Episode 2

Pagi ini sama seperti pagi sebelumnya. Para penumpang hilir mudik mencari kereta yang akan membawa mereka ke tujuan. Entah itu untuk bekerja, menempuh pendidikan atau alasan lain yang tidak pernah kutau. Di antara hiruk pikuk para penumpang, ada beberapa yang dengan jelas menampakkan sisi emosional mereka sebagai manusia. Seperti sepasang suami istri itu.

***

Mereka pertama kali terlihat pada suatu hari yang mendung dengan membawa banyak barang. Beberapa dus dibawa secara bersamaan tanpa meminta bantuan porter stasiun. Di belakangnya, sang istri berjalan pelan di sebelah seorang pemuda yang terlihat kepayahan mengangkat tas. Mereka berhenti di bangku tunggu penumpang dan duduk sejenak.

"Nanti pas turun pakai jasa porter aja ya Nak?" ucap pria itu kepada si pemuda yang kuterka adalah anaknya.

"Iya Abah, nanti pakai jasa porter. Abah sama Ambu ngga usah khawatir ya?" balas pemuda itu seraya merangkul sang ibu.

"Maaf ya, Abah dan Ambu tidak bisa mengantar kamu ke kota. Jaga diri baik-baik, makan yang teratur, kalau ada apa-apa cepat kabari kami."

Kereta yang mereka tunggu sudah terlihat, si pemuda bangkit dan mencocokkan nomor kereta dengan yang tertera dalam tiket. Setelah yakin, ia mengangkat tasnya serta beberapa dus yang tadinya dibawa oleh sang ayah.

"Udah sini, Abah bantuin," ucap pria itu lirih.

Mereka memasuki kereta, dan setelah mendapat tempat duduk, ayah dan anak itu mengatur berbagai barang bawaan dengan rapi di tempat penyimpanan atas kursi. Ketiganya tenggelam dalam haru perpisahan yang menyesakkan dada.

"Jangan tinggalin sholat, usahakan tepat waktu," ucap sang istri lembut pada anak mereka.

***

Pria itu setiap hari mangkal di depan sini. Ia menarik becak tidak peduli keadaan cuaca panas terik atau hujan. Beberapa kali ia terlihat menghitung hasil pendapatan dan mengucapkan hamdalah sebagai rasa syukur. Ia juga terlihat sering melakukan ibadah di mesjid dekat sini. Orang-orang sekitar memang sudah mengenalnya sebagai pria ramah dan juga baik.

***

Hari demi hari terlewati dan aku masih menyaksikan para manusia yang berjalan hilir mudik. Namun hari ini, aku melihat pria itu datang bersama istrinya. Wajah keduanya dipenuhi binar bahagia dan juga rindu. Sepertinya, mereka menunggu kedatangan anak mereka.

"Itu Abah aku," suara seorang pemuda terdengar lantang. Ia berlari memeluk orang tuanya. Di belakang pemuda itu, tiga orang pemuda sepantarannya mendekat dan menyalami sepasang suami istri itu takzim.

Selama beberapa hari setelah kepulangan sang anak, pria itu tetap menarik becak seperti biasa. Ia bahkan mengambil pekerjaan tambahan membersihkan halaman saat tidak ada penumpang yang menggunakan jasanya.

"Butuh uang tambahan buat kuliah anakku," ucapnya tersipu jika ada orang yang bertanya.

***

Pria itu berjalan gontai di sisi sang istri. Netranya menyimpan kepedihan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata, entah apa yang sudah terjadi.

Berkali-kali sang istri mengusap bahunya pelan seolah menyalurkan kekuatan tak kasat mata. Di depan mereka, sang anak berjalan terlebih dahulu bersama dengan teman-temannya.

"Abah, Ambu kami pamit pulang ya?" ucap salah satu teman pemuda itu yang dibalas anggukan oleh keduanya.

Ketiga teman sang anak menyalami sepasang suami istri itu satu-persatu dan berjalan terlebih dahulu menuju kereta.

"Abah dan Ambu jangan terlalu banyak pikiran. Yan bisa kerja sampingan buat nambahin biaya praktek. Yang penting, Abah dan Ambu sehat-sehat di sini. Yan pergi dulu ya?" pamit pemuda itu mencium tangan kedua orang tuanya cukup lama.

"Maafin Abah ya Nak. Abah kurang berusaha sampai-sampai kamu harus mencari tambahan biaya kuliah sendiri," sahut pria itu menyeka air mata yang keluar dengan punggung tangannya.

