Nisa mengekor Farel ke dalam restoran. Sebenarnya Farel tipe yang ramai, tapi sore ini ia memilih makan di meja yang agak sunyi. Mungkin agar bisa lebih fokus berceloteh dengan perempuan yang kini duduk di depannya.
Ia menjelajahi menu di balik lensa tipis yang berfungsi untuk mempertajam penglihatannya. Sementara Nisa, pandangannya fokus pada buku-buku yang apik di rak sisi kirinya.
“Beda banget sama restoran biasa. Sepertinya restoran ini memang didesign untuk orang-orang kalangan atas,” pikir Nisa.
Farel sudah menjatuhkan pilihannya pada beef steak. Ia lanjut bertanya pada Nisa. “Kamu pesan apa?”
Nisa tersenyum kecut sebelum menjawab pertanyaan Farel. “Bapak saja yang makan. Saya akan makan di rumah.”
“Kamu tidak lapar?”
“Tidak. Saya sudah makan siang tadi di kantor.”
Ya, Nisa memang take a lunch tadi di kantor. Saat semua rekannya makan di cafetaria. Ia menyantap bekal yang dimasakkan ibunya dengan penuh cinta di ruang kerja.
Selain bahan-bahan makanannya terjamin sehat. Membawa bekal dari rumah juga merupakan langkah jitu untuk menghemat cuan.
Kalau soal rasa, jangan ditanya! Ibunya Nisa mah best chef ala-ala kampoeng. Sekali memasak, dua tiga tetangga kebagian aroma masakannya. Upsss, cuma aroma yaaa.
Malu bukan kepalang, ketika suara keroncongan terdengar keras dari arahnya.
“Duhhh, perut. Lihat sikon dong! Kenapa kamu harus demo minta makan sekarang? Jadi malu ini sama bos,” batin Nisa sembari tertawa pedih ke arah Farel.
“Katanya tidak lapar. Bunyi perutmu itu tidak bisa bohong. Kalau lapar itu makan. Jangan ditunda-tunda sampai di rumah. Mumpung kita sedang di restoran.”
Ingin rasanya Nisa melarikan diri dari situ. Selain karena malu tertangkap basah telah berbohong. Ia juga tidak punya uang untuk memesan makanan super duper mahal yang disajikan pihak restoran.
“Perut saya memang sering bunyi begini, Pak. Anggap saja angin lalu.”
Dengan cekatan, tangan Nisa meraih salah satu buku di rak. Berharap dengan begitu Farel akan berhenti menanyainya perihal makan.
Alih-alih cuek, Farel justru semakin tertarik dengan tingkah Nisa yang dianggapnya menggelitik. Saking tergila-gilanya, pikirannya langsung mengarah pada ‘jodoh’ (ia dan Nisa).
“Kamu kenapa tidak mau makan? Canggung?”
“Semua makanan di sini harganya mahal, Pak. Uang di dompet saya sebenarnya cukup untuk beli satu porsi yang harganya paling murah. Tapi siap-siap, besok sampai gajian nanti saya harus jalan kaki ke kantor.”
“Astaga, jadi dari tadi kamu menolak masuk karena tidak punya uang?”
“Iya Pak,” jawab Nisa malu-malu.
“Kenapa tidak bilang dari tadi? Silakan pilih menu yang kamu suka, saya yang talangi.”
“Tidak usah Pak. Bapak saja yang makan. Saya masih sanggup tahan lapar sampai rumah.”
“Saya tidak mau makan kalau kamu tidak ikut makan.” Farel berdiri. “Lebih baik kita pulang saja sekarang.”
Lagi, atasannya itu menggunakan jurus ampuhnya. Mau tak mau, Nisa lagi yang harus menyerah. “Baik, saya pesan ini Pak.” Ia menunjuk ‘Kentang La Bonnotte’.
Farel kembali duduk, dengan senyum yang tercetak di wajahnya yang rupawan. “Gadis penurut,” batinnya.
Mereka berdua mengambil buku sembari menunggu pesanan matang. Farel membaca buku berjudul Karena Terlambat Menikah.
