan maksa kalian untuk nikah sekarang. Walaupun dulu kalian berteman akrab, tapi pasti sekarang canggung lagi. Penjajakan aja dulu, jika cocok alhamdulillah, jika ngga ya berarti belum jodoh," Ambu menambahkan dengan lembut.

"Terima kasih Abah, Ambu," ucapku tercekat.

***

"Ya Allah, terima kasih atas semua keberkahan yang hamba terima. Terima kasih sudah mempertemukan dengan Bi Mumun serta Abah dan Ambu. Terima kasih untuk semua kebaikan yang hamba terima.

" Ya Allah, lindungilah kedua orang tua hamba di manapun mereka berada. Lindungilah mereka, sayangi mereka dan lembutkanlah hati mereka. Engkau sebaik-baiknya tempat memohon. Aamiin."

***

Setelah beberapa hari menginap di rumah Abah dan Ambu, aku kembali ke Jakarta dengan menggunakan travel. Mereka semua terutama Utta memintaku untuk segera memberi kabar jika sudah sampai. Meninggalkan mereka menciptakan kesedihan di hati karena perlakuan mereka yang begitu hangat.

***

Dok dok dok!

Saat sedang merebahkan diri, pintu kosanku di gedor dengan sangat kencang.

"Papa?" tanyaku tidak percaya. Tanpa mengucap kata sedikitpun papa dan istrinya masuk.

"Kata Mamamu, kamu mau nikah sama temennya?!" tanya papa tajam.

Aku hanya diam dan mengangguk.

"Kalau begitu, tanggung semua biaya Papa perbulan. Kalau tidak, jangan harap Papa mau menjadi wali nikahmu."

Perkataan papa membuatku mengangkat wajah, "Maksudnya, Nona harus membiayai Papa?"

"Iyalah! Kamu be*go ya, ngga langsung ngerti maksud dari perkataan Papa kamu," ucap istri Papa ketus.

"Syarat dari Papa hanya itu, jika kamu setuju, Papa akan menjadi wali nikah kamu. Jika tidak, siap-siap kamu jadi perawan tua seumur hidup!" lantang papa.

Lagi-lagi hatiku diti*kam belati tak kasat mata. Air mataku hampir jatuh dan aku mencengkram tanganku kuat-kuat.

"Insya Allah ngga akan seumur hidup Pa. Karena setelah Papa meninggal kelak, Nona pasti akan menikah," ucapku lirih.

Terpopuler

Comments

alena

alena

aku pengen nabokin papa sm mamanya si nona boleh ga sih 😡
bikin emosi aja kelakuan nya

2023-04-11

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!