...____________...
Berusaha untuk diakui oleh orang terdekat hanya membuat pikiran kita semakin tidak waras. Ketika obsesi merasuki pikiran serta hati kita, maka, disitulah kita akan berhadapan dengan jurang kestressan. Beberapa orang sekitarku sering mengatakan,
"Nggak perlu ambis banget deh Al, nggak semua hal, harus kamu capai. Kamu masih manusia, bertindaklah layaknya manusia. Didunia ini nggak ada manusia yang sempurna selain Rasulullah."
"Semakin kamu memaksakan diri untuk menjadi sempurna, kamu hanya akan membuat diri kamu sengsara." Aku hanya diam menanggapi setiap nasehat baik dari siapapun itu. Tapi setelah waktu yang aku lalui dan akhirnya aku mampu berpikir dengan baik. Ucapan mereka semua memang benar, semakin aku berusaha diakui oleh orang terdekatku, hanya ada rasa melelahkan di dalamnya yang tak mampu aku dapatkan.
Sewaktu masih sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, ada banyak orang yang membandingkan aku dengan Alesha. Kata mereka, Alisha itu tidak pantas untuk menjadi kembarannya Alesha. Dia terlalu gemuk dan jelek untuk menjadi saudaranya Alesha. Jika diibaratkan, Alesha itu seperti bintang dimalam hari yang berkelip di musim kemarau, sementara Alisha hanya rembulan yang muncul di musim hujan dan kabut.
Semenjak SMP aku mulai menurunkan berat badanku. Namun sayangnya aku gagal mendapatkan berat badan yang ideal. Karena aku harus dilarikan ke rumah sakit akibat asam lambung ku tiba-tiba naik. Cara diet aku benar-benar tidak sehat, semua kebodohan orang dimuka bumi sepertinya terkumpul dalam pikiranku. Aku ingin kurus, namun cara yang aku lakukan salah total. Mama dan Papa tidak tahu jika aku sedang melakukan diet. Saat aku dilarikan di rumah sakit karena asam lambung ku tiba-tiba naik. Ketika mereka datang bukan perasaan kasih sayang yang mereka perlihatkan. Justru sebaliknya, aku mendapat amarah besar dari kedua orang tuaku.
"Apa kamu nggak bisa berhenti mencari masalah Alisha? Lama-kelamaan saya benar-benar muak dengan tingkah kamu." Kata Mama saat itu.
"Kenapa kamu selalu membuat kami khawatir, Alisha? Coba kamu lihat Alesha, dia bisa menjadi role model hidup kamu. Coba contoh dia!" Kata Papa mulai membandingkan aku dengan kembaranku.
"Alesha … Alesha … dan Alesha, apa Mama pernah ngeliat aku sebagai putri Mama dan Papa?" tanyaku begitu emosional. Namun tidak disangka jika tangan Papa lebih cepat melayang ke pipi kananku. Aku hanya meringis kesakitan.
"Jangan melawan kalau orang tua bicara."
"Dan untuk apa kamu diet, kalau akhirnya kamu sendiri harus dilarikan ke rumah sakit?" tanya Papa begitu kesal.
"Aku diet biar kurus, biar Mama sama Papa nggak malu ngakuin aku sebagai anak Papa dan Mama." Jawabku dengan nada meninggi. Perkataanku berhasil membuat mereka berdua mematung. Aku menahan diri agar tidak menangis. Sekalipun air mata sudah tidak mampu lagi aku bendung. Kemudian Mama dan Papa langsung keluar dari kamar inap ku.
Aku memiliki segudang inner child yang cukup buruk. Aku tumbuh tidak mendapat kasih sayang dari orang tua, banyaknya larangan, tidak pernah mendapat gift dari orang tua setelah mendapat penghargaan, bullying SD sampai SMA. Kemudian, setelah masuk SMP aku tumbuh menjadi orang yang ambis, orang yang dingin, dan tidak begitu tertarik dengan relationship. Jika Alesha diam-diam sering gonta-ganti pacar, aku malah tidak sekalipun pernah pacaran. Sekalinya aku menyukai seseorang, orang itu malah menyukai Alesha. Miris sekali bukan. Dia terlalu sempurna untuk menjadi sainganku.
"Eh Alisha, apa kamu nggak nyadar suka sama Affan? Lihat deh badan kamu! Badan kamu itu mirip gajah." Kata seorang laki-laki temannya Affan mengejekku.
"Affan itu lebih cocok sama Alesha dibanding dengan kamu."
"Mana ada gajah sama pangeran tampan." Katanya lagi. Selama ini aku cukup diam tanpa membalas perlakukan mereka. Namun sekalinya aku membalas mereka, mereka malah diam tak berkutik. Aku menendang alat vital mereka bertiga secara bergantian membuat mereka meringis kesakitan.