Sebuah buku yang bersampulkan foto pasangan suami istri. Imajinasi Farel bermain, membayangkan perempuan berkerudung coklat itu adalah Nisa. Sementara lelaki beralis tebal yang merangkul wanita adalah dirinya.
Tanpa sadar, ia mendengus kesal memperhatikan foto si lelaki.“Sayang sekali saya tidak brewok seperti ini.”
Refleks, Nisa menatap Farel yang berbicara sendiri. “Bagusan begitu daripada brewokan, Pak.”
Seketika, bibir Farel melengkung, membentuk bulan sabit. “Lampu hijau nih,” pikirnya kergirangan.
Mereka berdua kemudian meletakkan buku ketika makanan yang dipesan sudah siap. Farel tergesa-gesa mencicipinya.
***
Akhirnya, perut Farel yang kosong terisi juga. Beef steak ludes. Sisa minuman yang belum ia teguk semua.
Piring Nisa yang amat bersih memancingnya untuk berkomentar. “Kamu pasti lapar sekali kan?”
“Tidak.”
“Piringmu sekinclong itu. Apa jangan-jangan kamu takut kalau makanannya nangis?”
“Bukan, Pak.”
“Terus?”
“Menghindari mubazir, Pak. Sayang kalau makanannya dibuang.”
Farel membatin takjub. “Cocok nih dijadikan bendahara rumah tangga.”
Selepas makan dan menebus bill. Mereka kembali ke mobil.
“Pak.” Nisa memulai pembicaraan.
“Iya, kenapa?” sahut Farel tanpa menengok ke jok belakang.
“Uang makan tadi, saya ganti setelah gajian ya.”
“Tidak usah diganti. Simpan saja gajimu untuk membeli kebutuhan yang lain.”
Bantahan itu membuat Nisa bergeming. Kian lama, intensitas dialog mereka berkurang. Farel menyetel lagu untuk menemani mereka selama perjalanan.
Ia kini mengemudi riang sambil bernyanyi di beberapa lirik. Sengaja ia lakukan untuk menunjukkan perasaannya pada Nisa. “And I, want to share. All my love with you. No one else will do.”
***
“Kiri, Pak.”
Farel berhenti menyetir. “Rumah kamu yang mana?” tanyanya.
“Di dalam, Pak.”
“Well, saya antar kamu sampai depan rumah.”
“Saya turun di sini saja, Pak. Jalan masuk jelek, banyak kubangan.”
“It is okay. Tidak baik anak gadis jalan sendirian malam-malam.”
Entah kenapa, Nisa merasa perlakuan Farel ke ia berbeda dengan Ratna tadi.
***
“Terima kasih banyak Pak,” tutur Nisa yang berdiri beberapa sentimeter dari Farel.
“Sama-sama. Boss traktir dan antar bawahannya itu hal biasa. Kamu jangan kapok!”
Kalimat terakhir Farel sangat mengganggu rungu dan akal Nisa. “Seharusnya saya yang bilang jangan kapok, Pak.”
“Hahaha, saya pasti tidak akan pernah kapok Nisa.”
Nisa menaikkan alisnya tinggi. Perkataan bosnya di dalam mobil itu terdengar seperti sebuah rayuan baginya.
Setelah menundukkan kepala, Nisa mendekat ke pintu rumahnya. Masuk dan menjatuhkan diri di spot favoritnya.
Sebuah ranjang dengan cover berwarna pink di sudut kamar. Tempatnya melepas segala penat setelah seharian beraktivitas di luar rumah.
“Pokoknya, saya akan traktir dia kalau sudah gajian.” Pikiran akan Farel itu hanya berenang beberapa saat di kepalanya.
Jauh berbeda dengan Farel yang sedang mengendara. Perjumpaannya dengan Nisa barusan, terus berputar layaknya gasing di dalam pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Buna_Qaya
tinggal lanjut kan aja farel
2022-10-12
1
🧭 Wong Deso
ada apa dengan nama Nisa? Kok setelah aku tau si penyanyi itu entah jadi pelakor atau enggak. aku jadi ilfil kerap kali baca atau dengar nama Nisa?
2022-10-07
1
Sidieq Kamarga
Farel pasti pusing kepalanya karena dihinggapi gasing cinta Nisa 😁😁😁😁
2022-10-07
0