Nisa tengah berada di kamarnya, mencermati banyaknya bintang di langit sana.
Di saaat yang sama, terdengar suara ketukan di pintu. Dimintalah Kanza, manusia paling minor di keluarga untuk membukakan pintu.
“Eh, ada Tante. Silakan masuk Tante!” ucapnya kala melihat tamunya adalah pemilik kontrakan.
Ia pun mengedarkan tangannya pada tikar yang berada di ruang tengah rumah. Seakan meminta sang pemilik kontrakan untuk duduk di sana.
To the point, ibu pemilik kontrakan langsung memberikan komando. “Panggilkan mamamu, Nak. Bilang, tante mau bicara.”
Kanza bergegas ke kamar.
“Siapa yang datang?” tanya ibunya padanya yang baru saja akan menginformasikan identitas si tamu.
“Tante Salwa, Ma.”
Bu Faridah mengernyitkan dahi. “Ini pasti mau menagih lagi. Ya Allah, bagaimana cara bayarnya? Kami kan belum punya uang,” batinnya pilu.
Wanita yang tengah kalut itu menyegerakan diri ke ruang tengah. Mendudukkan dirinya yang hampir ringkih di samping si empunya kontrakan. “Ada apa yah, Bu?” tanyanya sambil tangan kanan menggaruk kepala.
“Jadi begini Bu Faridah. Ibu kan tahu sendiri, dari dulu kontrakan ini banyak yang meminati. Tapi tidak saya berikan karena ibu duluan yang sudah menyewa.”
Bu Salwa berhenti sejenak.
“Tapi kalau Ibu tidak sanggup lagi untuk bayar. Kontrakan ini saya sewakan saja ke orang lain.”
Dengan cekatan, bu Faridah meraih tangan bu Salwa. Ia menundukkan kepala, setunduk-tunduknya pengharapan. “Tolong kasihani kami Bu. Suami saya sedang sakit, belum bisa bekerja. Saya janji segera melunasi sewa kontrakan ini kalau sudah punya uang, Bu.”
“Penghasilan saya juga cuman dari uang sewa kontrakan ini Bu Faridah. Kalau semua penyewa saya kasihani, saya tidak dapat uang. Mau dikasih makan apa anak-anak saya nanti?”
Bu Faridah terdiam. Bu Salwa juga.
“Begini saja. Saya kasih Ibu waktu sepekan. Kalau belum juga dilunasi, dengan berat hati kontrakan ini akan saya sewakan ke orang lain,” tutur bu Salwa setelah beberapa menit terdiam. Tanpa menunggu balasan dari lawan bicaranya lagi, ia keluar.
Tak lama kemudian, suara mesin motor terdengar di luar. Dan perlahan, raungan kendaraan beroda dua itu pun tak terdengar lagi. Yang berarti, sang pemilik kontrakan sudah pergi.
***
Di kamar, Nisa memandang lekat-lekat layar gawainya. Ada pesan masuk dari nomor yang tak ia kenali. Pikirannya langsung terkoneksi pada ucapan perempuan berbibir tebal di kantor, tadi siang.
“Jangan senang dulu, Nisa. Bisa saja kan ini orang iseng.”
Meski begitu, ia masih tetap bersemangat untuk membuka pesan tersebut.
Hal : Pengumuman Lolos Berkas & Jadwal Interview NaturalSkin Indonesia.
Kepada
Yth. Peserta Seleksi Rekrutmen Calon Staff NaturalSkin Indonesia
Di tempat,
Sehubungan dengan proses rekrutmen calon staff NaturalSkin Indonesia, dengan ini kami nyatakan:
Memenuhi persyaratan untuk mengikuti tahapan seleksi Tes Interview yang akan diadakan sesuai dengan jadwal.
Tempat : Kantor NaturalSkin Indonesia
Hari & Tanggal : 22 September 2022
Jam : 08.00 – selesai
Mengingat pentingnya tahapan tersebut di atas, maka calon staff tidak boleh diwakili siapapun. Apabila tidak mengikuti tahapan tersebut sesuai jadwal yang sudah ditentukan, maka dinyatakan gugur atau mengundurkan diri. Demikian kiranya penyampaian ini kami buat, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Spontan, Nisa bersimpuh. Haru memenuhi kalbunya, melahirkan bulir-bulir bening, yang kemudian menggelinding di paras ayunya.
***
Tak terasa, malam yang mencekam telah berlalu. Nisa terbangun dengan semangat yang terus baru. Ia langsung melirik jam di dinding kamarnya.
Jarum jam mendekat ke angka 5. Sudah saatnya untuk melaksanakan shalat subuh. Pun membaca beberapa ayat Al-Qur’an setelahnya.
Di angka setelah 6, Nisa menyalami kedua orang tuanya. Mengecup punggung tangan mereka seraya berkata, “Doakan Nisa yah Pa, Ma. Semoga Nisa diterima kerja di perusahaan itu. Biar bisa bantu Mama dan Papa menghidupi keluarga kita.”
Pak Nugroho mereply. “Pasti, Nak. Kami selalu mendoakan yang terbaik buat kamu.”
