Bocah laki-laki itu mengayunkan kaki kecilnya yang tidak beralas menuju ke kursi tunggu penumpang. Keadaan di sini sekarang sudah cukup sepi karena hujan yang turun dengan derasnya selepas magrib. Beberapa penumpang hilir mudik dengan air yang menetes perlahan dari baju mereka dan meninggalkan jejak tetesan air di lantai. Para petugas stasiun berinisiatif menaruh dus yang sudah dilepas lipatannya, untuk mengantisipasi ada orang yang terpeleset. Seperti itulah hidup, harus terus berjalan apapun yang terjadi. Tanpa peduli dengan cuaca dan keadaan, orang-orang tersebut berada di sini untuk sebuah harapan.
Seperti bocah itu. Ia mengeluarkan tumpukan koran yang usang dari dalam balik kaus lusuhnya. Dengan bagian baju yang masih kering, ia mengusap tetesan air yang terserap kertas korannya. Benda itu seolah menjelma menjadi barang berharga untuk dirinya.
***
"Koran! Korannya, Pak. Korannya, Bu!" Suara lantang bocah itu menggema tertelan keramaian dan hiruk pikuk penumpang saat pagi. Di saat anak lain seusianya pergi sekolah, bocah itu malah terdampar di sini untuk mengais uang recehan dari penumpang yang membeli dagangannya. Di sela-sela waktu, terkadang bocah itu membaca koran yang menjadi alat pencari nafkahnya.
"Aku ingin jadi masinis," ucapnya tersipu pada beberapa porter yang sedang beristirahat.
"Aamiin," serentak semua yang mendengar mengaminkan ucapan yang terlontar dari bibir bocah itu. Di saat semua terasa mustahil, doa akan selalu menjadi jalan keluarnya.
***
Bocah kecil itu berjongkok di sebelah kursi tunggu paling ujung. Seorang porter menyuruhnya duduk di kursi namun ia menolak. Ia tidak berani duduk di atas kursi karena beberapa penumpang berpenampilan bersih sedang duduk di situ. Wajahnya pucat, mungkin karena lapar karena dari pagi aku belum melihatnya makan sesuatu. Koran dalam dekapannya masih menumpuk tinggi. Hari ini, belum ada seorang pun yang membeli koran dagangan bocah itu walaupun dengan alasan kasihan.
"Hei Nak, sini!" seorang petugas stasiun memanggilnya mendekat. Ia menyodorkan mie instant dalam kemasan gelas pada bocah itu yang balas menatapnya tidak mengerti.
"Ini ambil, makan dulu sana. Jangan sampai kamu jatuh sakit, nanti tidak ada yang merawat nenekmu," ucap petugas tersebut.
Dengan mata berkaca, bocah itu mengambil mie instan yang disodorkan padanya. "Terima kasih banyak, Pak," ucapnya lirih. Ia berbalik ke tempatnya berjongkok dan mulai makan. Aksinya dilihat oleh petugas yang memberikan mie instan dengan wajah iba. Saat berbalik, petugas itu merogoh sakunya dan melihat jika tinggal uang koin yang ia miliki.
"Jadi mau pesan mie instan satu lagi, Pak Obi?" tanya penjaga warung.
"Ngga jadi Mbak, saya beli ini aja," jawabnya sambil mengambil segelas air mineral dan memberikan uang yang tersisa.
Seperti itulah manusia. Banyak dari mereka yang mau menolong orang lain tanpa mengingat diri sendiri. Kepahitan hidup menjadikan manusia sebagai sosok yang bisa merasakan kesusahan manusia lainnya. Dalam benak manusia-manusia ini, membantu manusia lain tidak perlu menunggu sampai keadaan mereka sendiri berlebih. Dan mereka percaya, berbuat baik dengan cara menolong serta membantu sesama akan berbalas hal yang serupa walaupun tidak dalam waktu cepat.
***
Sudah beberapa hari ini bocah penjual koran tidak terlihat. Dari pembicaraan para porter, ternyata nenek bocah itu meninggal dunia.
***
Setelah hampir seminggu tidak terlihat, bocah penjual koran kembali datang. Ia membawa setumpuk penuh koran dalam dekapannya. Dengan suara lantang, ia berkeliling menawarkan koran kepada setiap penumpang. Ada yang menolaknya dengan halus, ada juga yang langsung mengibaskan tangan saat ia baru mendekat. Semua itu tidak membuat semangat bocah kecil itu patah.
"Nih, makan dulu," kata Pak Obi pada bocah itu.
"Terima kasih, tapi ngga usah Pak. Bapak sering sekali ngasih saya makanan. Saya ngga mau merepotkan," jawabnya pelan.
