Episode 2

"Para orang tua terlalu gampang melabeli anak-anak mereka dengan kata-kata anak durhaka. Mereka lupa, jika mereka sebagai orang tua pun bisa dzalim." - Nona

***

"Minta uang!"

Baru saja memasuki halaman tempat kost, aku sudah ditodong oleh istri papa. Tanpa menjawab, aku melepas sepatu dan membuka pintu. Sosok di belakangku ikut masuk dan duduk di sofa.

"Kost kamu mewah juga. Harusnya kamu pindah ke tempat yang lebih kecil, kan uang lebihnya bisa dikirim ke papamu!" Dia berdiri dan mengamati tempat tinggalku. "Heh bi*su! Denger ngga? Saya ke sini disuruh papa kamu buat ambil uang!"

"Ngga ada uang lagi, saya belum gajian!" ucapku ketus.

Wajah istri papa memerah mendengar perkataanku, "Anak durhaka kamu! Papamu sendiri minta uang ngga mau kamu kasih! Kamu bisa jual barang berharga kamu buat papa kamu! Jangan jadi anak gak tau balas budi dong!"

Aku menghembuskan nafas kasar, "Jadi intinya kalau saya ngga mau ngasi uang karena saya sendiri juga ngga punya uang, tandanya saya durhaka?"

"Iyalah! Dulu juga papa kamu bela-belain banyak buat ngerawat kamu. Tau diri dong, seumur hidup, kamu ngga akan bisa balas jasa papa kamu!" tambahnya lagi.

"Mohon maaf, tapi dari dulu saya terbiasa mengurus diri saya sendiri dengan bantuan pembantu daripada orang tua saya. Jadi, budi mana yang harus saya balas?" ucapku penuh penekanan. "Seharusnya papa ngga mengambil keputusan menikah dengan anda, jika untuk membiayai dirinya sendiri saja beliau tidak mampu. Jangan dikira saya bodoh, saya tau uang pemberian saya digunakan oleh anda dan putri anda untuk bersenang-senang."

"Lancang kamu! Saya mama sambung kamu, yang artinya kamu harus hormat dan patuh terhadap saya!"

"Saya selalu hormat pada orang yang bersikap baik pada saya walaupun bukan keluarga dan akan patuh pada orang yang tulus menyayangi saya. Sayangnya, saya ngga melihat kedua hal itu dalam diri anda. Jadi, yang harusnya tau diri di sini itu adalah anda. Silakan pulang, dan beritahu papa, semenjak dia mengusir saya dari rumahnya saat terakhir kali saya berkunjung ke sana, saat itu pula saya hentikan semua pembiayaan yang selama ini saya tanggung. Atau anda dan papa lebih suka jika di sebut benalu?" Aku masih berusaha menahan emosi dalam nada suaraku.

"Benar-benar anak durhaka!" ucapnya geram.

"Ngga masalah. Allah Maha Mengetahui, jika saya memang anak durhaka, saya akan mendapat ganjarannya dan itu bukan urusan anda. Silakan pulang, karena anda sudah sangat mengganggu."

Istri papa menuju pintu keluar dengan muka merah padam. Dengan sekuat tenaga ia menutup pintu sehingga kaca jendela ikut bergetar. Aku duduk di sofa, berusaha meredakan amarah yang hampir tidak bisa kutahan.

***

"Ya Allah, hamba sangat menyayangi kedua orang tua hamba. Tapi kenapa perlakuan mereka selalu membuat hamba sedih, selalu membuat hamba sakit... Hati ini sakit... Hamba harus bagaimana? Hamba harus bersandar pada siapa?" Aku kembali mengadu pada Tuhan Semesta Alam untuk kejadian yang tadi sore kualami.

Masih dengan mengenakan mukena, aku bangkit dan duduk dipinggir tempat tidur. Memoriku memutar cerita dari almarhum nenek dari pihak mama. Beliau mengatakan jika kedua orang tuaku dijodohkan. Mungkin karena itulah, keduanya bersikap biasa saat aku hadir dan cenderung tidak mengurusku. Dan sekarang, mereka menuntutku untuk membalas budi.

***

[Kirim uang sekarang!]

Sebuah pesan dari nomor baru membuyarkan lamunanku.

[Siapa ini?]

[Ini Mama, anak sia*lan!]

[Oh Mama. Maaf Ma, Nona ngga ada uang. Minta aja ke suami Mama, jangan bisanya jadi benalu yang cuma tau makan, tidur dan buang-buang uang]

[Heh, anak si*al! Jaga bahasa kamu! Seharusnya kamu senang Mama mengirim pesan, karena tandanya Mama membuka pintu maaf buat kamu! Seharusnya kamu ikutin perkataan Mama!]

Aku mengusap air mata yang kembali tumpah.

[Dan seharusnya Mama cukup tau diri. Minta uang kok sama anak sia*lan. Minta aja ke suami Mama.]

Aku langsung memblokir nomor tersebut dan berniat untuk mengganti nomor besok.

***

Aku terbangun dengan kepala berdenyut karena menangis semalaman, untungnya kacamata membuat mata sembabku agak tersamarkan. Dengan melewatkan sarapan, aku bergegas pergi ke kantor.

***

Sepulang kerja, aku bertemu dengan seorang lelaki seumuran papa yang duduk di kursi teras.

"Maaf, cari siapa ya pak?" tanyaku penasaran.

Lelaki itu menatapku dengan ramah, "Saya Wito, mau bertemu dengan ananda Nona."

"Iya pak, saya Nona. Tunggu sebentar, saya ambilkan minum dulu. Maaf, saya ngga bisa mempersilakan bapak masuk, ngga enak sama penghuni lain," aku bergegas membuka pintu dan masuk ke dalam.

"Jadi, ada keperluan apa ya pak?" tanyaku setelah menyajikan secangkir teh di hadapan beliau.

"Saya temannya Bu Ratih dan bermaksud untuk menjemput Nak Nona," jawabnya seraya meraih cangkir teh. "Saya sudah meminang ananda, dan memberikan uang seratus juta pada Bu Ratih."

Aku membeku mendengar ucapan lelaki ini, ternyata dia adalah teman mama yang ingin menikahiku. Dengan tergesa aku mengambil ponsel dan seketika memaki dalam hati saat menyadari jika nomor baru mama sudah ku hapus.

"Ngga usah repot-repot menelepon Bu Ratih, beliau dan suaminya sudah pergi liburan ke Bali."

Kata-kata lelaki itu membuatku lemas dan kehilangan kekuatan menopang tubuh. Dengan bunyi yang nyaring, aku terduduk di lantai.

Terpopuler

Comments

yamink oi

yamink oi

nyimakkk kak

2023-03-14

7

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!