"Masih ada nggak, kata-kata dari kalian yang lebih menyakitkan? Siapa tau aja, saya bisa menghilangkan aset berharga masa depan kalian." Kataku membuat mereka seperti tidak percaya. Akhirnya aku kembali menendang alat vital mereka secara bergantian sampai membuat mereka bertiga jatuh ke lantai. Aku sengaja berlatih taekwondo setiap hari sekalipun badanku lumayan besar, setidaknya ketika momen seperti ini aku bisa menghajar mereka secara tepat. Setiap ucapan di masa lalu aku selalu mengingatnya secara detail. Ada rasa ingin sekali melupakan namun semakin aku berusaha melupakan maka semakin mengingat sesuatu itu.
"WOI Alisha, bengong aja." Kata Raffasya sengaja berteriak di samping telinga ku. Yang membuat jantungku berdebar cukup kencang.
"Bisa nggak sih, kalau ngomong nggak usah teriak-teriak? Kuping aku masih normal." Kataku agak kesal namun membuat anak itu terkekeh. Raffasya itu memiliki hobi mengganggu ketenangan orang.
"Kalau masih normal, kenapa diam aja? Noh lihat! ruangan kelas udah sepi." Katanya menyadarkanku jika ruangan ini sudah tidak ada penghuni selain kami berdua.
"Kok kelas udah pada bubar?" tanyaku begitu santai.
"Bengong mulu dari tadi, tolong minggir, mau lewat." Katanya. Aku langsung beranjak dari tempat duduk. Lalu kami berdua keluar dari ruang kelas. Teman kami selalu mengatakan, jika kami lebih layak seperti saudara kandung dibanding dengan seorang sahabat.
"Al, boleh aku tanya sama kamu?"
"Tanya aja, kayaknya serius banget."
"Kenapa kamu nggak pacaran?"
"Ya karena aku seorang muslim, sekaligus nggak butuh yang namanya pacaran." Jawabku begitu santai. Pria di sebelahku ini hanya tersenyum smirk.
"Kamu bilang, kamu seorang muslim. Tapi kenapa nggak pake hijab? Bukannya itu perintah yang diwajibkan bagi seorang muslimah?" tanyanya saat kami berjalan ke arah parkiran fakultas tata busana. Azura dan Hafizha sudah berada disana. Kedua anak itu sedang mengipas wajahnya dengan kipas tangan.
"Gini ya Raff, nggak semua hal yang haram harus aku lakukan." Kataku. Di dalam persahabatan kami selalu menggunakan aku-kamu. Sekalipun kami tinggalnya di Jakarta.
Mungkin bagi sebagian orang Jakarta menggunakan aku-kamu yang tidak memiliki relationship ataupun relation lainnya akan terdengar tabu. Awalnya aku juga merasa seperti itu, aku hanya menggunakan kata aku-kamu hanya didalam keluarga. Selebihnya aku menggunakan kata saya-kamu atau saya-Anda untuk semua orang asing. Saat pertama kali kami bertemu di kampus, aku selalu menggunakan kata saya-kamu, alhasil orang yang menjadi sahabatku saat ini terasa kaku mendengarnya. Karena mereka lebih menggunakan lo-gue. Tapi pada akhirnya mereka malah cepat beradaptasi karena aku sering keceplosan menggunakan aku-kamu. Dan saat ini kami malah menggunakan langgan aku-kamu hanya di setiap lingkungan terdekat kami.
"Kamu sering minum alkohol?" tanya Raffasya agak ragu.
"Apa wajahku terlihat peminum yang handal ya?" Bukannya menjawab, aku malah bertanya balik.
"Emang ada ya, wajah yang mencerminkan dia pemabuk handal?"
"Justru itu aku nanya sama kamu."
"Kamu beneran nggak mabuk atau jarang mabuk?" tanya Raffasya lebih mengintrogasiku. Dia seperti Papa yang tidak mudah percaya denganku.
"Sama sekali aku nggak pernah mabuk. Kenapa, masih nggak percaya?" tanyaku lagi. Dia hanya menggeleng lemah.
"Aku emang beberapa kali mengikuti balap motor ilegal, tapi bukan berarti aku harus minum alkohol. Aku punya prinsip yang kuat. Sekali aku memutuskan sesuatu, aku nggak akan goyah dalam prinsip sudah aku ambil."
"Menurutku haram ya akan tetap haram. Nggak akan tiba-tiba bisa jadi halal karena melakukannya diawali di basmalah."
"Lagian lambung ku juga nggak akan mendukung kalau aku sering minum alkohol." Jelasku. Raffasya mengangguk paham dengan penjelasanku.
"Apa kamu ada niatan untuk memakai hijab, kapanpun waktunya?"
"Doain aja yang terbaik. Lihat tuh, Azura lagi baca mantra!" kataku.
"Itu bukan baca mantra, Al. Tapi, dia lagi ngomongin kita." Katanya agak emosi. Kami menghampiri mereka berdua.
"Gila ya lama banget. Ngapain aja sih? Kenapa sih harus lama? Hidup itu emang nggak perlu buru-buru, tapi nggak harus kelamaan juga." tanya Azura langsung membaca mantra tidak jelas. Ia menarik lengan tanganku setelah mengatakan,
"Duluan, dah." Katanya begitu singkat disertai amarah yang terpendam.