Pak Obi tersenyum, "Pamali nolak rejeki. Nanti rejeki ngga mau datang lagi," balasnya seraya menaruh sebuah roti di telapak tangan bocah itu. Setelahnya, pria itu berbalik dan terlihat memasuki kantor stasiun.
***
"Copet! Tolong, ada copet!"
Teriakan seorang wanita memancing perhatian orang-orang sekitar. Di hadapan wanita itu, bocah penjual koran duduk bersimpuh. Beberapa petugas menghampiri mereka dan bertanya kronologi sebenarnya.
"Anak ini mau mencuri dompet saya pak. Saya minta, bawa anak ini ke kantor polisi," kata wanita tersebut menunjuk sang bocah.
Pak Obi mendekati bocah itu dan bertanya lembut, "Apa yang terjadi, Nak?"
"Dompet ibu ini jatuh dan saya mendekat untuk mengembalikannya, Pak. Saat saya menyentuhnya, ibu itu melihat dompetnya yang berada di tangan saya dan langsung berteriak. Ibu itu juga mendorong saya ke lantai," jelasnya pelan. Ketakutan tergambar jelas di wajah kecilnya.
Pak Obi mengangguk mengerti dan berdiri menghadap wanita tersebut, "Sepertinya telah terjadi salah paham. Saya bisa menjamin jika anak ini berkata jujur. Selama ini belum pernah ada kasus kecopetan di stasiun ini. Selain itu, dompet ibu juga sudah kembali. Bisa kita selesaikan kasus ini dengan kekeluargaan?"
"Baik! Saya anggap kasus ini selesai. Jika suatu hari hal ini terjadi kembali, saya tidak akan segan melaporkan stasiun ini karena kurangnya pengamanan," ucap wanita itu sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
"Bangun, Nak." Pak Obi menoleh ke arah sang bocah. "Pulang saja ke rumah, kamu pasti kaget, kan?"
Pertanyaan itu dibalas anggukan. Dengan perlahan bocah itu bangkit berdiri, "Terima kasih banyak, Pak." Ia lalu berjalan pelan keluar dari sini.
***
Bocah penjual koran itu terlihat lagi. Kali ini dia bersama dengan dua orang dewasa yang mendampinginya. Sebelum naik ke kereta, bocah itu menghampiri Pak Obi tepat di depan kantor stasiun.
"Pak, saya pamit ya? Paman saya mengajak saya untuk tinggal di kota. Terima kasih banyak ya Pak untuk semua kebaikan Bapak."
Bocah itu maju dan menyalami takzim tangan Pak Obi yang tidak sadar jika matanya sudah berembun.
***
Setelah belasan tahun, sebuah kereta api eksekutif jurusan baru bergerak pelan memasuki stasiun. Setelah kereta berhenti sempurna, dari bagian depan turun seorang pemuda berpakaian seragam khas masinis. Ia berjalan menuju kantor dan bertanya pada petugas sekitar keberadaan kepala stasiun yang baru. Petugas yang ditanya menjawab jika kepala stasiun sedang berada di mushola untuk melaksanakan sholat. Pemuda itupun duduk di kursi tunggu penumpang dan menunggu.
Matanya menatap sosok kepala stasiun dengan sorot bahagia. Dengan perlahan, ia mendekati kepala stasiun itu dari belakang.
"Pak, apa kabar?" ucapnya lembut.
Kepala stasiun menoleh dan mengerutkan kening. "Alhamdulillah baik. Apa ada masalah Nak?" tanyanya.
Pemuda itu tersenyum sekilas sebelum menjawab. "Bapak lupa ya sama saya? Dulu saya sering sekali berada di sini. Saya berjualan koran dari pagi sampai malam dan bapak sering memberi saya makanan."
Mata kepala stasiun terlihat mengembun, dengan perlahan ia maju dan memeluk pemuda itu erat. Setelah puas, ia mendorong pundak sang pemuda dan mulai mengamatinya dari atas kepala sampai ke kaki.
"Akhirnya cita-citamu tercapai, Nak. Bapak ikut bahagia," ucapnya tercekat.
Pemuda itu kembali memeluk Pak Obi erat. "Terima kasih, Pak. Berkat Bapak, saya bisa bertahan hingga seperti sekarang. Terima kasih atas makanan yang selalu Bapak kasih, terima kasih atas pembelaan yang bapak berikan, dan terima kasih atas semua perhatian Bapak."
***
Seperti yang sudah kubilang. Manusia-manusia baik akan mendapat balasan yang juga baik walaupun memakan waktu lama dan dengan cara yang tidak dibayangkan sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
aku bahagia membaca tulisanmu thor, sungguh! 💖💞💝
2023-01-01
4