"Ngga usah dipikirin, Yan bisa kok Abah. Yan pamit ya?" Pemuda itu berjalan menjauh dan melambaikan tangan seraya tersenyum.

***

Pria itu sudah memasuki area stasiun setelah subuh. Dengan gesit, ia menyapu halaman dan mengumpulkan sampah dari beberapa tempat sampah dengan menggunakan gerobak. Pekerjaannya terhenti jika ada orang yang membutuhkan jasanya menarik becak. Setelahnya, ia kembali ke stasiun dan melakukan apapun yang bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah termasuk menjadi porter.

Pria itu bekerja seolah tidak mengenal lelah bahkan terkadang ia melupakan waktu makan. Hampir setiap malam setelah semua pekerjaannya beres, ia duduk di salah satu kursi tunggu penumpang, dan memandang ke arah rel seolah menunggu sosok yang paling ia kasihi datang, dan berwujud di hadapannya.

Selama bertahun-tahun kemudian ia masih melakukan hal yang sama setiap harinya. Tidak peduli sedang sakit, atau saat keadaan cuaca tidak mendukung, ia selalu sigap mencari nafkah dan diakhiri dengan memandangi rel seolah menguatkan harapannya akan sesuatu.

***

Ada yang berbeda pagi ini. Pria itu mengalami kecelakaan saat sedang menyapu area di pinggir rel. Entah karena melamun atau memang sedang tidak fokus, ia terjatuh tepat di tengah-tengah rel kereta api. Untungnya, pada saat itu tidak ada kereta yang lewat. Para petugas stasiun dengan sigap membantunya berdiri dan duduk di kursi tunggu. Seseorang yang entah siapa sudah mengabari sang istri hingga tidak lama kemudian wanita itu masuk ke sini dengan wajah penuh kecemasan.

"Kakinya bapak terkilir," ucap salah seorang petugas stasiun pada sang istri.

Dengan wajah menahan sakit, pria itu berusaha bangkit untuk bangun dengan dipapah sang istri. Namun sayangnya, mereka harus kembali duduk ke tempat semula karena terdengar suara kereta datang. Para penumpang yang merangsek mendekati kereta menghalangi jalan mereka. Dengan sabar, keduanya menunggu sampai akhirnya keadaan sudah tidak terlalu ramai.

"Abah! Ambu!" suara teriakan yang berasal dari pintu kereta terdengar lantang. Sontak keduanya yang sudah berjalan pelan menuju pintu keluar menengokkan kepala.

Pemuda yang merupakan anak mereka menuruni kereta dengan cepat. "Yan sudah pulang Abah, Ambu," ucapnya tercekat.

Penampilan pemuda itu sangat berbeda jauh dari saat terakhir kali ia pulang bersama teman-temannya. Ia terlihat berkelas dan juga elegan dengan jas putih yang dipakainya. Sebuah papan nama kecil bertuliskan 'dr. Yan' tersemat di dada sebelah kiri sang anak.

Air mata mengalir hebat dari mata pria itu beserta istrinya. Melupakan rasa sakit pada kaki, ia menjatuhkan diri dan bersujud. Untaian kalimat syukur tidak henti-hentinya mengalir dari bibir mereka berdua. Doa, tenaga, keringat, dan air mata mereka tidak sia-sia. Semua digantikan oleh sesuatu yang indah tepat pada waktunya.

Dengan perlahan pria itu bangkit dan memeluk pemuda itu erat. "Terima kasih Nak. Terima kasih sudah bertahan, terima kasih sudah berusaha dan terima kasih karena sudah kembali. Hidup Abah tidak sia-sia."

Ketiganya masih berpelukan dengan erat. Beberapa orang yang melihat, ikut menitikkan air mata. Hari ini aku menjadi saksi. Saksi yang menyaksikan kerja keras orang tua untuk sang anak dan saksi yang menyaksikan keberhasilan sang anak untuk membalas semua pengorbanan orang tuanya.

Terpopuler

Comments

Pisen

Pisen

ah.... banyak bawang disini. 🥺/Cry/

2024-07-22

1

karissa 🧘🧘😑ditama

karissa 🧘🧘😑ditama

adohhhh,,kalo dikryamu sblm ny pnuh dgn rsa gemes jga greget bngt,,dsni woww bawang ny pedes bngt thor😭😭😭😭😭😭

2023-06-18

0

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

terharu 😢😥 karena usaha tidak mengkhianati hasil...terimakasih abah terimakasih ambu... 💕💕💕💕

2022-11-21

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!