05

Rumah kontrakan yang dihuni oleh tujuh gadis cantik itu seketika terasa penuh saat kurir tersebut sudah memasukkan kardus-kardus ke ruang tamu. Bahkan, gadis lain yang tinggal di rumah itu sampai geleng-geleng saat melihat banyaknya barang di sana. Baru kali ini Marwa berbelanja sebanyak itu. Mereka mengira Marwa menang lotre.

"Astaga, elu belanja banyak banget, Mar." Martu—Markonah Satu—menatap tidak percaya.

"Bukan gue." Marwa menjawab malas. Dia duduk di kursi dengan tangan bersidekap. Bibirnya yang cemberut, dan terlihat bermalas-malasan. Membuat sahabatnya itu merasa heran.

"Terus?" Kening Martu mengerut dalam. Menatap Marwa dengan begitu menuntut jawaban.

"Entahlah. Tiba-tiba aja ada telepon dari kurir."

"Wah, jangan-jangah Om Tampan itu yang ngirim barang ke elu, Mar. Gila! Jangan-jangan dia Sugar Daddy." Martu heboh sendiri.

"Apaan Sugar Daddy? Papa Gula? Kenapa enggak sekalian aja Oil Daddy, mumpung minyak lagi mahal," timpal Marwa.

"Bukan oil lagi, tapi pelum*s," celetuk Juminten yang sedang sibuk membuka satu kardus berisi makanan ringan.

"Astaga, Jum. Mulut elu bisa enggak sekali aja jangan mikir ke sono? Otak gue tercemar sejak tinggal di sini."

"Heh! Markonah Brielle Edan—"

"Eden bukan edan!" potong Marwa ketus.

"Halah beda satu huruf doang," timpal Juminten.

"Weh, beda satu huruf tetap beda arti, Jum. Nama elu Arrabella gue ganti jadi Annabell mau? Beda satu huruf doang 'kan?" Marwa tersenyum sinis. Dia merasa puas bisa membuat Juminten terbungkam sendiri.

"Capek gue ngomong sama elu." Juminten pun pasrah. Berbicara dengan Marwa memang kadang membuat hati kesal sendiri karena gadis itu pintar memojokkan orang lain dengan ucapannya.

Mereka bertiga akhirnya sibuk membuka kardus-kardus yang kebanyakan berisi camilan ringan. Namun, belum selesai semua kardus dibuka, terdengar gedoran pintu yang sangat mengganggu telinga. Martu dengan malas membuka pintu tersebut untuk melihat siapa yang datang. Wajah Martu mendadak masam saat melihat Zubaedah—anak pemilik kontrakan—berdiri di depan pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Apa?" Suara Martu terdengar tidak bersahabat.

"Kalian harus bayar rumah kontrakan ini!" Zubaedah tak kalah garang, tetapi Martu tidak gentar sedikit pun. Mereka sudah terbiasa berseteru membuat Martu tidak peduli lagi meskipun Zubaedah adalah anak pemilik kontrakan.

"Bayar? Kamu masih muda dan kupikir kamu belum pikun. Kita masih punya waktu sebulan buat tinggal di sini." Jari Martu menunjuk ke lantai sebagai penegasan.

"Pokoknya aku enggak peduli! Mending kalian bayar sekarang atau bulan depan jangan ngontrak di sini lagi!" Zubaedah memberi ancaman dan dia yakin kalau Martu akan merasa takut lalu memberinya uang. Jujur, saat ini Zubaedah sedang butuh uang untuk membeli perlengkapan make-up.

"Enggak papa. Kita bisa nyari rumah kontrakan yang lain." Martu masih menjawab santai disertai seringai.

Zubaedah justru terlihat gugup. Kalau sampai mereka berhenti ngontrak yang ada Zubaedah akan kena marah ibunya. Sekar—ibu Zubaedah—sangat tegas dan galak, tetapi Zubaedah justru menjadi anak pembangkang. Melihat wajah Zubaedah yang tampak ketakutan, Martu menarik sebelah sudut bibirnya. Dia yakin kalau Zubaedah tidak akan berani lagi. Gadis seperti itu memang sesekali harus dilawan agar tidak makin kurang ajar.

"Pokoknya kalian harus bayar kontrakan ini! Kalau enggak silakan bulan depan angkat kaki!" Zubaedah berlalu pergi, sedangkan Martu justru tergelak. Dia yakin kalau Zubaedah sebenarnya tidak berani melawan dirinya.

Setelah bayangan Zubaedah tidak lagi terlihat, Martu segera menutup pintu tersebut rapat. Bibir Martu menggerutu, setiap kali Zubaedah datang pasti tensi darahnya mendadak naik karena merasa sangat kesal dan harus berdebat dengan gadis tersebut.

"Elu kenapa, Mar?" tanya Juminten yang sibuk membuka satu kardus paling kecil sendiri karena penasaran dengan isinya.

"Tuh, tukang tagih utang datang." Martu menghempaskan tubuhnya di sofa dan membuka salah satu camilan lalu memakannya agar emosi dalam dirinya sedikit menurun.

"Biarin aja, sih. Dia emang gitu. Doain aja cepet dapat hidayah," ujar Marwa. Ikut mengambil isi snack yang dipegang Martu.

Juminten melongo sesaat saat kardus yang dipegang sudah berhasil dibuka. Namun, setelahnya dia terkekeh sendiri hingga membuat kedua Markonah itu merasa heran.

"Sekarang elu yang kenapa, Jum? Jangan bilang lu mendadak gila?" tukas Marwa menatap Juminten penuh selidik.

"Gue nemu permen rasa buah." Juminten mengangkat bungkusan kecil di tangan sembari menahan tawa.

"Ed*n! Itu kond*m oe!"

Terpopuler

Comments

Meili Mekel

Meili Mekel

astaga permen

2022-10-15

0

nisa

nisa

astaga kk balon berwarna🤭🤦🙈

2022-09-23

2

ossy Novica

ossy Novica

apa ini kerjaannya Sabeni

2022-09-22

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!