"Azura, calm down. Nggak semua amarah harus diledakan, nggak semua masalah harus dikeluhkan, dan nggak semua orang harus tahu tentang apa yang sedang kita lakukan." Kataku membuat anak itu menyeret lengan tanganku lebih kasar lagi hingga memasukkan ku ke mobil milik Azura. Dia sengaja memintaku agar mengemudi mengantarkan dia sampai ke rumahnya. Raffasya memberiku julukan sebagai unpaid personal favorite driver.
"Aku baru diputusin, Beb." Kata Azura mengeluh hebat secara dramatis ketika mesin mobil sudah berhasil aku nyalakan. Aku melihat sekeliling untuk memarkirkan mobil keluar meninggalkan area parkiran.
"Terus aku harus apa? Bilangin kamu dengan nasehat yang baik? Buang-buang waktu aja. Kalau akhirnya kamu juga lebih memilih balik lagi tuh sama mantan kamu."
"Sia-sia aku ngeluarin kata ajaib, kalau akhirnya kamu malah kembali memilih untuk disakiti." Kataku sengaja sarkas. Satu lagi julukan dari orang sekitar ku terutama yang dekat, Alisha Sarcasm Adnan.
"Nggak gitu juga Alisha Adnan. Karena aku cinta sama dia, aku bingung kalau mau ninggalin dia. Dia selalu minta maaf juga kalau udah ngelakuin sesuatu yang salah, jadi aku nggak tega. Dia juga baik banget." Sempat-sempatnya Azura masih memuji orang yang telah menyakiti. Azura terus berbicara, sementara aku hanya diam tanpa menggubris ucapannya.
Karena seseorang akan lelah ketika menasehati orang bucin karena otaknya telah dipensiunkan. Kata ajaib apapun tidak akan pernah sampai pada otaknya. Yang aku lakukan hanya mendengarkan saja, tanpa perlu menjawab curhat mellow darinya. Itu cukup membuat lebih baik bagi orang yang sedang mengeluh karena masalah. Perempuan jika sedang mengalami masalah kemudian, dia bercerita panjang lebar, mereka tidak memerlukan kata bijak, mereka hanya membutuhkan pelukan atau penenang orang lain kepada dirinya. Terutama pada orang yang memiliki love language physical touch.
"Tolong dengerin ya, kamu itu udah disekolahin sampai 13 tahun. Harusnya mikir, kalau disakiti, diselingkuhin, ya kamu tinggalin lah! Ngapain bertahan? Kamu cuman buang-buang waktu buat nyari penyakit."
"Tolong deh buka mata, buka hati, dan buka pikiran! Kamu nggak kasihan sama kedua orang tua kamu itu, mereka itu susah-susah cari uang buat kamu, biar anaknya jadi orang yang cerdas dan sukses. Bukan buat jadi orang bodoh karena jatuh cinta." Sepertinya mulutku tidak bisa direm. Sekalinya aku kesal, kata-kataku hanya menjadi tamparan seperti memberikan racun untuk orang lain. Terlalu pahit untuk dikonsumsi yang akhirnya membuat perdebatan.
"Ngerti apa kamu tentang cinta? Pacaran nggak pernah." Kata Azura tidak terima dengan pernyataanku. Aku tahu aku salah, seharusnya aku tidak mengucapkan kata sarkas bagi Azura yang perasaannya cukul sensitif.
"Oh mohon maaf yah, aku berpengalaman nggak perlu terjun langsung untuk yang melakukan sesuatu apalagi sesuatu kesalahan. Pengalaman itu belajar dari sudut pandang banyak hal."
"Tolong ingat hal ini! seorang suhu nggak perlu terjun langsung dalam banyaknya masalah, dia bisa dapat memahami sesuatu secara cepat." Jelasku lebih tenang. Namun ucapanku tetap saja menusuk seperti ujung pedang yang menusuk ke jantung.
"Al, bisa nggak sih, kalau ngomong jangan bener terus. Apa aku harus kena tampar sama omongan kamu terus." Katanya. Aku hanya terkekeh ketika anak itu mulai menerima apa yang aku ucapkan. Ini pertama kalinya aku.terlalu sarkas pada Azura. Sebelum-sebelumnya aku memberikan nasehat terlalu lembut. Hingga ketika dia kebal akan ucapan lembutku, aku malah melempar perkataan yang begitu sadis.
"Percuma ngerasa kena tampar, kalau kamu nggak pernah sadar diri."
"Huaaaaa … sedih banget punya sahabat bikin mental." Katanya. Aku langsung meminta maaf atas semua perkataanku tadi. Dia malah memelukku membuat badanku membeku. Karena faktanya aku kurang nyaman dipeluk oleh siapapun. Aku bukan Alesha yang selalu diberikan kasih sayang baik verbal maupun fisik seperti pelukan.
"Aku lagi nyetir, tolong jangan buat aku mati karena pelukanmu itu." Kataku membuat Azura terdiam denga likirnanya yanb tidak baik.
"Maksudnya?" tanya Azura dengan nada tinggi.
"Kayaknya aku phobia dengan sentuhan fisik siapapun itu." Jelasku membuat anak itu diam mencerna penjelasan terakhirku.
...___________...
...To be continoude ...
...Sabar Al, sabar. Jangan sampai mental Azura jatuh. ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments