Jessi Narwastu tidak pernah merasa stress seperti ini. Mengandalkan sepucuk surat yang ia tulis dan menaruhnya di atas meja kerja Alfred Rescew, ia memberitahukan bahwa ia akan liburan selama satu minggu. Jessi selama bekerja menjadi sekretaris Alfred jarang mengambil cuti. Dulu ia masih berpatokan pada pemikirannya yang idealis.
Satu minggu cuti sungguhlah tidak berguna dan tidak produktif. Sekarang lihatlah yang terjadi, ia mengambil cuti dengan sukarela hanya untuk menghindari pria itu. Sekali lagi ditekankan, Jessi sangat ingin menghindari pria itu. Ia perlu menata hati dan pikirannya akan hal bodoh yang ia lakukan tadi malam yaitu membalas ciuman Alfred dan berakhir dengan ia yang tertidur.
Rasanya Jessi hampir gila. Oleh karena itu, saat Alfred masih lelap ia meninggalkan pria itu begitu saja dan meninggalkan sepenggal kalimat di atas kertas.
"Jangan cari aku. Aku butuh sendiri." Dan untuk memperlancar aksinya, ia menonaktifkan gawai dan semua alat komunikasi yang ia miliki. Ia juga tidak kembali ke apartemennya dan memilih untuk menginap ke rumah Margareth. Margareth adalah seorang ibu rumah tangga yang menjadi penulis di platform online. Mereka berkenalan karena Jessi menyukai novel yang ditulis wanita dua anak itu. Margareth memiliki suami yang penyayang. Meskipun jarang berkomunikasi namun mereka memiliki hubungan yang baik. Bermodalkan hal itu, Jessi berani untuk meminta bantuan wanita itu.
"Argh." Jessi mengacak rambutnya frustasi. Masih mengutuki dirinya sendiri.
"Apa yang harus aku lakukan." Ia menatap Margareth yang menaruh minuman di atas meja. Ia sudah mendengarkan kejadian yang dialami Jessi. Ia menggelengkan kepala melihat wanita itu. Merasa kasihan.
"Kamu harus berbicara empat mata dengannya. Kamu tidak bisa pergi begitu saja seperti seorang pengecut." Jessi menghela napasnya panjang.
"Ya benar. Aku memang pengecut. Tapi aku juga tidak sanggup jika harus bertatapan dengan
Alfred."
Margareth gemas sendiri. Ia tahu Alfred adalah bos sekaligus sahabat Jessi. Sampai sebelum ini, ia heran bagaimana mungkin salah satu di antara mereka tidak ada yang jatuh cinta. Well, lihatlah sekarang. Jessi harus menjilat ludahnya sendiri.
"Biarkan aku menenangkan diri, mengumpulkan keberanian dan menguatkan mental untuk bertemu Alfred." Itu lebih seperti pernyataan untuk diri sendiri.
"Terserah kamu. Lakukan yang menurutmu terbaik. Justin tidak masalah jika kamu ingin tinggal sementara disini. Tapi kamu harus membantuku mengurusi kembar." Mendengar itu Jessi menjadi semangat kembali. Ia sudah sangat siap untuk menginap di rumah Margareth. Ia membawa satu koper berisi kebutuhannya.
"Kau dan suamimu adalah yang terbaik. Sampaikan terimakasih untuk Justin." Dan Jessi masuk ke kamar yang menjadi tempatnya beristirahat selama menginap di rumah Margareth. Kamar itu adalah kamar milik adik perempuan Justin yang sudah menikah. Kamar kosong yang sengaja dipersiapkan untuk tamu atau untuk keluarga yang datang berkunjung.
Jessi berkutat dengan pikirannya sendiri. Ini masih pukul sebelas siang. Matahari bersinar begitu cerah dan langit biru dengan awan putih bersih tidak mampu membuat perasaannya tenang. Ia kembali teringat dengan perkataan Alfred.
Jangan benci aku.
Kalimat sederhana itu memporak-porandakan pikiran juga hatinya. Tidak. Ia tidak akan membenci pria itu. Ia bahkan sudah menyukai pria itu. Jessi kembali memaki dirinya sendiri. Merasa bodoh dan terlalu murahan karena bisa jatuh begitu saja karena perlakukan manis dan lembut Alfred. Padahal itu kali pertamanya. Selama ini Alfred berlaku seperti seorang bos dan terkadang seperti seorang anak yang merajuk. Ia tidak pernah berhadapan dengan sosok pria dewasa Alfred. Dan pertahanan Jessi hancur berkeping-keping.
Ia memang sudah gila. Jadi ia memutuskan untuk melihat si kembar. Anak Margareth yang berusia tujuh tahun. Archer dan Ardern sedang bermain mobil-mobilan. Aroma bayi dari tubuh kecil kembar membuat Jessi tidak bisa menahan diri untuk memeluk dan menciumi mereka satu per satu. Gemas dengan pipi bulat yang memerah. Jessi pernah bertemu mereka sekali dan Jessi bersyukur dua anak laki-laki itu mengingatnya.
"Aunty Jessi, Aunty Jessi." Archer dan Ardern berebut ingin di gendong Jessi. Akhirnya Jessi menggendong mereka berdua. Archer di sebelah kanan dan Ardern di sebelah kiri.
Sepanjang hari itu Jessi bermain dengan kembar, membantu Margaret menyuapi Archer, membantu meninabobokan kedua anak laki-laki itu hingga terlelap dan bahkan membantu memandikan mereka.
Jessi mengakui bahwa Margareth adalah ibu yang hebat karena mampu mengurus dua anak kecil yang aktif seperti Archer dan Ardern tanpa bantuan baby sitter, mengurus suaminya, Justin dengan baik pula. Bahkan ia masih bisa menulis dan menghasilkan karya yang luar biasa.
"Aku penasaran dengan yang dilakukan Alfred untuk mencari mu." Jessi hanya diam dan menyesap teh pelan. Mereka tengah duduk santai di halaman depan rumah Margareth. Mereka baru saja selesai makan malam. Justin tidak bergabung karena harus menidurkan kembar.
"Aku hanya berharap ia tidak bisa menemukanku." Jessi tidak pernah menyebutkan tentang Margareth sekalipun di hadapan Alfred. Jessi mengetahui hampir segalanya tentang pria itu tapi Jessi tidak pernah menceritakan hal pribadi apapun pada Alfred. Tapi bukan berarti Alfred tidak bisa mencari informasi apapun tentangnya. Mungkin Alfred terlihat biasa saja, tapi Jessi tahu seberapa berkuasanya keluarga Rescew di United States of America.
*
Jessi melihat gawainya yang ia letakkan begitu saja di atas meja kamarnya. Jika ia mengaktifkan sekarang pasti akan banyak panggilan tak terjawab ataupun pesan dari pria itu. Mungkin saja pria itu akan bisa melacaknya. Alfred bisa membayar intel untuk mencaritahu keberadaannya. Ia cemas dengan dirinya sendiri, entah apakah ia bisa bertahan sampai satu minggu sesuai dengan keinginannya. Atau bisa saja saat ia terlelap, Alfred bisa tiba-tiba datang dan memaksanya untuk kembali. Ia tidak mau hal itu terjadi. Sekali lagi ia belum menyiapkan hati dan dirinya untuk bertemu bosnya. Sebagai manusia biasa, Jessi tidak pernah mampu memprediksi masa depan dan hal-hal yang mengejutkan apa yang mungkin harus di jalani. Ciuman itu misalnya.
Kecupan yang berubah menjadi ciuman dalam itu masih terasa begitu nyata bagi Jessi. Harus ia akui bahwa
bos-nya memang hebat dalam berciuman. Ia bisa membayangkan bagaimana Alfred mencium mantan-mantannya dengan penuh gairah, atau bagaimana para wanita itu berteriak menikmati saat berhubungan badan dengan Alfred. Napasnya memburu, entah mengapa ia mulai marah. Kali ini ia tidak lagi memaki dirinya sendiri namun mengutuki Alfred. Jessi bahkan berpikir bahwa ia sudah mendapatkan pelecehan seksual dari atasan tapi ia juga sadar bahwa ia menikmati ciuman itu.
Tubuhnya terbentang di atas tempat tidur. Di langit-langit kamar yang polos, Jessi mulai menerka-nerka apa yang sedang di lakukan Alfred. Saat ini ia dipenuhi dengan berbagai emosi. Dari emosi-emosi itu, Jessi menghabiskan sebagian besar keputusan penting dalam hidup. Mungkin ya atau tidak. Hanya seperti satu kata tapi mewakili langkah ringan atau berat, apakah memutuskan untuk menetap atau mengambil tantangan baru. Jessi memikirkan ini, emosi dan logikanya bertentangan. Jika mengikuti logikanya saat ini maka ia membereskan semua hal dengan Alfred. Ia akan membahas kejadian malam itu dan mengambil keputusan sesuai dengan keputusan Alfred. Apapun itu, ia akan menerima semuanya. Namun kali ini perasaannya pun tidak bisa diabaikan. Ia takut jika nantinya akan kehilangan Alfred. Baik sebagai bos maupun sahabat. Ia takut tercipta jarak antara mereka. Ia takut bahwa saat mereka menjauh sedangkan perasaan lebih dari sahabat itu sudah ada di hati Jessi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments