.
.
.
"Sreeek sreekk" suara sapu di halaman
Ira terbangun dan melihat jam baru pukul 05:12.
Beranjak melangkah ke ruang tamu.
"Ohh Nenek, pagi banget udah nyapu" gumam Ira yang melihat dari jendela.
Perempuan itu kembali ke kamarnya dan
"Bruggg!" dia kembali melentangkan tubuhnya di atas kasur.
"Heeummm.." mengheula nafas menatap gorden jendela yang bergerak di tiup kipas angin.
Hari ini dia akan pergi menemui ayahnya.
Mengingat tentang ayahnya membuat dia frustasi karna banyak kejadian yang mungkin tidak seberapa tapi pahit.
Melihat beberapa tahun kebelakang sebelum ayahnya pergi meninggalkan dia sempat tinggal bersama di rumah pamannya.
Di kehidupan kampung ini ayahnya bekerja sebagai petani, kadang menjadi kuli bangunan. Sering sekali Ira ikut ke kebun menemaninya.
ayahnya bekerja dan dia hanya duduk sembari memperhatikan.
Ada saat dimana ayahnya bicara serius kepadanya
"Raa ikut sama ayah iya, mamah di sana kerja sembari senang-senang menari dan tertawa." menangis dan memeluk Ira.
"Raa ayah gak bisa bayangin jika suatu hari nanti Ira kebingungan. Tanpa tujuan. Ira hanya bisa nangis." sambungnya.
Pada saat itu Ira hanyalah anak kecil yang duduk di bangku SD dia tidak terlalu mengerti perkataan ayahnya.
Hingga baru saat ini dia mengerti dari perkataannya. Bahwa saat itu rumahtangga orangtuanya sudah hancur. Itu sakit. Dia hanya tidak menyangka keadaanya sekarang bahkan jauh lebih buruk dari yang di bayangkan.
Tersentak dari bayangannya dia bergegas mandi.
Beberapa menit kemudian Ira keluar dari kamar mandi dan bersiap untuk kesekolah.
Dia menatap cermin dan memperhatikan wajahnya baik-baik.
Mengingat sesuatu "Banyakin perawatan wajah iya, kita belum menikah. Biasanya jika sudah melakukan hubungan kita akan terlihat lelah da wajahpun pucat tak karuan!" seorang teman yang dia jumpai di tempat malam (bordil).
"Mana ibu negara belum keluar?" tanya Iki kepada adik Tia.
"Ada di kamarnya."
Ira mendengar suara dan keluar.
"Teteh berangkat sekolah iya, ini buat jajan." di berinya uang Rp.20.000.
"Ko banyak?"
"Buat besok sekalian. Dadaahh.." balas Ira melangkah keluar menaiki motor Iki dan berangkat.
*
Menunduk pada bahu Iki.
"Entah lelah apa guenya yang karuan. Perasaan bunek gini jadi kesel gak jelas." keluhan Ira.
"Kenapa si lo? lo gak cape hidup gini terus? berubah dikit ke, bersihin hati lo. Bebasin aja ke kebanyak orang. Kalo ada apa-apa ungkapin nyari temen yang bener-bener bisa jadi tempat keluh kisah lo. Gue gak terlalu tau banyak sama kisah lo karna lo tertutup. Tapi yang gue tau lo harus melepas semua beban lo terutama masa lalu yang perih itu. Waktu kan berjalan gua takut suatu hari perasaan itu membludak lo hilang kendali dan ngelakuin yang aneh-aneh. Gue tau lo orangnya nekat!"
Perkataan Iki memang benar. Tapi, masalahnya harus dengan siapa? kepada siapa? memang beban dan luka masalalu Ira itu mengganggu pikirannya. Dia merasa tidak bisa berpikir. Hilang tujuan dan hilang harapan.
*
Mereka sampai di sekolah. Karna sudah siang keadaan ramai sekali. Di setiap sudut tempat banyak mereka yang berkumpul dengan teman-temannya.
Ira langsung naik menuju ke kelasnya.
"Hallo sayang pagi?" sapa Anggi.
"Hai." balas Ira menyimpan tas dan berjalan ke sudut kelas menghampiri Ari yang sedang duduk selonjoran.
Ari hanya memandang Ira yang datang menghampiri.
"Hmmm" Ira bersender pada pundak Ari.
"kenapa bu?"
Perempuan itu hanya diam tak menjawab.
"Kenapa si? ko gak biasa" tanya Anggi pada Iki.
"Gak tau si, ada rencana nanti pulang sekolah mau ketemu sama ayahnya. Iya kemungkinan dia inget satu persatu lukanya. Jadi agak kesel. Iya udah lah kek gak tau aja. Biarin!" balas Iki.
**
Beberapa jam berlalu. Bel sekolah berbunyi mengakhiri pelajaran para murid bersiap pulang. Satu persatu keluar dari kelas. Ira menuju parkiran motor bersama Iki.
"Mau langsung pulang? " tanya Anggi.
"Iya mau langsung ke ujung gunung haha." balas Ira.
"Iya deh, ketemu besok." Anggi
Motor melaju keluar dari lingkungan sekolah.
"Mau pulang dulu apa langsung Ra?" tanya Iki.
"Langsung aja Ki mumpung niat, kalo di nanti nanti gue bisa berubah pikiran."
Sebenarnya bukan ingin meminta uang untuk membeli sepatu. Ira sudah bertemu dengan seseorang tadi malam. Tentu dia memiliki uang saku dan kebutuhan. Tapi karna sudah niatnya untuk bertemu dengan ayahnya maka mereka berangkat.
"Gue pengen ketemu aja si, udah hampir 2 tahun gak ketemu apalagi denger suaranya. Pengen mastiin aja si kalo ayah tua itu sehat. Lagian kalo dia ngasih duit juga gak pernah banyak. Cukup buat ongkos bensin. Anggap aja bonus. Tapi gue gak ngerasa bakalan gitu si hahaha."
"Iya sih, mau aneh tapi gue tau itu ayah lo. Persis ke ayah gue yang bahkan mau minta alamatnya aja gak ngasih. Iya udah lah!"
Orangtua Iki juga bercerai pada saat dia berumur 15 tahun. Memang sejak kecil dia tidak terlalu dekat dengan ayahnya karna dia memiliki dua istri jadi sudah terbiasa baginya tidak lama bertemu dan berurusan dengan ayahnya. Meskipun berpisahnya orangtua Iki lebih baik jika di banding dengan Ira karna dia hidup bersama ibunya yang perhatian dan baik hati. Tapi sebaik-baiknya perpisahan tetap saja akan menyisakan luka. Terutama untuk anak. Hanya saja Iki tidak pernah menunjukannya. Mungkin karna dia seorang lelaki juga.
**
Dua jam menempuh perjalanan, anak SMK itu nampak lusuh sebab di terpa angin dan debu jalanan. Tiba si suatu gang mereka berhenti sejenak.
"Jalannya ke sini kan Ra?" tanya Iki.
"Iya. Yuk jalan aja."
Mengendarai motor menuju gang dengan jalan penuh lubang.
Dari dalam diam hati Ira bergetar menelusuri jalan menuju rumah ayahnya. Keadaan ini tidak biasa karna mereka menuju kampung pedalaman. Pohon jati menjulang tinggi berjejer seolah petanda jalan. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani jadi tidak heran jika di sepanjang perjalanan ada banyak kebun singkong, pepaya dan pesawahan yang luas. Ada beberapa dari mereka yang sedang mengembala ternak domba, kerbau, dan itik.
"Pemandangan nya tapi tetep bagus iya Ra?" senggol Iki.
"Iya, adem rasanya kalo pergi ke desa yang keadaannya masih sama dengan jaman dulu."
"Kiittttt!!" motor berhenti.
Ira turun dan melihat keadaan rumah sepi, dia sudah tau bahwa ayahnya pasti tidak di rumah.
Membuka sepatunya,
"Tok tok tok, Buuu, Yaah ini Ira!" mengetuk pintu rumah.
"Kreeekk!" seorang wanita muda membuka pintu.
"Loh, teteh? yuk masuk?" seorang perempuan muda membuka pintu dan mempersilahkan.
Dia Della, adik tiri Ira. Sejauh ini sikapnya baik terhadap Ira, mungkin karna Ira juga memperlakukannya dengan baik pula.
"Mahh nih ada teh Ira!" berjalan ke dapur memanggil ibunya.
Wanita paruh baya itu melangkah dari dapur.
"Ko gak bilang mau ke sini? ayah kerja belum pulang jam segini." ucapnya.
"Iya sengaja sih pengen ketemu ayah, tadi pulang sekolah langsung ke sini." balas Ira sambil menyalami ibu tirinya itu.
"Emang ada perlu apa? kalo soal uangmah ayah juga lagi kesulitan di sini, kemarin ayah bayaran kerja di beliin beras sama keperluan. Belum lagi bayar sekolahnya si neng (adik tirinya). Jadi sekarang udah gak pegang uang lagi." ucap wanita itu.
"Niat ke sini juga mau ketemu ayah, kalo soal uangmah biasanya juga cuma ngasih 50 ribu perak cukup buat bensin doang juga habis, uang segitumah gue cuma punya kan ikut kerja sama teteh!" balas Ira yang berusaha menahan amarahnya.
Ibu tiri itu hanya terdiam dan melangkah ke dapur melanjutkan masaknya.
"Ibu lagi masak, nanti makan."
Bisa di katakan Ira memang bersikap kurang sopan terhadap ibu tirinya itu. Tetapi Ira melakukan itu karna sebuah alasan. Dari awal berkenalan dengannya memang dia seorang ibu yang baik dan Ira tertarik akan itu. Iyah, banyak dari ibu tiri yang secara umum seperti itu. Awalnya baik tapi semakin lama sikap aslinya semakin terlihat juga.