“Jangan lupa baca bismillah sebelum wawancara ya,” sahut Bu Faridah.
“Siap Ma!”
Nisa kembali terjebak pada rutinitas kemarin. Menaiki angkutan umum yang sama, dengan kernet yang sama.
Tak ada keheningan di perjalanan menuju kantor itu, walau sejenak. Ibu-ibu bercengkrama tentang harga bahan pokok, saban hari saban melonjak, katanya. Bapak-bapak membanding-bandingkan kualitas rokok. Dan nenek-nenek yang mengeluh akan sikap anak muda zaman now, yang katanya kian bobrok.
Otak Nisa juga sangat berisik. Mengalahkan rinai yang ditimbulkan rintik. Mengalahkan sahutan segerombolan jangkrik saat menjelang terik.
“Apa penampilan saya sudah menarik? Apa jawaban untuk kisi-kisi pertanyaan saat wawancara yang saya siapkan sudah baik? Apa wawancara nanti tidak akan terasa kikuk?”
Aish, dua tiga kalimat tanya itu benar-benar mengotori hampir seluruh pikirannya. Hingga tak terasa, tibalah angkutan umum itu di depan perusahaan yang ia tuju.
Nisa, yang tengah memakai atasan motif bunga itu pun turun. Dirogohnya kantong, diambilnya uang kertas, diberikannya pada kernet.
Lagi, ia memasuki kantor, lift, dan berakhir ruangan kemarin.
Kali ini, perempuan yang duduk di kursi kebesaran itu adalah sosok cantik yang Nisa kenal. Wajah perempuan itu memancarkan keramahan, yang tak Nisa dapatkan di wajah perempuan berbibir tebal kemarin.
“Silakan duduk!” pinta seniornya di SMA tersebut dengan lembut.
Ia adalah Adara Pramudita, sang idol di SMA 1 pada masanya. Terkenal dengan paras yang cantik, hati yang baik, dan otak yang cerdik.
Berbeda dengan perempuan kebanyakan yang berlomba-lomba untuk terlihat putih, Dara justru tampil percaya diri dengan kulit sawo matangnya.
Damn, she’s the real definition of highly class woman.
Ruangan jadi kian pekat akan aroma Ecocare Aerosol LCD, tatkala Dara mulai membuka berkas-berkas milik Nisa.
Membacanya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Harus, karena masih banyak pelamar yang harus ia tanya-tanya nantinya.
“Kamu dari SMA 1 ya?” tanyanya dengan senyum yang terpatri.
“Iya Bu,” balas Nisa. Ia memperlihatkan geliginya yang rapi.
“Kita satu sekolah dong?” Senyuman Dara kian meluluhkan saat menanyakan itu.
“Iya, Ibu senior saya dulu.”
“Daebak, jadi kamu kenal saya?”
“Siapa sih yang tidak kenal perempuan berbakat seperti Ibu.” Ucapan Nisa mengalir begitu saja, tanpa niat untuk menjilat sedikit pun.
“Omo. Kamu sedikit berlebihan. Saya jadi penasaran, seberapa berbakat sih saya waktu itu?”
“Dulu, Ibu waketos. Pacaran dengan ketos, yang digilai perempuan satu sekolah.”
“Hahaha, ternyata semua orang tahu hubungan kami. Sebentar lagi kami akan menikah. Kamu datang ya nanti.”
“Wah, congrats yah Bu. In Syaa Allah Bu.”
“Oh ya, Arka pemilik perusahaan ini loh.”
Nisa menelan salivanya. Mendengar nama lelaki yang ia kagumi secara rahasia disebutkan, membuatnya sedikit nervous.
“Biasanya dia tidak meloloskan pelamar yang berhijab. But, don’t worry! Nanti saya yang lobi.”
Untaian kalimat itu berasa memberi nutrisi pada harapan Nisa yang sempat layu kemarin. Hatinya kini serasa ditumbuhi bunga-bunga indah yang disambangi ribuan kupu-kupu elok.
Mulutnya yang mengatup dan mengerucut lantaran menahan tangis beberapa saat, kini terbuka kecil. “Terima kasih banyak Bu,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Dara menyodorkan kertas. “Silakan kamu baca dulu. Kalau setuju, boleh tanda tangan sekarang. Kamu juga bisa berpikir dulu, tapi cuman sampai nanti malam.”
Nisa bergegas membaca poin demi poin yang tertulis. Tanpa menunggu malam, ia langsung menanda tangani kontrak kerja itu.
“Selamat! Kamu sudah bisa bekerja besok.”
Direktur utama nan cantik tersebut mengulurkan tangannya pada Nisa. Begitu pula dengan Nisa. Mereka kini saling berjabat tangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Hikmah Araffah
,dsni kok ceritanya Adara lebih cantik baik hati dan cerdik ,beda sm Nisa .jadi klo arka nnti akhrnya nikah SM Nisa kasian Adara dong yg baik hati ,aturan Adara jadi peran antagonis biar seru
2023-02-18
0
Buna_Qaya
Semangat Nisa
2022-10-10
0
Sidieq Kamarga
Duuuuh kenapa Arka tidak suka wanita berhijab ?
2022-10-07
1