Yang membuat Ira menjadi tidak menyukainya bukan hanya dia yang berusaha untuk menjauhkan ayah dari anak-anaknya. Tapi ibu tiri itu selalu berkata besar membanggakan anaknya dan membandingkannya dengan anak ayah.
Ayah menikah dengan ibu tiri setelah setahun berpisah. Wanita itu seorang janda yang memiliki 3 anak. Dua anak laki-laki dan satu perempuan. Kedua anak besarnya itu sudah bekerja. Dan bahkan anak pertamanya pergi merantau ke pulau sebrang.
Memang kenyataannya, anak tiri ayah meskipun tidak sekolah tinggi tapi mereka sudah bekerja, bagi sebagian orangtua di kampung anak yang paling berguna adalah mereka yang sudah bekerja dan memberi nafkah kepada ibu dan ayahnya. Bagi mereka yang berusaha untuk belajar seolah menjadi beban karna banyaknya keperluan dan pembayaran terutama membuang-buang waktu. Anehnya sekolah seolah bukanlah hal yang penting terutama untuk anak perempuan.
"Anak perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi nanti ujung-ujungnya juga bakalan nikah, ngurus anak sama masak di dapur juga."
Terkadang perkataan itu yang sering orang lontarkan kepada perempuan muda yang sedang berusaha untuk berkembang. Heran sekalipun di jaman modern ini pasti ada saja yang tetap berpikir seperti itu.
**
"Ra emang ayah lo kerja dimana? " tanya Iki menghidupkan kesunyian.
"Gak tau sih, bentar gue tanyin," balas Ira beranjak dari duduknya menghampiri ibu yang sedang memasak di dapur.
"Bu, emang ayah kerja dimana? jauh gak? pengen ketemu keburu sore Ira mau pulang." ucap Ira
"Ayah kerja di belakang rumah yang di situ tuh." menunjuk ke sebuah rumah.
"Jalan aja ke belakang rumah itu, ada orang yang lagi bikin gudang. Panggil aja ayah." balas Ibunya.
"Ki, gue mau ke ayah lo mau ikut apa nunggu?"tanya Ira.
"Jauh gak ? Gue nunggu aja males lah."
"Enggak sih tuh di belakang rumah, iya udah tunggu bentar iya!" balas Ira pergi keluar dari rumah.
Dia membuka kaus kakinya dan memakai sandal. Berjalan melangkah mendekati rumah yang di maksud. Karena ini kampung yang berdampingan dengan hutan jalan tanah itupun di penuhi dengan dedaunan kering yang jatuh berserakan.
Diam sejenak. Memperhatikan di sekeliling pohon jati dan kelapa menjulang tinggi membuat tempat itu menjadi teduh. Beberapa meter turun ke bawah terlihat sungai yang dulu Ira pun pernah berenang di sana. Keadaannya sekarang jauh berbeda. Dulu orang-orang di kampung ini masih menggunakan sungai sebagai tempat mandi, mencuci piring dan sebagainya. Hampir dari sebagaian penduduk tidak memiliki kamar mandi. Tapi karena sekarang jaman sudah maju beberapa di antara mereka sudah memiliki wc sendiri di rumah jadi tak perlu turun ke sungai.
Nyaman sekali rasanya berdiam diri di tempat itu. Setidaknya tempat ini memberikan sedikit kenangan antara Ira dan ayahnya.
"Hmmmmm..." menghela nafas kembali berjalan. Terlihat dari kejauhan ayah sedang istirahat duduk sambil minum kopi memandang ke arah Ira dan tersenyum.
Hati bergetar melihat ayahnya. Dia satu-satunya manusia yang paling di rindukan pula paling di benci. Terkadang tak sedikitpun ingin melihat wajahnya.
Di dalam hati Ira banyak sekali harapan yang belum tersampaikan. Ingin sekali rasanya memeluk dan menangis di pundaknya. Berkeluh kesah tentang dunia yang kejam ini, dengan semua harapan yang musnah, dengan tujuan hidup yang tak tentu arah. Ingin sekali rasanya bercerita bahwa dia telah berusaha kuat di setiap harinya.
Tapi ira tau itu tidak akan mungkin.
*
"Ira, kapan tiba ke sini? " tanya sang Ayah sambil mencium kening putrinya itu.
"Baru sampai. Bagaimana kabar ayah? Sehat?"
"Ayah sehat. Bagaimana kabar ira? Adik-adik baik kan? sehat?" tanyanya.
"Iya kita semua sehat!" Ira tersenyum menatap.
Duduk berdua saling diam. Iya seperti itu pertemuan anak dan ayah tidak seperti yang di bayangkan. Karna jarang sekali bertemu sehingga membuat keadaan menjadi canggung. Ira yang selalu berusaha mengumpulkan niat untuk bercerita, berkeluh-kesah, pada akhirnya semua itu hanya tersimpan di dalam hati saja.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Sun~
aku mampir ya kaa
2023-02-09
1